Tak lama Rani pun menemukan dildo milik Mba Dita dan membawanya ke arahku. “Ini Mas”, sahut Rani sambil memberikan dildo padaku.
“Pegang dulu bentar”, sahutku.
“Trus aku gimana?”, tanya Rani padaku.
“Kamu di sini aja”, sahutku dengan menunjuk tempat tidur di samping kiri tubuh Mba Dita, sebelah kanan depanku. Rani menuruti perintahku dengan naik ke tempat tidur di samping Mba Dita.
“Coba kamu nungging”, perintahku lagi ke Rani. Rani pun mengambil posisi nungging membelakangiku, bertumpu pada kedua kakinya di lututnya, serta pada kedua tangannya. Tubuhnya menekuk ke bawah hingga pantatnya menungging sempurna. Vaginanya yang masih terlihat basah sisa persetubuhan sebelumnya dengan kondisi lubangnya sedikit menganga, terlihat jelas menghadapku.
Aku memindahkan kedua kaki Mba Dita yang semula berada di kedua lenganku ke kedua bahuku, hingga kedua kakinya menjadi menghadap ke atas. Kupeluk kedua kakinya dengan tangan kiriku. Aku lanjutkan kocokan batang penisku di vagina Mba Dita.
Aku ludahi telunjuk dan jari tengah tangan kananku, lalu aku lumuri vagina Rani dengan ludahku. Aku mainkan labia minora dan klitoris Rani dengan jari tengah kananku. Jari tengahku berputar-putar dari area mulut vagina Rani. Sedikit demi sedikit ujung jari tengahku masuk ke dalam lubang kenikmatannya.
“Egh”, Rani mengerang ringan saat seluruh jari tanganku menelusuk masuk ke dalam vaginanya. Bagian dalam vagina Rani terasa hangat dan sedikit licin oleh cairan kenikmatannya. Ujung jari tengahku merasakan permukaan dinding liang vaginanya dengan tekstur seperti kulit jeruk tapi terasa sangat lembut seperti mainan slime.
Kucoba memasukkan juga telunjuk kananku ke dalam vagina Rani. Awalnya terasa sempit, tapi lama kelamaan terasa mudah karena cairan vagina Rani telah keluar membasahi dinding vaginanya. Dengan jurus dua jari, aku mengocok vagina Rani dengan cepat. Rani menikmati kocokan jariku ini, dia menggerakkan tubuhnya maju mundur.
Vagina sudah becek oleh cairan kenikmatannya yang hangat. Aku sudahi kocokan dua jariku. Kuambil dildo berwarna hitam milik Mba Dita yang diletakkan Rani di atas tempat tidur tidak jauh dariku. Dildo berbetuk seperti pipa hitam sepanjang dua puluh centimeter terbuat dari karet dengan ujung meruncing seperti peluru kendali.
Kuarahkan ujungnya ke arah lubang vagina Rani. Kumasukkan pelan-pelan. Labia minora vagina Rani terlihat ikut masuk ke dalam lubang vaginanya. Rani memalingkan wajahnya ke kiri belakang. Matanya yang sudah sayu, menatapku. Rani sedikit meringis. Baru seperempat dildo yang masuk. Kucoba tarik keluar dildo itu.
Labia minoranya kembali ikut tertarik keluar dari dalam vagina Rani. Kumasukkan lagi. Kukeluarkan lagi. Terus kelakukan hingga vagina Rani terbiasa dan akhirnya proses keluar masuk dildo dari dan ke vagina Rani menjadi lancar. Rani tidak lagi sanggup bertumpu pada kedua tangannya, melainkan menjadi bertumpu pada kedua lengannya.
Setelah vagina Rani sudah bisa menikmati kocokan dildo dariku, aku kembali fokus untuk mengocok vagina Mba Dita dengan batang penisku. Tentu saja goyangan otot pinggangku tidak sesempurna sebelumnya.
Dengan dua gerakan yang aku lakukan, di satu sisi mengocok vagina Mba Dita dengan penisku menggunakan otot pinggang, sedangkan di sisi lainnya aku mengocok vagina Rani dengan dildo menggunakan otot tangan kananku, membuat goyangan dari otot pinggangku tidak beraturan.
