Pada malam harinya, kami mempunyai rencana mengadakan acara barbecue. Pengelola resort ini memang menyediakan barang-barang untuk kebutuhan barbecue, berdasarkan pesanan kita pada saat check in atau sebelumnya. Di tiap-tiap halaman bangunan resort terdapat tempat yang dibuat khusus untuk acara barbecue.
Sebagai menantu laki-laki tertua saat itu, aku mengambil inisiatif untuk membuatkan bara dari arang yang telah disiapkan. Dilanjutkan dengan memanggang tiga buah ikan cue sebagai percobaan dengan bermodalkan kipas tenaga manusia yang terbuat dari anyaman bambu. Asap mulai mengepul dari ikan yang terpanggang.
Risa membantuku mengoleskan margarine ke ikan yang kupanggang. Doni dan Rani menyiapkan ikan-ikan yang menunggu giliran untuk dipanggang dan menyusun piring-piring sebagai tempat untuk ikan yang sudah matang. Mba Dita kulihat sedang berbincang-bincang dengan ibuku dan ibunya. Sementara ayahku dan ayah mertuaku mengobrol di teras sambil duduk di dua kursi yang ada di situ.
Tanganku sudah mulai terasa lelah. Ayunan kipas di atas panggangan sudah tidak teratur. Ada enam ekor ikan yang berhasil aku panggang dan telah tertumpuk rapih di atas dua piring. Kulihat Doni sedang berdiri di sebelah kananku dengan Rani yang memeluk pinggangnya dari dari belakang. Mereka berdua sedang berbincang satu sama lain sambil menatap ke arah panggangan.
“Don, gantian dong. Pegel nih”, pintaku ke Doni. “Ok Mas”, jawab Doni sambil berjalan menghampiriku. Lalu kusodorkan kipas bambu yang kupegang kepadanya. Doni pun mengambilnya dan mulai melanjutkan apa yang sebelumnya aku lakukan dengan ditemani Rani. Risa yang sejak tadi membantuku, berjalan ke arah kedua anakku berada, untuk memeriksa keadaan anak-anak kami.
Aku melangkah menjauh dari tempat memanggang, berjalan ke arah pantai, untuk menjaga jarak dari kepulan asap yang masih mengepul tebal dari panggangan. Kuhentikan langkahku sekitar tiga puluh meter dari lokasi semula kuberada. Kulihat Doni mulai sibuk membolak-balikan ikan yang dipanggang disertai suara-suara protes kecil dari Rani yang menilai hasil karya suaminya.
Kurogoh saku kiri belakang celana pendekku. Kuambil sebungkus rokok putih beserta pemantik apinya, lalu kukeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan menyelipkannya di antara kedua bibirku. Dengan tangan kanan, kubakar rokok yang ada di mulutku dan satu tarikan dan hembusan kuat, keluar lah asap putih dari mulutku seperti ingin bersaing dengan asap yang berasal dari panggangan.
Tiba-tiba datang seseorang dari arah belakangku dan kemudian berdiri tepat disamping kiriku. Secara refleks, aku melihat ke arah kiriku dan mataku langsung bertatapan dengan mata orang itu. Tanpa dapat kuduga, dengan gerakan yang cepat, orang itu meremas penisku cukup keras dengan tangan kanannya sambil mengucap, “ganas juga kontol lo, adek gue elo embat semua”.
“Udah berapa lama elo sama Rani?”, sahutnya lagi. “Mau tau aja atau mau tau banget?”, jawabku asal sambil meringis.
Dia pun mencengkeram penisku semakin keras sebagai bentuk respon atas jawabanku. “Aduh duh duh Mba, ampuun”, sahutku kesakitan sambil memegang tangan kanannya dengan tangan kananku menjaga agar Mba Dita jangan sampai menghancurkan sumber kenikmatan duniawiku.
“Udah lama Mba”, sahutku sambil tetap berusaha melepaskan cengkeramannya dari selangkanganku.
