Kemudian Rani beranjak dari kangkangannya di kepalaku. Merebahkan tubuhnya di samping kiriku, karena Mba Dita sedang berbaring di kananku sedikit ke bawah. Lalu Rani menciumku dengan mesranya. “Enak banget Mas, makasih”, sahut Rani pelan sambil menciumku. Selesai menciumku, Rani memelukku dan merebahkan kepalanya di dadaku.
Aku memegang daerah di sekitar penisku dengan tangan kananku. Terasa lengket. Kucoba menciumnya dengan mendekatkan tangan kananku ke hidungku, tapi aku tidak mencium adanya bau sperma. Aku merasakan ada kejanggalan. Ya, aku tak merasakan adanya spermaku yang menetes di sekitar penisku. Rupanya Mba Dita menghisap dan menelan suruh spermaku yang keluar, karena dia sama sekali tidak beranjak dari tempat tidur.
Kulihat mata Rani terpejam, terdengar dengkuran halus dari hidungnya. Mba Dita pun sedang memejamkan mata. Kubelai kepala Mba Dita dengan tangan kananku. Aku mencoba memejamkan mata pula, menikmati momen saat ini bersama kedua saudari kandung istriku sendiri.
Gruk gruk gruk. Bunyi dari perutku mengganggu keheningan kamar ini. “Perut siapa tuh?”, Mba Dita bersuara.
Rani pun mengangkat kepalanya dan menatapku. “Mas laper? Sammaaa”, sahut Rani manja.
“Ya gimana ngga laper, energi gue abis disedot elo berdua hehehe”, jawabku.
“Yaelah, daritadi elo cuma pasrah ngga ngapa-ngapain juga”, sahut Mba Dita menimpali.
“Lah emang kontol gue ngga cape apa daritadi bediri mulu. Sampe muntah-muntah pula”, sahutku asal.
Sontak Mba Dita dan Rani tertawa mendengar ucapanku. Bahkan Rani sampai mencubit perutku hingga aku mengaduh.
“Gue mau ambil buku menu dulu”, sahutku ke Rani. Rani pun berguling ke kiri beranjak dari tubuhku. Aku lalu bangun dari tempat tidur dan melangkah menuju meja di bawah televisi. Mengambil buku menu yang ada di sana dan membawanya ke tempat tidur di mana terdapat dua wanita kakak beradik tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
“Elo pada mau pesen apa?”, tanyaku ke mereka berdua sambil menyerahkan buku menu ke sang kakak.
“Elo emang mau pesen apa?”, Mba Dita balik bertanya.
“Gue paling steak tenderloin. Ada ngga?”, sahutku ke Mba Dita.
Mba Dita membuka-buka buku menu. “Ada nih”, sahutnya lagi.
“Aku mau nasi goreng seafood. Sama minumnya jus semangka”, sahut Rani tanpa ditanya.
“Elo jadinya mesen apa Mba?”, tanyaku ke Mba Dita.
“Gue ini aja deh, steak salmon sama milkshake strawberry ya”, jawab Mba Dita sambil menutup buku menu dan menyerahkannya kepadaku lagi.
Kuambil buku menu dari Mba Dita, lalu menyimpannya di dekat telepon yang ada di meja kecil samping kanan tempat tidur. Kuangkat gagang telepon dan kupencet nomor ekstensi sesuai tertera dalam buku menu.
Selesai memesan makanan, kuambil ponselku dan menyandarkan tubuhku di sofa untuk satu orang dengan tambahan sandaran kaki, yang ada dekat kaca yang menghadap jalan Dago. Kubuka ponselku dan mulai membaca pesan-pesan yang masuk untukku, dan aku balas beberapa diantaranya.
Ting tong. Sekitar lima belas menit sejak ak memesan makanan, makanan pun tiba. Mba Dita dan Rani yang masih dalam keadaan telanjang bulat, sedikit panik. Mba Dita bergeser ke arah kepala kasur dan merebahkan tubuhnya, sambil menarik selimut yang sejak tadi sebagai alas kami bercinta. Ditutupi tubuhnya sampai sebatas leher, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku mencari celana pendek dan kaos oblong yg tadi aku pakai. Tidak ketemu. Aku melangkah ke kamar mandi dan mengambil handuk, lalu melilitkannya ke tubuhku sebatas pusar ke bawah. Ternyata pakaianku semuanya ada di lantai, bercampur dengan pakaian Rani. Aku bereskan pakaian kami bertiga yang masih berserakan, kutaruh semuanya di kursi tempat Mba Dita tadi melakukan masturbasi.