Untuk mempermudah itu semua, aku mengubah gaya kocokan penisku. Yang semula maju mundur, menjadi ke samping kiri dan kanan. Hasilnya tak terduga, justru membuat Mba Dita menggelinjang tak karuan. Aku juga merasakan sensasi yang berbeda. Kepala penisku seperti menampar berkali-kali kanan dan kiri mulut rahim Mba Dita.
“Rioo.. ach.. eghlo aphainh mekhi ghue”, racau Mba Dita.
“Sakit ngga Mba?”, tanyaku cuma memastikan apa yang aku lakukan tidak menyakitinya. Karena aku merasa ngilu setiap kali kepala penisku menampar mulut rahimnya.
“Ach nggha. Ghila enagh bhanget. Ghue baruh khaya ghinih”, jawab Mba Dita sambil tubuhnya menggelinjang ke kiri dan ke kanan, kedua tangannya berada di kedua payudaranya. Meremas-remas payudaranya disertai pilinan di kedua putingnya.
Batang penisku merasakan jepitan vagina Mba Dita semakin kencang, sehingga bisa kurasakan dinding vagina Mba Dita berkedut. Menyadari Mba Dita sesaat lagi mencapai klimaksnya, aku hentikan kocokan dildo oleh tangan kananku di vagina Rani. Kucabut dildo dari liang vagina Rani, meninggalkan lubang yang menganga di vaginanya.
“Sebentar Ran”, sahutku ke Rani. Rani membaringkan tubuhnya ke arah kanan, menghadap ke arah Mba Dita.
Kualihkan tangan kananku ke paha Mba Dita sebelah kiri. Sementara tangan kananku yang semula memeluk kedua kaki Mba Dita, kutempatkan di paha Mba Dita sebelah kanan.
Kutahan agar kedua paha Mba Dita tetap saling merapat. Aku pun menambah kecepatan goyangan ke kiri dan ke kanan. Batang penisku mengaduk-ngaduk liang senggama Mba Dita dengan cepat, seperti halnya koki handal mengaduk adonan kue.
“Ach ach Rhioo.. stop.. stop.. Rio.. stoopp”, Mba Dita meminta aku berhenti namun tidak kupedulikan. Aku terus saja bergoyang ke kiri dan ke kanan. Kepala penisku terus menggaruk-garuk dinding bagian dalam vagina Mba Dita dan menampar-nampar mulut rahim Mba Dita.
“Rio.. ampun.. ampun.. ampun.. ampun.. Rio.. enak banget Rio.. brengsek lo Rio.. tai… trus ewe gue Rio”, aku tidak menghiraukan sumpah serapah yang keluar dari mulut Mba Dita.
“Rio.. Rio.. Rio.. Rio.. Rio..” racau Mba Dita semakin cepat dan pendek-pendek. Aku terus mengaduk vagina Mba Dita. Makin kurapatkan tubuhku dengan kaki Mba Dita, kubenamkan penisku semakin dalam.
“Rio.. ampun.. brengsek.. aaanjiiiiiiiinnggg..” satu teriakan panjang dan kencang dari Mba Dita disertai badannya yang mengejang-ngejang hebat dengan bentuk badannya melenting ke atas, membuat busur dari tulang belakangnya, mengiringi Mba Dita mencapai orgasmenya yang hebat di malam ini. Vagina Mba Dita semakin menjepit batang penisku, disertai kedutan beberapa kali.
Punggung Mba Dita sudah kembali mendarat di atas tempat tidur. Badannya pun lemas kembali. Nafasnya tersenggal. Jepitan vaginanya juga mulai mengendur, walaupun aku masih tetap menjepit erat batang penisku. Aku terus mengocok vagina Mba Dita dengan goyangan ke kiri dan ke kanan.
“Rio udah Rio.. gue udah lemes.. enak banget..”, sahut Mba Dita sambil meremas-remas kedua payudaranya dengan sesekali memilin kedua putingnya. Bukannya berhenti, aku malah menambah kecepatan kocokan batang penisku pada vagina Mba Dita.
