Selasa siang sekitar pukul setengah satu, tiga minggu setelah aku dan keluargaku berlibur ke resort tepi pantai, ponselku bergetar di saku kiri depan celana kerjaku. Kurogoh saku celanaku dengan tangan kiriku dan kutarik ponselku keluar. Kulihat layar sentuh ponsel pintarku yang tertulis nama Mba Dita di sana.
“Halo, ya Mba?”, jawabanku atas panggilan telepon Mba Dita.
“Halo. Gue tunggu besok sore di Bandung ya. Bye”, sahut Mba Dita di seberang sana, singkat dan padat. Telepon sudah tidak tersambung lagi. Setengah tidak percaya kupandangi layar ponselku, meyakinkanku kalau memang sudah tidak terkoneksi lagi dengan Mba Dita. “Cah gendeng”, gumamku pelan sambil menatap layar ponselku yang saat ini hanya menampilkan foto kedua anakku sebagai wallpaper ponselku.
Aku menduga-duga kira-kira apa yang diinginkan Mba Dita dariku. Seluruh dugaanku semuanya bermuara ke arah selangkangan. Aku pun jadi membayangkan bagaimana bentuk tubuh Mba Dita yang mungil tapi padat. Payudaranya yang besar berukuran tiga empat c masih terasa kencang dan kenyal. Vaginanya yang sedikit tembam dan masih rapet dengan ototnya yang bisa menjepit batang penisku.
Kemudian kusentuh ibu jari kiriku ke homebutton untuk membuka ponselku yang terkunci. Kubuka aplikasi Calendar untuk melihat agendaku untuk minggu ini. Ada beberapa undangan rapat yang kesemuanya bisa dihadiri cukup oleh stafku. Dengan posisi jabatanku saat ini, aku dapat pergi keluar kota tanpa menunggu perintah ataupun meminta persetujuan terlebih dahulu kepada direksi perusahaan tempat aku bekerja.
**
Esok harinya aku tiba di Bandung sekitar jam sembilan pagi. Aku langsung menuju kantor cabang yang ada di Bandung untuk menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu. Sekitar jam dua siang, aku coba menghubungi Mba Dita dengan meneleponnya. Akan tetapi teleponku malah dia tolak. Tak lama, muncul notifikasi pesan masuk dari aplikasi bergambar pesawat kertas.
Beberapa saat kemudian muncul pesan dari Mba Dita. “Elo udah sampe?”, tulisnya.
“Udah, dari jam 9 pagi”, balasku.
“Sorry gue reject, lagi rapat”, balas Mba Dita.
“Gue nginep di hotel Lux**n daerah Dago”, tulisnya lagi. “Jam limaan lah gue udah balik hotel lagi”, lanjut Mba Dita.
“Ok Mba”, balasku.
Setelah kulihat tulisanku terhapus secara otomatis, aku pun keluar aplikasi itu dan bergegas memesan hotel yang sama dengan tempat menginap Mba Dita melalui aplikasi yang ada di ponselku. Aku memesan dan membayar langsung untuk dua malam. Aku berencana langsung menuju hotel, bermaksud untuk istirahat terlebih dahulu, menyimpan tenaga dan menjaga stamina untuk pertempuran sore nanti.
**
Teett.. teett.. teett.. teett.. teett.. suara alarm berteriak nyaring dari ponselku sukses membuatku terbangun di jam lima sore. Kuraih ponselku yang tergeletak tak jauh dari tubuhku dan mematikan alarm yang masih terus berbunyi. Kulihat layar di ponselku dan ada beberapa pesan yang masuk termasuk dari Risa, istriku.
Sejenak aku habiskan waktuku untuk membaca surel yang masuk dan obrolan di grup serta pesan pribadi langsung kepadaku. Lalu aku menelepon istriku untuk menanyakan kabar darinya. Kemudian aku memutuskan untuk pergi mandi, membersihkan seluruh tubuhku supaya bau keringatku tidak menjadi pengganggu kenikmatan yang akan kuperoleh dari Mba Dita.
Selesai mandi, aku kembali mengambil ponselku. Kulihat ada notifikasi pesan masuk dari Mba Dita enam menit yang lalu. Kubuka pesan itu dan tertulis: “Gue udah di hotel. Kamar 708. Elo dimana?”.
“Sorry Mba, tadi lagi mandi. Gue juga di hotel. Kamar 516”, balasku.
“Elo ke sini ya”, balas Mba Dita tidak lama kemudian.
“Ok”, jawabku singkat.
Lalu aku mengambil pakaian yang hendak aku pakai dari travel bag milikku. Kupilih celana pendek longgar warna hitam dan kaos oblong warna abu-abu. Sengaja aku tidak memakai celana dalam, toh nanti akan dilepas-lepas juga hehehe, pikirku.