Kubuka pintu kamar dan kupersilahkan room boy meletakan di meja bawah televisi. Kemudian Room boy pun keluar kamar setelah menerima pembayaran dariku ditambah lebihan buat dirinya.
“Mau makan di mana?”, tanyaku ke Mba Dita dan Rani.
“Aku nanti makan di kasur aja lah Mas”, jawab Rani sambil senyum kepadaku.
“Sama”, sahu Mba Dita masih tak lepas pandangannya dari ponselnya.
Kuambil kedua piring yang berisi pesanan Mba Dita dan Rani. Kubawa ke tempat tidur dan kuletakkan kedua piring di antara tubuh Mba Dita dan Rani.
“Eh Rio, ngga usah, engga usah repot-repot”, sahut Mba Dita sambil menegakkan badannya sehingga dalam posisi duduk di tempat tidur dan menerima piring berisi makanan pesanannya dari tanganku.
“iiihh Mas Rio baik banget deh bawain ke sini. Makasih yaa”, sahut Rani merajuk, tetap dalam posisi tiduran dan memberikan senyum cantiknya padaku.
Kami bertiga pun makan bersama. Aku memilih untuk makan di meja bawah televisi dengan menggunakan kursi yang diduduki Mba Dita untuk masturbasi tadi, dengan terlebih dahulu memindahkan pakaian kami semua ke atas tas koper milik Mba Dita. Sedangkan Rani dan Mba Dita menyantap makanannya di atas tempat tidur, masih keduanya dalam keadaan telanjang bulat, hanya menutupi bagian selangkangannya dengan selimut, sementara dua pasang payudara mereka dibiarkan menggantung bebas.
(tkp)
Mereka makan sambil bergossip ria mengenai orang-orang yang ada di kantor mereka, karena mereka memang bekerja pada perusahaan yang sama. Sesekali mereka berdua tertawa terbahak-bahak membicarakan tingkah laku teman-teman kantornya. Aku yang tidak mengerti obrolan mereka berdua, hanya bisa menikmati makanan sambil bermain game online.
Selesai makan, aku membakar rokokku dan berpindah duduk ke sofa dekat jendela. Sebelum duduk, kubuka lilitan handuk yang menutupi selangkanganku. Kemudian aku duduk di sofa, lalu kujadikan handuk sebagai selimut untuk menutupi selangkanganku. Kuletakkan asbak di meja kecil samping kanan sofa, lalu kembali berkutat pada ponselku.
Kutelepon Risa, istriku. Menanyakan kabar anak-anak di rumah. Terdengar celotehan kedua anakku di seberang sana. Tak lupa kuberitahukan padanya kalau aku sedang bersama kedua saudari kandungnya. Risa tidak menaruh curiga sedikit pun. Selain karena saudari kandung, juga karena kedua saudari kandungnya saat ini bersamaku, mungkin lain cerita kalau hanya salah satu dari mereka yang bersamaku.
Mba Dita dan Rani tetap mengobrol sambil membereskan piring kotor bekas mereka makan. “Duh perut gue kok mules ya”, sahut Mba Dita diujung obrolan. “Aku dulu. Aku mau pipis”, sahut Rani ke Mba Dita. Rani pun berjalan ke arah kamar mandi.
“Elo liat rokok gue ngga?”, tanya Mba Dita padaku. “Kaga. Pake ini aja nih”, sahutku sambil menyodorkan rokokku beserta koreknya.
“Yaudah gue bagi ya. Udah kebelet gue”, sahut Mba Dita menerima sebungkus rokok dan koreknya. Diambilnya rokok sebatang dan dinyalakannya diselipan kedua bibirnya.
“Thanks”, sahut Mba Dita diiringi hembusan asap rokok ke udara dari mulutnya dan mengembalikan rokokku beserta koreknya. Lalu Mba Dita berjalan ke arah kamar mandi sambil berteriak, “Rani buruaan, gue kebelet”.
“Iyaa, ini udah kok”, balas Rani dari dalam kamar mandi.
Mba Dita langsung masuk ke dalam kamar mandi. Terdengar ada percakapan di antara mereka di kamar mandi, yang tidak jelas aku dengarkan. Tak lama kemudian Rani keluar kamar mandi sambil mengelap daerah vagina dan pantatnya dengan handuk yang dibawanya dari kamar mandi.