“Rio please Rio.. stop Rio.. please.. gue ngga kuat.. enak banget.. udah Rio udah.. duh enak banget.. gue ngga kuat.. Rio.. Rio.. Rio.. RIIOOOO.. ”, jerit Mba Dita kencang, dengan sebelumnya tubuh Mba Dita bergetar hebat. Tidak sampai dua menit setelah orgasmenya, Mba Dita meraih orgasme lagi. Tubuhnya lagi-lagi melenting ke atas, mengejang-ngejang beberapa kali.
Kali ini aku cabut batang penisku dari liang vagina Mba Dita. Cairan vaginanya menyemprot keluar, membasahi area bawah perutku. Batang penisku yang masih tegang sempurna, kusentuh-sentuhkan kepalanya ke mulut vagina Mba Dita.
Tak lama kemudian tubuh Mba Dita lemas kembali. Kupindahkan kedua kaki Mba Dita dari bahuku ke kiri tubuhku ke atas tempat tidur, badan Mba Dita pun ikut bergerak miring ke arah jatuhnya kedua kakinya.
“Enak Mba?”, tanyaku sambil terkekeh.
“Sialan lo Rio, rese!”, celoteh Mba Dita. “Memek gue sampe ngilu begini!”, lanjut Mba Dita sambil memegang selangkangannya dengan tangan kanannya.
“Tapi enak kaaann? Hehehe”, balasku.
“Rese lo!”, sahut Mba Dita.
Aku beralih ke Rani. Rani dalam posisi tengkurap dengan kepala menghadap ke kiri, ke arah Mba Dita. Kudekatkan tubuhku ke arah Rani. Aku naik ke atas tempat tidur, berdiri bertumpu pada kedua lututku mengangkangi Rani. Kedua lututku di samping kanan dan kiri pinggul Rani.
Kucondongkan tubuhku, dan kudekatkan kepalaku ke kepalanya. Kukecup pipinya, kucumbu kepalanya bagian kiri. Rani merespon dengan usapan tangan kirinya di kepalaku. “Kamu masih mau sayang?”, sahutku ke Rani.
“Masih kok. Lagian kan Mas Rio masih belum keluar”, jawab Rani.
“Ngga capek?”, tanyaku lagi.
“Nanti aku yang dibawah aja ya?!”, balas Rani.
“Yaudah kalo gitu aku masukin ya sayang”, sahutku sambil membelai kepalanya dengan tangan kananku.
“Iyah”, jawab Rani singkat.
Kemudian aku mundur sampai kedua lututku berada di samping kanan dan kiri kedua paha Rani. Lalu kumiringkan badan Rani menghadap kiri.
Kutekuk kaki kiri Rani ke arah perutnya, sehingga paha kirinya hampir menyentuh perutnya. Vaginanya yang berbulu halus terlihat olehku. Bibir vaginanya yang terbuka terlihat basah akibat sebelumnya kurojok dengan dildo milik Mba Dita.
Kudekatkan kepala penisku ke mulut vagina Rani. Kumasukkan setengah batang penisku ke dalam liang kenikmatan Rani. Kuangkat paha kiri Rani kumajukan tubuhku hingga paha kiri Rani berada di atas paha kiriku, lalu kudorong batang penisku sampai ditelan seluruhnya oleh vaginanya. “Egh”, erang Rani pelan.
Tangan kiriku memegang paha kiri Rani, membantu menarik tubuh Rani supaya tubuh Rani juga bergoyang mengikuti irama kocokan batang penisku ke vagina Rani. Jepitan vagina Rani memang tidak serapat vagina Mba Dita, tapi tetap saja vagina Rani merupakan salah satu vagina yang aku inginkan di dunia ini untuk aku masuki batang penisku.
Tusukan maju mundur dari batang penisku membuat Rani mendesah. Kucondongkan tubuhku ke arah Rani dan kulumat bibir Rani. Bibir kami berpagutan. Lidah kami saling bermain satu sama lain. Penisku terus mengocok vagina Rani. Sementara tangan kananku tetap menggerayangi tubuh mulus Rani.