Kuambil kedua ponselku dari meja dan dompetku. Tidak lupa kucabut kartu akses kamar dari tempat untuk mengaktifkan listrik di kamar ini, lalu kubuka pintu kamar dan melangkah ke lift menuju kamar Mba Dita di lantai tujuh.
Sesampainya di depan pintu kamar yang disampingnya terdapat tulisan 708, aku memencet bell. “Bentar”, terdengar suara wanita dari dalam kamar.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan kulihat Mba Dita berada di balik pintu. Mba Dita masih memakai pakain seragam kerjanya yang kemeja putih lengan pendek dan rok pendek selutut warna biru tua. Tetapi ujung bawah bajunya sudah tidak dimasukkan lagi ke dalam roknya. “Masuk”, sahutnya. “Kunci pintunya”, perintah Mba Dita lagi lalu masuk ke dalam kamar.
Kamar Mba Dita ini ternyata sama jenisnya dengan kamar yang tadi kutempati. Kamar dengan ukuran tiga puluh dua meter persegi dengan kamar mandi berada di sisi kiriku dan lemari pakain di sisi kananku. Terlihat sebuah kursi yang rangkanya terbuat dari kayu dengan lengan kursi dan sandarannya menjadi satu bagian.
Sandaran kursi dan sisi lengan kursinya terdapat busa yang dibalut kulit warna coklat kekuningan. Kursi itu menghadap ke arah tempat tidur yang letaknya di sebelah kiri dan di seberangnya terdapat televisi yang menempel pada dinding. Di sudut rungan terdapat meja tempat biasanya kursi itu berada. Mba Dita berjalan ke arah kursi itu.
Langkahku langsung terhenti, saat kulihat sesosok wanita sedang duduk di sisi tempat tidur berhadapan dengan kursi dan memakai seragam yang mirip dengan Mba Dita pakai, tetapi yang dipakai sosok itu berupa baju lengan panjang dan celana panjang ditambah hijab dengan warna senada dengan celananya.
Wanita itu pun sama terkejutnya denganku saat mata kami menatap satu sama lain. Wajahnya menjadi pucat pasi. Membuat wajahnya semakin terlihat berantakan. Karena riasan tipis di wajah dan sekitar matanya sudah terlihat luntur akibat tetesan air matanya yang masih belum mengering. Ya, wanita itu adalah Rani.
Cukup lama kami bertatap mata. Badanku menjadi kaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu Rani pun berpaling melihat ke arah Mba Dita yang sudah duduk di kursi. Lalu kedua tangannya ditangkupkan di wajahnya yang menunduk dan sedikit kepalanya bergeleng-geleng ringan disertai isak tangis yang perlahan terdengar, seolah menyesali kehadiranku di kamar ini.
“Lah dia malah bengong. Duduk Rio”, perintah Mba Dita sambil menunjuk ke arah pinggirian tempat tidur samping kanan Rani.
Aku melangkah lalu duduk di samping kanan Rani yang masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Rani kenapa Mba?”, tanyaku ke Mba Dita.
“Elo tanya aja sendiri”, jawab Mba Dita sambil menggerakan kepalanya seolah menunjuk ke arah Rani.
Tepat setelah Mba Dita menyelesaikan ucapannya, Rani tiba-tiba memelukku. Seketika itu juga tangisnya pecah. Aku pun membalas pelukannya dan kuusap punggungnya berusaha untuk meredakan tangisnya.
“Mba.. Mba Dita udah tau Mas”, sahut Rani terbata-bata.
“Tau apa?”, tanyaku tak mengerti.
“Ta tau ki kita Mas”, sahut Rani masih diiringi dengan tangisnya.
“Terus kalo tau emang kenapa?”, tanyaku lagi sambil melirik ke arah Mba Dita yang masih duduk sambil memainkan ponselnya di hadapan kami berdua.
Rani tidak langsung menjawab, malah semakin mengeratkan pelukannya terhadapku. “Mba Dita ma mau kita berhenti Mas. Aku masih sayang Mas Rio”, sahut Rani dilanjutkan dengan tangisannya yang semakin keras. Aku bingung harus menanggapi apa. Aku memilih untuk diam.
Lama kami bertiga terdiam. Hanya isak tangis Rani saja yang terdengar. Rani tetap tidak mau melepaskan pelukannya.
“Udah belum nangisnya? Jadi gimana? Bisa ngga elo berdua berhenti?”, sahut Mba Dita tiba-tiba saat tangis Rani sudah reda.
Kulihat tatapan Mba Dita hanya kepada Rani. Sekilas kulihat raut wajah Mba Dita tidak ada kesan marah atau pun serius, malah seolah puas seperti setelah mem-bully seseorang. Aku mencoba menebak-nebak apa yang direncanakan Mba Dita.