“Ran, minta tolong remote tivi dong?”, sahutku sambil menunjuk ke arah remote televisi berada yang tak jauh darinya.
Rani menggantungkan handuk ke sandaran kursi, lalu mengambil remote televisi dan berjalan menghampiriku. Tetapi bukannya memberikan remote kepadaku, Rani malah menarik handuk yang sejak tadi menutupi selangkanganku. Kemudian Rani mengambil posisi untuk duduk di pangkuanku dan sukses mendaratkan belahan pantatnya di atas penisku.
“Mau nonton apa Mas?”, tanya Rani sambil mengarahkan remote dengan tangan kanannya ke arah televisi.
“Coba liat hbo atau fox. Siapa tau ada film bagus”, jawabku. Rani pun memencet tombol untuk mencari channel yang aku maksud.
“Ini Mas?”, tanya Rani.
Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke layar televisi. “Yaudah ini aja”, jawabku.
Rani lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Lalu dicium-ciumnya pipi kiriku beberapa kali.
“Pacaran mulu”, sahut Mba Dita tiba-tiba. Kulihat dia sudah keluar kamar mandi sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk. “Gue serius loh ya nyuruh kalian stop”, sahut Mba Dita lagi.
“Ah bilang aja takut aku rebut Mas Rio”, Rani menanggapi.
“Yee gue kan cuma eMeL doang, ngga pake pacaran segala”, jawab Mba Dita sambil menghisap rokoknya yang baru saja dibakar.
“Ya sama aja”, sahut Rani tidak mau kalah.
“Ya bedalah”, sahut Mba Dita dengan nada agak tinggi.
“Udah ah jangan pada ribut. Mending main lagi nyok. Gue udah konak lagi nih hehehe”, sahutku memotong perdebatan kedua kakak adik ini.
Langsung keremas payudara kanan Rani dengan tangan kiriku, kumainkan putingnya dengan memilin-milinnya ke kiri dan ke kanan. Kusimpan ponselku ke tempat tidur dengan tangan kananku. Lalu tangan kananku menjalar dari perut Rani ke arah selangkangannya.
Sesampainya di bawah perut Rani, jari tengah tangan kananku mulai kumainkan di vagina Rani. Pertama kali aku sentuh adalah klitorisnya. Kumainkan klitorisnya dengan ujung jari tengahku. Kutekan-tekan dan kugerakkan ujung jariku dengan cara berputar. Rani pun bereaksi atas gerakan jariku. Rani menarik kepalaku dengan tangan kirinya, lalu diciumnya bibirku penuh hawa nafsu, kubalas ciuman Rani dengan nafsu pula.
Batang penisku sudah dalam keadaan keras sempurna bertengger pada belahan kedua pantat Rani, ditambah lagi dengan gerakan pantat Rani seiring permainan jari tengahku di vaginanya, membuat gesekan antara batang penisku dengan belahan pantatnya.
Setelah cukup puas bermain dengan klitoris Rani, jari tengahku mulai merangsek ke dalam lubang kenikmatannya. Kumasukkan tiga perempat jari tengahku ke dalam lubang vagina Rani, kurasakan di jariku lubang vagina Rani yang sudah basah oleh cairan hangat. Kukocok lubang vagina Rani perlahan-lahan. Kuberikan sedikit gerakan berputar jariku dalam lubang kenikmatannya.
“Mas, masukin”, pinta Rani padaku.
Kulepaskan kocokan jari tengahku dari vagina Rani. Begitu banyak cairan vagina Rani yang menempel pada jari tengahku, hingga cairan itu menetes dari jari tengahku begitu aku keluarkan jariku dari lubang vagina Rani.
“Angkat pantat kamu sedikit ya”, sahutku ke Rani.
Kemudian Rani pun mengangkat kedua bongkahan pantatnya dari atas selangkanganku. Kutegakkan batang penisku dengan tangan kananku, lalu kuarahkan kepala penisku ke permukaan lubang vagina Rani, Rani membantu dengan menggerakkan tubuhnya agar kepala penisku tepat berada di lubang kenikmatannya.
Setelah dirasakan pas, Rani pelan-pelan menurunkan kedua pantatnya membuat kepala penisku merangsek ke dalam lubang vaginanya yang sudah becek oleh cairan kenikmatannya. Hampir seluruh batang penisku ditelan vagina Rani. Terasa hangat penisku di dalam sana. Rani tidak langsung menggoyangkan pinggulnya.