Kutegakkan tubuhku lagi, berkonsentrasi pada kocokan penisku di vaginanya. Vagina Rani semakin becek. Bunyi tulang selangkaku beradu dengan pantat Rani menjadi suara latar persetubuhan kami. Kubenamkan penisku dalam-dalam di liang senggamanya. Semakin lama rintihan Rani semakin kencang. Aku pun mempercepat kocokanku.
“Ouch ouch ouch”, Rani merintih nikmat. Tubuhnya mulai bergetar hebat. “Aacchh maaashh”, Rani menjerit panjang diiringi tubuhnya yang mengejang, tangan kirinya meremas tangan kiriku yang berada di paha kirinya. Cairan orgasmenya mendesak keluar bersamaan dengan kocokan batang penisku. Cairan kenikmatan Rani kembali membasahi selangkanganku dan seprei tempat tidur.
Kuhentikan goyanganku dan kembali mencondongkan badan untuk menciumnya. Rani membalas ciumanku dengan ciuman lembut. Tangan kirinya menggenggam hangat tangan kiriku.
“Masih belum keluar juga Mas?”, tanya Rani.
“Bentar lagi kayanya”, jawabku. “Kamu capek?”, tanyaku balik.
“Sedikit. Mas mau aku apain biar cepet keluar?”, tanya Rani.
“Kaya gini aja bisa keluar kok”, jawabku. “Tahan ya. Aku lajutin sedikit lagi”, sahutku lagi.
“Iyah Mas”, balas Rani.
Kutegakkan tubuhku. Kukeluarkan batang penisku dari lubang senggamanya. Kuluruskan kembali kaki kiri Rani hingga sejajar denga kaki kanannya. Tubuh Rani pun kembali tengkurap. Kuambil bantal yang ada di samping kananku.
“Angkat badan kamu sedikit”, pintaku ke Rani. Rani mengikuti peemintaanku, diangkat badanya sedikit, lalu kuletakkan bantal di bawah perutnya yang membuat posisi pantatnya sedikit menungging hingga lubang kenikmatannya terlihat jelas.
Kumasukkan kembali batang penisku ke dalam liang vagina Rani yang masing menganga. Aku masukkan sampai seluruh batang penisku ditelan vaginanya. Aku mengambil posisi duduk di pangkal paha bawah pantatnya dan mulai mengocok vagina Rani dengan batang penisku. Kujepit kedua paha Rani dengan kedua pahaku.
Rani tengkurap dengan kepala menghadap ke kiri. Rani menggigit bibir bawahnya dan matanya pun terpejam, dari raut wajahnya terpancar seperti menahan sakit. Memang batang penisku bisa merasakan dinding vagina Rani lebih kesat dari sebelumnya, cairan vaginanya hanya sedikit yang keluar untuk melumasi dinding vaginanya.
Pelan-pelan kutarik keluar batang penisku dari vagina Rani. Lalu kulumuri kepala dan batang penisku dengan ludahku menggunakan tangan kananku, kemudian kuolesi mulut vagina Rani dengan ludahku juga. Setelah dirasa cukup, kumasukkan kembali batang penisku ke dalam liang senggama Rani. Dinding vagina Rani pun menjadi licin kembali.
Kupacu kembali lubang vagina Rani langsung dengan kecepatan sedang. Kuremas-remas kedua bongkahan pantat Rani dan kurapatkan satu sama lain. Gesekan batang penisku dengan dinding vagina Rani dan gesekan pangkal pahaku bagian dalam dengan pangkal pantat Rani, membuat gairah nafsuku tak tertahankan. Orgasmeku akan segera datang.
Kurebahkan tubuhku di atas punggung Rani. Kuciumi berkali-kali leher belakangnya. Kuciumi pundak kirinya dan pipi kirinya. Rani bereaksi dengan mengambil tangan kiriku, lalu menggenggamnya erat dan matanya kembali terpejam.
Kulihat Mba Dita sudah tertidur dengan posisi sedikit meringkuk menghadap ke kanannya, ke arah televisi. Aku cabut batang penisku yang sudah melemas dari dalam lubang vagina Rani.