Aku dan Rani belum menjawab pertanyaan Mba Dita. “Mudah-mudahan bisa Mba”, sahutku. “Tapi yang jelas butuh waktu, ngga bisa begitu aja”, lanjutku.
“Iya Mba, gitu. Butuh waktu”, sahut Rani menimpali.
“Namanya orang putus mah putus aja. Ngga pake waktu-waktuan segala”, sahut Mba Dita ketus.
“Salah kalian sendiri pake hati segala. Kalau mau eM eL mah eM eL aja. Ngga usah pake hati”, lanjut Mba Dita lagi.
Aku dan Rani terdiam mendengar kata-kata Mba Dita yang menusuk. Memang salahku juga. Membiarkan hubunganku dengan Rani sampai kami saling mencintai. Padahal maksudku hanya ingin menikmati tubuh Rani saja. Aku juga tidak menyangka akan menjadi seperti ini.
Mungkin mudah bagiku untuk melepas Rani. Tapi pastinya tidak untuk Rani, kalau melihat riwayat perjalanan cinta Rani sebelum-sebelumnya.
“Gini deh. Gue kasih kesempatan kalian berdua buat eMeL sekali lagi”, ucap Mba Dita.
“Tapi sekarang, di depan gue”, lanjut Mba Dita lagi.
“Haaahhh??”, sahut Rani terkejut sampai melepaskan pelukannya kepadaku dan langsung menatap tajam ke Mba Dita.
“Mba gila apa?!”, sahut Rani agak keras.
Aku juga cukup terkejut mendengarnya. Tidak menyangka Mba Dita berbicara seperti itu.
“Lebih gila mana coba dibanding ngembat suami kakaknya sendiri”, sahut Mba Dita datar. Kulihat raut wajah Rani siap untuk menangis lagi.
“Jadi ngga mau nih gue kasih kesempatan sekali lagi?”, ucap Mba Dita. “Awas ya kalo kalian sampe lanjut lagi. Gue bilangin Risa?!”, Mba Dita melanjutkan.
“Ngga mau Mba”, sahut Rani lirih.
“Kayanya harus mau deh”, ucap Mba Dita menanggapi sambil tetap memainkan ponselnya.
Tiba-tiba terdengar suara dua orang yang sedang berpacu birahi dari ponsel Mba Dita. “Wah gila nih orang malah ngebokep”, pikirku.
Mba Dita membalikkan ponselnya ke arahku dan Rani. Ternyata yang dimainkan adalah bukan video, melainkan rekaman suara. Aku dan Rani saling berpandangan. Kami berdua sama-sama terkejut dan yang membuat kami pucat pasi adalah saat nama kami berdua disebutkan oleh suara dari ponsel Mba Dita, membuat kami tersadar bahwa suara itu adalah suara kami berdua.
“Mba jahat!!”, teriak Rani dan seketika itu juga tangisnya pecah lagi. Rani pun kembali memeluk diriku.
Kulihat Mba Dita tersenyum penuh arti kepadaku. Tanpa suara kuucapkan “elo gila!”, ke arah Mba Dita. Aku bisa menangkap arah dan maksud Mba Dita. Sekarang tinggal keputusan ada pada diriku untuk melancarkan rencana Mba Dita atau tidak.
Aku coba untuk menenangkan Rani. Kupeluk Rani lebih erat. Kuusap kepalanya turun sampai kepunggungnya dengan tangan kananku. Terus berulang kali sampai tangisnya sedikit reda. “Udah gapapa tenang aja”, sahutku menenangkan. “Mba Dita ngga akan macem-macem kok”, sahutku lagi.
Rani masih saja sesegukan. “Sekarang semuanya balik lagi ke kamu. Kamunya mau ngga?”, ucapku setengah berbisik di telinga kiri Rani.
“Ini juga buat kebaikan keluarga kita. Bisa kacau kalau Risa atau Doni tau”, lanjutku meyakinkan Rani.
“Iya Mas. Terserah Mas Rio aja”, bisik Rani pasrah.
“Tapi malu Mas”, lanjut Rani.
“Udah gapapa. Anggep aja Mba Dita itu nyamuk hehehe”, bisikku sambil melirik ke arah Mba Dita yang kembali sibuk dengan ponselnya. Rani menanggapinya dengan menyarangkan cubitannya di pinggang kiriku.
Lalu kulepas pelukan kami dan kupandang sejenak wajah Rani, kulihat Rani tersenyum tersipu saat kuucapkan, “kamu tetep aja cantik”. Kuusap wajahnya dengan punggung telunjuk kananku. Lalu kubelai kepalanya yang masih tertutup hijab dengan tangan kananku, terus sampai dengan tengkuknya. Kemudian kukecup bibir Rani perlahan.