Kuarahkan kembali tangan kananku ke vagina Rani. Lalu kumainkan klitoris Rani, sehingga tubuh Rani bergoyang mengikuti irama sentuhan ujung jari tengahku di klitorisnya.
Aku menekuk kedua lututku sedikit ke atas. Kedua telapak kakiku berada di atas sofa. Sementara kedua kaki Rani berada di kanan dan kiri kedua kakiku. Kemudian kugoyangkan pinggulku untuk mengocok vagina Rani dengan penisku. “Ach ach ach”, Rani pun kembali mendesah akibat vaginanya dikocok oleh penisku.
Kulihat Mba Dita memperhatikan persetubuhan antara aku dan Rani. Aku berikan senyum kepada Mba Dita. Lalu aku anggukan kepalaku mengajak Mba Dita untuk bergabung denganku dan Rani. Mba Dita pun beranjak dari atas tempat tidur dan duduk di tepi tempat tidur.
Mba Dita memperhatikan apa yang aku dan Rani lakukan dengan jarak kurang lebih satu meter. Kulihat tangan kanannya diselipkan di pangkal pahanya, lalu Mba Dita menggerak-gerakkan jari tangan kanannya di vaginanya. Kemudian ditarik kembali tangan kanannya dari pangkal pahanya, dan disodorkannya kepadaku dengan ujung ibu jari dan telunjuk kanannya bersentuhan seperti capit kepiting, lalu digerakan seperti kepiting yg akan menyapit dan kulihat ada cairan kental diujung ibu jari dan telunjuk kanan Mba Dita.
“Udah becek”, sahut Mba Dita dan kembali menyelipkan tangan kanannya di pangkal pahanya.
Hasratku kembali meluap untuk segera menikmati vagina Mba Dita lagi. Kupercepat kocokan batang penisku di vagina Rani, membuat tubuh Rani terlonjak-lonjak di atas badanku. Dengan sedikit hentakan-hentakan dari otot pinggulku, kubenamkan batang penisku semakin dalam di liang kenikmatan Rani.
“Ouch mash.. mash.. mash.. mash.. mash.. pelan-pelan mash..”, racau Rani. Aku tidak mempedulikannya, tetap kukocok vagina Rani dengan cepat.
“Mash.. mash.. mash.. ooch.. mash.. mash.. udah mash.. udah maaasshhh… ”, racauan panjang Rani disertai pantatnya terangkat dari tubuhku sementara badannya melenting ke belakang dengan tumpuan kedua tangannya pada kedua lengan sofa, menandakan Rani telah mencapai orgasmenya, selain itu juga batang penisku merasakan sesuatu cairan hangat keluar dari lubang vagina Rani yang membuat lubang kenikmatannya menjadi semakin licin.
Aku turunkan kecepatan kocokan batang penisku di lubang vagina Rani perlahan-lahan hingga berhenti. Lalu aku peluk tubuh Rani dengan kedua tanganku sambil kedua tanganku meremas-remas kedua payudaranya dan memilin-milin kedua putingnya. Kemudian Rani menyandarkan punggungnya ke atas tubuhku, sedikit ke kiri.
Sambil tetap berciuman, perlahan kugeser tubuhku ke kanan sambil bangkit dari sandaranku di sofa, sehingga tubuh Rani yang sekarang bersandar di atas sofa. Kaki kiriku sudah menginjak lantai, kusudahi ciumanku di bibir Rani. Aku berpaling ke arah Mba Dita di belakangku yang masih duduk di pinggir tempat tidur, kuhampiri tubuhnya, lalu kuambil posisi tepat di hadapan Mba Dita dengan kedua kakiku sedikit mengangkangi kedua kaki Mba Dita.
Kudekatkan kepalaku ke kepala Mba Dita untuk menciumnya, Mba Dita membalas nafsu ciumanku. Tangan kananku mendorong pelan di dadanya sehingga tubuh Mba Dita terbaring di atas tempat tidur diikuti condongnya tubuhku karena bibir kami masih saling berpagutan. Tubuhku tidak menyentuh tubuh Mba Dita, aku bertumpu pada kedua tanganku yang berada di samping kanan dan kiri tubuh Mba Dita.
Ciumanku beralih dari bibir Mba Dita ke arah lehernya sebelah kiri, dan terus turun menuju dadanya. Menciumi payudaranya sebelah kiri, lalu mengulum puting kirinya yang mulai mengeras. Kemudian beranjak ke payudara kanan Mba Dita dan kuciumi serta kukulum putingnya disertai gigitan-gigitan kecil. Hembusan nafas Mba Dita semakin berat.