Lalu kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur di antara Rani dan Mba Dita. Rani pun mengubah posisinya dengan memelukku dan menjadikan bahu kiriku sebagai sandaran kepalanya.
**
Sekitar pukul lima pagi, aku terjaga. Tubuhku seperti memiliki alarm sendiri, setiap hari selalu terbangun sekitar pukul lima pagi, walaupun dengan kondisi tubuh selelah apapun.
Rani masih berada di sisi kiriku. Kepalanya sudah tidak lagi berada di bahuku, melaikan berada di atas kasur di bawah ketiakku. Tangan kirinya sekarang berada di perutku, sedangkan kaki kirinya masih melintang di atas kedua kakiku.
Di samping kananku terbaring Mba Dita. Masih dalam posisi menghadap ke kanan dan keadaan meringkuk. Mungkin karena kedinginan. Semalaman kami semua tidur tanpa ditutupi kain sehelaipun. Selimut yang seharusnya menyelimuti kami malah menjadi alas kami tidur.
Penyakit pria saat bangun tidur di pagi hari adalah penisnya hampir selalu dalam keadaan terbangun. Begitu pula aku. Batang penisku sudah mengeras. Walaupun kerasnya belum sempurna. Beberapa saat kemudian, semakin lama batang penisku bertambah keras. Ini akibat aku terlalu lama memperhatikan bokong Mba Dita.
Dari posisi tidurku saat ini, aku bisa dengan jelas melihat sepasang bongkahan pantat Mba Dita yang montok. Ditambah lagi samar-samar bisa kulihat bibir vagina Mba Dita yang gundul mengintip dari sela-sela bongkahan pantatnya.
Hasrat seksualku menjadi menggebu. Ingin rasanya batang penisku dijepit vaginanya lagi. Posisiku masih terjepit oleh Rani. Lalu kupindahkan kaki kiri Rani dari atas kakiku ke tempat tidur. Kemudian aku bangkit dari tidur dan duduk di samping pantat Mba Dita dengan menekuk kedua kakiku ke belakang dan menjadikan kedua tumitku menjadi alasku duduk.
Tangan kiriku aku letakkan di atas pantat kiri Mba Dita. Kemudian kusingkap pantat Mba Dita ke atas untuk melihat lebih jelas mulut vagina Mba Dita. Lalu telunjuk kananku kuarahkan ke mulut vagina Mba Dita.
Kusentuh mulut vaginanya denga ujung telujuk kananku. Terasa kering di sana. Selanjutnya aku buka bibir vaginanya hingga bagian dalam mulut vagina Mba Dita yang berwarna merah muda sedikit terlihat.
Aku basahi ujung telunjuk kananku dengan ludahku. Lalu kuarahkan lagi ke vagina Mba Dita dan kumasukkan telunjukku ke dalam sana. Belum ada reaksi dari Mba Dita. Pelan-pelan telunjuk kananku bergerak keluar masuk lubang Mba Dita. Semakin lama kurasakan vagina Mba Dita mulai memproduksi cairan pelumasnya.
Tubuh Mba Dita mulai bergerak-gerak. Aku tak lagi bisa menahan hawa nafsuku. Segera kepala dan batang penisku aku basahi dengan air liurku. Begitu juga mulut vagina Mba Dita, segera aku olesi dengan air ludahku. Setelah dirasa cukup, aku masukkan batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Mba Dita.
Tubuh Mba Dita tiba-tiba terhentak saat kepala penisku mulai menelusuk lubang senggamanya. Dia terbangun mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang, ke arahku. Gerakan Mba Dita ini membuat kepala penisku keluar kembali.
“Ah sialan lo Rio. Bikin kaget aja”, sahut Mba Dita. Dia pun kembali merebahkan kepalanya ke posisi semula. “Lain kali ketok pintu dulu kek. Maen selonong masuk rumah orang aja”, sahut Mba Dita kemudian.
“Ngapain pake ketok segala? Kan gue punya kuncinya hehehe”, jawabku sambil meringis.
