“Aduhhhh…” desahnya terbangun. Matanya terbuka lebar saat menyadari bahwa seorang siswa laki-laki bersembunyi di antara selangkangannya, dengan penisku yang sudah masuk ke dalam vaginanya.
Aku tidak peduli dan langsung melanjutkan penetrasi, bergerak maju mundur seperti yang biasa kulakukan dengan Ustadzah Fatimah dan Guru Vera. Aku melihat ada darah di vaginanya dan dia mulai menangis, mungkin karena rasa sakit atau terkejut.
Aku panik juga karena selama ini, aku tidak pernah melihat Ustadzah Fatimah atau Guru Vera berdarah saat berhubungan. Aku mencoba menarik penisku keluar, tetapi wanita itu tiba-tiba memelukku dengan erat.
Dia sepertinya tidak ingin aku berhenti, dan aku juga merasa tidak tahan lagi. Aku mencapai puncak dan melepaskan maniku di dalam vaginanya. Setelah selesai, aku melihat wajahnya yang penuh ekspresi terkejut dan malu.
Dia terburu-buru bangun dan berpakaian, mengenakan kerudung untuk menutupi wajahnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia berlari keluar dari rumah dan menuju sekolah. Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
Aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan penisku dan mengenakan kembali seragam sekolahku. Tidak lama kemudian, Ustadzah Fatimah, Guru Vera, Farah, dan Laras kembali ke rumah. Aku mencoba bersikap santai dan melanjutkan pekerjaan rumahku seperti tidak ada yang terjadi.
Ustadzah Fatimah memegang tanganku dan membawaku ke kamarnya, diikuti oleh Guru Vera dan Farah. Di sana, aku melihat wanita yang baru saja kutiduri, masih menangis. Dia adalah Safira, guru agama sore yang baru, dan kakak dari Ustadzah Hanum.
“Rio, mengapa kamu mengganggu Safira?” tanya Ustadzah Fatimah lembut. “Kamu tahu bahwa dia adalah guru baru di sekolah.”
Aku merasa malu dan menunduk. “Maaf, Bu. Aku pikir dia Guru Vera karena tidur di kamar Vera. Aku melihatnya tidur dengan kakinya terbuka, menunjukkan vaginanya. Aku langsung terangsang dan mengoleskan krim ke penisku. Aku pikir dia Guru Vera, jadi aku langsung mendorong masuk penisku.”
Ustadzah Fatimah dan Guru Vera saling bertukar pandang, sepertinya mereka tidak percaya dengan ceritaku. Laras duduk di sebelah Safira dan mencoba menenangkannya, sementara Farah hanya terdiam, mungkin terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“Maafkan Rio, Safira,” kata Ustadzah Fatimah lembut. “Dia memang belum pernah melihat wanita selain aku dan Vera. Dia masih muda dan tidak bisa menahan dirinya.”
Safira masih terdiam, menunduk dan menutupi wajahnya dengan tangannya. Akhirnya, dia mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata yang merah karena menangis.
“Apakah kamu menikmatinya, Rio?” tanyanya lembut.
Aku merasa malu, tetapi aku mengangguk. “Maaf, Bu. Aku tidak tahu itu Bu Safira. Aku pikir itu Bu Vera.”
Safira tersenyum tipis, sepertinya mencoba menerima penjelasanku. “Baiklah, Rio. Aku memaafkanmu. Tetapi jangan ulangi lagi, ya?”
Aku mengangguk, merasa lega bahwa Safira memaafkanku. Ustadzah Fatimah tersenyum dan mengelus kepalaku dengan lembut.
“Kamu memang belum pernah melihat wanita selain aku dan Vera, ya, Rio?” tanyanya lembut. “Kamu pasti penasaran dengan tubuh wanita lain.”
Aku mengangguk, merasa malu. Ustadzah Fatimah tersenyum dan mengedipkan matanya kepadaku.
“Mungkin kita bisa menunjukkan tubuh wanita lain kepadamu, Rio,” bisiknya. “Agar kamu tidak penasaran lagi.”
Aku merasa wajahku memanas mendengar kata-kata Ustadzah Fatimah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi aku merasa jantungku berdetak lebih kencang, menantikan kejutan yang akan kudapat.
***
Setelah kejadian pagi itu, Safira menyuruhku menyelesaikan pekerjaan rumah dan ketika aku selesai, dia memanggilku masuk ke kamarnya. Aku terkejut saat melihatnya sudah telanjang bulat, memperlihatkan tubuhnya yang indah dengan payudara yang runcing, pinggang ramping, dan paha yang lebar.
“Kamu juga harus telanjang bulat, Rio,” katanya lembut. “Kamu tidak perlu malu.”
Aku menurutinya dan segera membuka seragam sekolahku, berdiri di hadapannya dengan telanjang bulat. Safira tersenyum dan mengangguk, sepertinya dia menyukai apa yang dilihatnya.
Kami berbaring di sisi satu sama lain dan mulai saling meraba, menjelajahi tubuh satu sama lain. Safira mencium seluruh tubuhku, dari dada, perut, hingga penisku, testis, bahkan anusku juga dijilati olehnya.
“Jika sudah terlanjur, lebih baik kita bermain puas-puas, Rio,” bisiknya.
Kami berganti posisi menjadi 69 dan aku menjilati vaginanya yang masih basah dari tadi pagi. Safira mendesah dan mengerang, menikmati lidahku menjelajahi vaginanya. Setelah dia puas, dia meminta aku memasukkan penisku dari atas.