Setelah puas mencium payudaranya, ciumanku turun ke bawah ke arah perutnya. Kucium lembut yang membuat Mba Dita menggelinjang geli. Terus turun ke arah pangkal paha Mba Dita, menuju gundukan vaginanya yang tembem. Vagina Mba Dita yang gundul, dengan posisi kedua kakinya yang masih rapat dan menjuntai ke lantai, sehingga yang kulihat berupa ujung badan wanita yang terdapat garis tebal vertikal labia minora yang sedikit menyembul keluar.
Kubuka kedua kaki Mba Dita, kudorong sedikit tubuh Mba Dita ke atas tempat tidur, kutekuk kedua kakinya ke atas sehingga kedua lututnya tertekuk menghadap ke atas. Kurendahkan tubuhku dengan berdiri bertumpu pada kedua lututku di lantai. Kugeser tubuhku agar lebih dekat dengan selangkangan Mba Dita yang sudah terbuka lebar.
Aku bisa melihat dengan jelas vagina Mba Dita yang tanpa bulu sehelaipun. Kuletakkan kedua telapak tanganku di bagian bawah kedua paha Mba Dita dan kudekatkan kepalaku ke arah vaginanya, hingga aku bisa mencium aroma selangkangan Mba Dita yang berbau khas sabun khusus kewanitaan.
Kuarahkan lidahku ke bagian atas vagina Mba Dita. Ujung lidahku aku mainkan di sana. Mba Dita bergerak-gerak geli. Lalu kulakukan gerakan sapuan dengan lidahku dari bagian bawah vagina Mba Dita. Ujung lidahku menelusuk masuk ke liang vagina Mba Dita saat melakukan sapuan. “Aacchh”, desah Mba Dita.
Kuulangi gerakan sapuan tadi tapi sedikit berlama-lama saat ujung lidahku berada di dalam lubang kenikmatan Mba Dita, kumainkan ujung lidahku di dalam lubang vaginanya. Tubuh Mba Dita terus menggelinjang kenikmatan. Kuulangi sekitar lima kali.
Selanjutnya kubenamkan mulutku ke vagina Mba Dita. Kucium dan kuhisap labia minoranya. Kumasukkan lidahku dalam lubang kenikmatan Mba Dita, kumainkan ujung lidahku di dalam sana. Kugerak-gerakkan lidahku di liang vagina Mba Dita, diselingi dengan hisapan-hisapan kuat di klitoris Mba Dita. Mba Dita mulai meracau tidak jelas, tubuhnya bergerak-gerak tidak beraturan seirama dengan hisapan mulutku dan gerakan lidahku di vaginanya.
“Sshhh haahh sshhh haahhh”, desah Mba Dita semakin kencang. Tubuh Mba Dita mulai terhentak-hentak. Mba Dita hampir mencapai klimaksnya. Aku terus menghisap dan menjilat-jilat bagian dalam vaginanya dengan lidahku. Kuperkuat daya hisapku hingga membuat tubuh Mba Dita melenting ke atas beberapa kali. “Aaaaccchhh”, satu erangan panjang dari mulut Mba Dita dengan posisi tubuhnya mengejang dan melenting ke atas, sementara kedua pahanya menjepit kepalaku tetapi tangan kirinya berusaha menjauhkan kepalaku dari vaginanya, dan dari lubang vaginanya menyemprotkan cairan beberapak dengan cukup deras hingga mau tak mau cairan ini tertelan olehku, rasanya lebih asin dari cairan pelicin vaginanya.
Menurutku baik Mba Dita, Rani, maupun Risa, istriku, merupakan wanita yang beruntung. Mereka bisa dengan mudah mencapai seksual orgasme. Sementara itu di seluruh dunia ini tidak sampai tiga puluh persen wanita yang dapat merasakan nikmatnya orgasme dari hubungan seks.
Kepalaku masih berada di selangkangan Mba Dita. Bibirku masih mengulum klitoris dan mencium bibir vagina Mba Dita, tapi kali ini kulakukan dengan lembut. Perlahan-lahan otot-otot Mba Dita mengendur. Jepitan pahanya di kepalaku mulai melunak. Tubuhnya sudah berada di atas kasur lagi. Sementara itu nafas Mba Dita masih tersenggal.
Kusudahi permainan lidahku di vagina Mba Dita. Saatnya bagiku untuk merenggut kenikmatan dari vagina Mba Dita. Aku bangkit dan berdiri dengan kedua kakiku. Kulihat Mba Dita masih terbaring lemas. Dengan wajah sayu dipandanginya diriku.