Rani pun membalas mengecup bibirku. Perlahan tapi pasti, kecupan itu berangsur-angsur berubah menjadi ciuman. Kulumat bibir bawah Rani sementara Rani juga melumat bibir atasku.
Kucoba memainkan lidahku di mulutnya. Rani pun merespon dengan ikut memainkan lidahnya beradu dengan lidahku. Nafasnya sudah memburu tak beraturan, mencoba melampiaskan birahi yang sejak tadi ditahannya.
Tangan kananku mulai bergerilya di tubuh Rani, sementara tangan kiriku tetap di punggunya menjaga agar tubuhnya tetap di dekatku. Kubuka satu persatu kancing baju seragam hingga seluruhnya terlepas. Dibalik baju seragamnya, ternyata Rani memakai tanktop warna putih sebagai lapisan. Rani ikut melepaskan kancing di lengan panjang bajunya dengan kedua tangannya.
Lalu tangan kananku beralih ke celana panjangnya. Kubuka ikat pinggangnya, kubuka kancing celananya dan kuturunkan resletingnya hingga terlihat celana dalam warna biru muda yang dipakainya. Kemudian kutarik ujung bawah baju seragamnya dan tanktop-nya bersamaan keluar dari himpitan celana panjangnya.
Tanpa aku minta, Rani melepas kait bra-nya di punggungnya, lalu dilepaskannya dari tubuhnya hingga payudaranya yang indah berukuran tiga empat b menggantung bebas, sementara puting imutnya yang berwarna merah muda kecoklatan menggoda untuk segera menghisapnya.
Kemudian kembali kucium bibir Rani sambil sedikit kecondongkan tubuhnya ke arah tempat tidur, lalu kulorotkan celana panjang sekaligus dengan celana dalamnya oleh kedua tanganku dengan dibantu Rani yang sedikit mengangkat pantatnya untuk memudahkanku melepas celana panjang dan celana dalamnya dan kujatuhkan ke lantai.
Selanjutnya Rani berdiri berdiri di hadapanku di antara kedua pahaku yang terbuka. Kemudian dipegangnya kedua pipiku dengan kedua tangannya dan memberikanku ciuman sesaat.
Dibukanya kaos oblong yang masih kupakai dengan kedua tangannya, dilanjutkan dengan aku sendiri yang melepas celana pendekku. Batang penisku yang sejak tadi sudah mengeras akhirnya dapat terlihat bebas.
Rani menaikkan kaki kanannya ke atas tempat tidur di samping paha kiriku, aku pun menarik mundur pantatku sampai ujung bawah pahaku menyentuh pinggir tempat tidur agar aku bisa duduk lebih dalam ke arah tempat tidur, dan kurapatkan kedua pahaku hingga Rani dapat duduk di kedua pahaku dengan kakinya ditekuk di atas tempat tidur di samping kedua pahaku.
Rani langsung menyambar mencium bibirku dengan ganasnya, kedua tangannya berada di kepalaku mengusap-usap tak tentu arah.
Sementara pinggulnya bergoyang maju mundur membuat gesekan antara bibir vaginanya dengan batang penisku yang mengacung ke atas bersandar pada perutku. Gesekan vagina Rani hanya menyentuh area pangkal penisku, membuat sekitar pangkal penisku menjadi basah oleh cairan kenikmatan Rani.
Aku membalas ciuman Rani tak kalah ganasnya. Tangan kananku aktif melakukan remasan-remasan ke payudara kiri Rani yang kurasakan agak keras.
“Jangan kenceng-kenceng Mas. Sakit. Dari pagi belum pumping soalnya”, sahut Rani disela-sela desahannya.
Benar saja, kulihat ada cairan yang sedikit keluar dari ujung puting kiri Rani saat kuremas payudara kirinya.
“Kalo gitu buat gue aja”, sahutku sambil mengarahkan mulutku ke arah puting kiri Rani, dan Rani pun meninggikan posisi tubuhnya dengan bertumpu pada kedua lutut dan tumitnya mensejajarkan posisi putingnya dengan mulutku. Dengan dibantu remasan tangan kananku di payudaranya, aku menghisap cairan ASI dari puting kirinya.
“Aacchh.. ”, desah Rani saat aku hisap ASInya dari putingnya langsung dengan ganasnya bagaikan bayi yang menahan dahaga seharian. Aku hisap dengan rakusnya diselingi gigitan kecil di putingnya. Puting Rani yang mungil membuat ASI yang keluar tidak terlalu banyak walaupun aku sudah menghisapnya dengan kuat.
Bersambung…