Aku menurutinya dan menempatkan kepala penisku tepat di vaginanya. Dengan sekali dorong, srup… batang penisku menembus vaginanya yang sempit, sepertinya dia masih perawan. Safira mendesah pelan, merasakan penisku mengisi vaginanya dengan penuh.
Kami berganti posisi lagi, kali ini dia berbaring menyamping dan meminta aku melakukan dari belakang. Posisi ini agak sulit karena penisku belum cukup panjang untuk mencapai vaginanya sepenuhnya, tetapi aku mencoba yang terbaik.
Ketika aku melakukan posisi doggy, aku memperhatikan bahwa lubang duburnya juga basah dengan cairan dari vaginanya. Aku tidak tahan lagi dan langsung menempatkan kepala penisku di mulut duburnya. Aku mendorong masuk dengan kuat dan terasa sedikit hambatan, tetapi akhirnya brusss… penisku masuk ke dalam duburnya.
“Hey, jangan lubangi duburku…” desahnya. “Siapa yang mengajarimu?”
Aku tersenyum dan menjawab bahwa Ustadzah Fatimah dan Guru Vera yang mengajariku bermain di dubur karena lubang dubur lebih ketat dan terkadang mereka tidak membiarku ejakulasi di lubang pantat, jadi mereka menyuruhku ejakulasi di lubang dubur.
Aku terus bermain dengan duburnya, menikmati sensasi yang berbeda dari lubang vaginanya. Tidak lama kemudian, aku merasakan duburnya mengejang dan aku mencapai puncak, melepaskan maniku di dalam duburnya. Setelah selesai, aku menarik penisku perlahan-lahan, merasa sedikit bersalah karena sudah melukai Safira.
Safira memelukku dan berkata bahwa lubang belakang tidak boleh dimasuki, itu adalah tempat keluarnya kotoran. Aku hanya bisa diam, tetapi dalam hati, aku berpikir bahwa lubang dubur memiliki lingkaran otot yang mengemut, memberikan sensasi yang berbeda dari vagina.
Hingga menjelang sekolah, kami tidak berhenti bermain satu sama lain. Aku sudah tidak tahu berapa kali lagi kami melakukannya, hingga akhirnya aku merasa tidak ada cairan yang keluar ketika aku orgasme. Air maniku sudah habis di dalam duburnya, vaginanya, bahkan mulutnya juga.
Kami mandi bersama dan Safira memandikanku dengan lembut, membersihkan setiap inci tubuhku dengan penuh kasih sayang. Setelah selesai, kami bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Safira meminta aku pergi duluan dan sebentar lagi dia akan menyusul.
Namun, sebelum pergi, dia meminta aku masuk ke kamarnya lagi. Aku melihat dia sudah mengenakan bra dan celana dalam, tetapi dia meminta aku menurunkan celanaku sebentar.
“Aku ingin melihat penismu sekali lagi sebelum kamu pergi,” katanya lembut.
Aku menurutinya dan menurunkan celanaku, memperlihatkan penisku yang sudah ereksi karena teringat akan kenikmatan tadi. Safira mendekat dan langsung mengulum batang penisku, sementara jarinya meraba testisku dengan lembut.
Aku merespon dengan cepat, penisku langsung ereksi saat dirangsang oleh Safira. Dia berbaring di atas kasur dan menyingkap celana dalamnya, masih tidak mengenakan celana dalam. Dia membuka kakinya lebar-lebar dan meminta aku memasukkan penisku.
Aku langsung mendorong masuk dengan sekali dorong, merasa tidak tahan lagi. Penisku menembus vaginanya dengan mudah dan aku terus melakukan penetrasi dengan cepat, menikmati setiap desahan dan erangan Safira.
“Lagi… masukkan lagi… ahh… ahh… enak sekali… enak sekali…” desahnya.
Safira memeluk pundakku dengan kedua kakinya, mengepit tubuhku hingga aku tidak bisa bergerak lagi. Aku terus bergerak maju mundur, menikmati setiap desahan dan erangan Safira. Akhirnya, dia mencapai puncak lagi, tubuhnya terguncang-guncang karena kenikmatan yang kudapatkan.
Namun, aku sudah tidak bisa orgasme lagi, penisku sudah lelah. Aku langsung menarik penisku dan mengenakan kembali celanaku tanpa mencucinya. Safira menarik tanganku dan berbisik kepadaku.
“Hubungan kita sampai di sini saja, Rio,” katanya lembut. “Setelah ini, tidak boleh bermain-main lagi. Kita lupakan bahwa kita pernah melakukan hal ini, mengerti? Kamu harus menganggap dan menerima bahwa aku adalah guru agamamu dan fokus pada pelajaran yang aku ajarkan, bukan membayangkan hubungan terlarang kita ini.”
Aku hanya bisa mengangguk, merasa sedih dan kecewa. Safira tersenyum lembut dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Kamu masih muda, Rio,” katanya lembut. “Masih banyak wanita lain yang bisa kamu nikmati. Tetapi ingat, jangan sampai hal ini mengganggu pelajaranmu, ya?”
Aku mengangguk, merasa bersyukur atas pengertian Safira. Sayangnya, Ustadzah Safira tidak lama mengajar di sekolahku. Sekitar tiga bulan kemudian, dia pindah ke sekolah lain yang agak jauh dan aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi.
Aku pernah bertanya kepada Laras mengapa Safira pindah, dan dia menjawab bahwa Safira sakit karena guna-guna orang, jadi dia harus pergi ke tempat yang tidak ada yang mengenalnya. Aku tidak mengerti apa artinya, tetapi aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya.
Bersambung…