Kuraih kedua paha Mba Dita yang masih mengarah ke atas. Kutarik tubuhnya agar lebih dekat ke arahku. Kudekatkan batang penisku menuju lubang kenikmatan Mba Dita. Semangat batang penisku tidak mengendur paska bertugas menggempur vagina Rani sebelumnya. Masih tegak berdiri menunggu untuk bertugas di pertempuran berikutnya.
Vagina Mba Dita terlihat berkilau karena basah oleh cairan vaginanya dan air liurku. Dengan bantuan tangan kananku, kuarahkan kepala penisku ke mulut vagina Mba Dita sampai kepala penisku melesak ke dalam lubang kenikmatannya. Kubenamkan hampir seluruh batang penisku ke dalam liang vagina Mba Dita. “Uugh”, terdengar erangan pelan Mba Dita saat batang penisku menyentuh bagian terdalam lubang vaginanya.
Kucondongkan tubuhku ke arah tubuh Mba Dita. Kukaitkan kedua kaki Mba Dita pada bagian bawah lututnya di kedua lenganku. Kudekatkan kepalaku ke arah kepalanya dan kucium bibir Mba Dita penuh nafsu. Badan Mba Dita sedikit tertekuk, kedua pahanya hampir menyentuh kedua payudaranya, dan kedua kakinya menjulang ke arah langit-langit kamar.
Kucium Mba Dita sambil kukocok vagina Mba Dita dengan tempo sedang. Vaginanya masih dapat menjepit penisku erat hingga membuatku merasa nikmat. Tubuh Mba Dita ikut berguncang-guncang kala vaginanya menerima kocokan dari batang penisku.
Mulut Mba Dita sudah tidak kuasa untuk menciumku, hanya bisa menganga akibat rasa nikmat yang ditimbulkan kocokan penisku di vaginanya. Aku pun beralih menciumi lehernya sebelah kanan. Sementara tangan kananku bergerilya meremas-meremas payudara kiri dan memilin puting kiri Mba Dita.
Bosan posisi seperti itu, aku tegakkan kembali tubuhku. Kedua lengan tetap dijadikan sandaran bagi kedua kaki Mba Dita. Vagina Mba Dita terus menerima kocokan batang penisku dengan kecepatan sedang akibat goyangan maju mundur oleh otot pinggangku.
Aku lihat dari ujung mataku kalau Rani bangkit dari sofa di belakangku. Rani bergerak ke arah belakangku. Kemudian dipeluknya tubuhku dari belakang. Kedua tangannya dilingkarkan di pinggangku. Diciumnya pipi kananku. Aku pun menengok ke kanan untuk membalas mencium bibirnya. Mulutku dan mulut Rani kembali bertemu, lidah kami kembali bergulat satu sama lain.
“Mau lagi?”, tanyaku ke Rani.
“Kalo Mas mau, aku juga mau kok”, jawab Rani.
“Mau coba pake dildo ngga?”, tanyaku lagi sambil tidak mengendurkan kocokan penisku di vagina Mba Dita.
“Mmm..”, Rani hanya menggumam.
“Ngga mau?”, tanyaku.
“Ngg.. Belum pernah”, jawab Rani.
“Ya makanya ini dicoba hehehe”, sahutku.
“Tapi akunya tetep mau titit Mas Rio”, sahut Rani.
“Iya, aku juga mau ngerasain meki kamu lagi kok. Pake dildo dulu. Buat foreplay. Sambil nunggu Mba Dita orgasme lagi”, sahutku meyakinkan Rani.
“Ada dimana?”, tanya Rani.
“Mba, dildonya ditaro di mana?”, tanyaku langsung ke Mba Dita.
“Adha dhi kopher gue. Dhi kantong kechilnyah”, jawab Mba Dita sambil mendesah.
“Yaudah aku ambil dulu”, sahut Rani lagi.
Rani pun melepaskan pelukannya dan melangkah menuju ke arah tas koper Mba Dita.
“Cuchi du lu Ran. Ugh ugh. Bekassh gue”, sahut Mba Dita masih diiringi desahannya.
“Yaelah pake dicuci segala. Dari tadi kontol gue elo berdua pake gantian, ngga pake dicuci dulu”, sahutku menyelak. Kulihat Mba Dita meringis, entah karena ucapanku atau karena hujaman batang penisku di vaginanya.
Bersambung…