“Rese lo”, balas Mba Dita.
“Udah cepetan, ga pake lama, gue masih ngantuk, basahin dulu memek gue pake ludah lo, memek gue masih ngilu gara-gara elo semalem”, cerocos Mba Dita.
“Iya, udah kok”, balasku.
Aku kembali mendekatkan penisku ke mulut vagina Mba Dita. Aku ubah posisi tubuh mba Dita. Kudorong kedua pahanya untuk semakin mendekati badan Mba Dita. Kuletakkan tangan kiriku di atas paha kiri Mba Dita. Kupegang batang penisku dengan tangan kananku. Lalu kumasukkan batang penisku ke dalam vagina Mba Dita yang sudah basah oleh air liurku.
Mba Dita mendesis saat seluruh batang penisku ditelan vaginanya. Liang vaginanya masih terasa kesat. Kukocok vagina Mba Dita pelan-pelan. Seiring intensitas kocokanku, cairan pelumas vagina Mba Dita pun mulai keluar membasahi dinding liang senggamanya. Vagina Mba Dita pun menjadi licin, tapi tidak mengurangi daya jepitnya terhadap batang penisku.
Mengabulkan permintaan Mba Dita, kukocok liang senggama Mba Dita dengan cepat. Tubuh Mba Dita turut bergoyang seirama dengan goyanganku. Selanjutnya tangan kananku kuletakkan di bagian belakang kedua lutut Mba Dita. Kudorong ke depan hingga posisi Mba Dita seperti orang jongkok, tetapi dalam posisi tiduran miring ke samping.
Kupacu terus lubang kenikmatan Mba Dita dengan batang penisku. Kulihat Mba Dita menikmati persetubuhan ini dengan sesekali matanya terpejam. Aku merasakan desakan air maniku sudah mencapai pangkal penisku. Batang penisku sudah mengeras sampai batas maksimalnya. Hal ini membuat Mba Dita yang semula diam menjadi ikut mendesah.
Semakin cepat dan cepat kugoyangkan pinggangku dan akhirnya penisku pun menyemprotkan air maniku. Kubenamkan dalam-dalam penisku di liang senggamanya. Sempat kurasakan kepala penisku mencium mulut rahim Mba Dita saat semprotan pertama spermaku keluar. Sekitar lima kali penisku menyemprotkan air maniku.
“Banyak amat sperma lo”, celoteh Mba Dita.
“Ya kali aja dapet keponakan baru”, jawabku asal.
Plaakk.. Tangan kiri Mba Dita menepak tangan kiriku keras. “Brengsek lo!”, protes Mba Dita. “Udah gih sana copot kontol lo, gue mau tidur”, lanjut Mba Dita.
Kulepaskan batang penisku dari dalam vagina Mba Dita. Lalu kurebahkan badanku di tempat semula aku bangun. Kemudian melanjutkan tidur nyenyakku.
**
Kami bertiga sudah bangun seluruhnya sekitar pukul tujuh pagi. Setelah bermalas-malasan sebentar di tempat tidur, kami pergi mandi bersama-sama.
Aku mendapat protes dari Mba Dita dan Rani, karena vagina mereka berdua masih terasa ngilu. Setelah kuperiksa, kondisi bibir vagina mereka berdua agak sedikit bengkak alias dower. Aku sempat terbahak-bahak melihatnya. Pukulan dan cubitan pun bertubi-tubi mendarat di tubuhku oleh mereka berdua.
Saat mandi bersama, batang penisku kembali tegang. Awalnya mereka berdua tidak ada yang mau menjadi sarana pelampiasan hasrat seksualku, karena keadaan vagina mereka. Setelah kurayu-rayu, akhirnya Rani mengalah dan merelakan lubang anusnya aku ambil keperawanannya.
**
Peristiwa di Kota Kembang itulah terakhir kalinya aku bercinta dengan mereka berdua. Kami memutuskan untuk menghentikan ini semua untuk menjaga kandungan Mba Dita yang saat ini telah menginjak bulan ke lima. Sedangkan umur kandungan Rani sudah mencapai bulan ke enam, sama dengan istriku.