“Pokoknya gue ngga mau tau, nanti malem elo harus puasin gue. Gue tunggu!”, perintahnya lalu melepaskan cengkeramannya dan berjalan ke arah keluarganya yang lain dengan santainya seolah-olah sebelumnya tidak habis menzolimi seseorang.
Aku cuma terbengong dibuatnya. Dibenakku cuma berpikir bagaimana cara menghadapinya nanti malam.
**
Sekitar pukul sebelas malam, aku masih terbaring gelisah di atas kasur tambahan. Di sebelahku di atas kasur tambahan yang berbeda, Doni sudah tertidur lelap. Terdengar suara dengkuran halus dari arahnya. Suasana sudah sepi. Tampaknya seluruh penghuni bangunan resort ini, kecuali dua insan yang sedang gelisah menahan birahi (dugaanku), telah tidur lelap setelah seharian beraktifitas.
Ceklek. Terdengar suara pintu yang terbuka dari arah kamar yang ditempati Mba Dita dan kedua anaknya. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai sepuluh detik tidak ada juga sosok yang keluar dari pintu itu. “Apakah ini tanda untukku?”, gumamku.
Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Melangkah menuju pintu kamar Mba Dita. Kulihat pintu hanya terbuka sekitar sepuluh sentimeter. Gelap. Itu yang aku lihat ke kamar di balik pintu. Aku pun melangkah makin mendekati pintu. Kudorong perlahan dengan tangan kiri berada di pegangan pintu sehingga hanya tambah terbuka sekitar sepuluh sentimeter lagi.
Kudekatkan kepalaku ke arah pintu. Dengan bantuan cahaya lampu ruangan dari belakangku, dapat kulihat tiga sosok sedang berbaring di tempat tidur, Mba Dita dan kedua anaknya. Kucoba melihat ke arah wajah Mba Dita, ternyata matanya sedang menatap tajam ke arahku, dan kemudian mulutnya berbicara tanpa suara seolah-olah mengucapkan kata “masuk”.
Langsung kubalikkan badan dan melangkah menuju kamar yang ditempati istriku. Kubuka pintu kamar sedikit dan mengintip kondisi di kamar itu. Kuarahkan pandanganku ke tmpat tidur. Di situ tidur berjajar dari kiri ke kanan yaitu Rani, anaknya Rani, anakku yang kedua, istriku, dan anakku yang pertama tidur diantara istriku dan dinding kamar.
Kubuka pintu kamar Mba Dita lebih lebar dan ku melangkah masuk ke dalam. Langkahku terhadang oleh kasur pegas tambahan ukuran satu meter kali dua meter. Tergeletak memanjang di lantai antara pintu kamar dengan pintu kamar mandi. Di samping kananku terdapat meja rias dan lemari yang keduanya menghadap ke tempat tidur tempat kedua anak Mba Dita tertidur lelap.
Mba Dita sudah dalam keadaan berdiri menghadap cermin, dia sedang menguncir ramput hitam sebahunya dengan ikat rambut. Dia memakai daster tanpa lengan yang panjangnya di atas lutut berwarna kuning dengan corak-corak bunga. Dengan posisi yang sedang menguncir rambut, dapat kupastikan Mba Dita tidak memakai bra.
Selesai menguncir rambutnya, Mba Dita mengambil salah satu bantal di tempat tidur untuk diberikannya kepadaku dan memintaku untuk berbaring di atas kasur di lantai. Aku pun mengikuti permintaannya berbaring di kasur di lantai, sementara Mba Dita menutup pintu dan menguncinya. Aku berbaring dengan posisi kepalaku lebih dekat ke arah kamar mandi dan menghadap ke arah pintu, sehingga sempat melihat siluet bentuk tubuh Mba Dita di balik dasternya saat Mba Dita menutup pintu kamar akibat cahaya yang datang dari luar kamar.
Setelah pintu ditutup, kamar menjadi gelap. Praktis hanya cahaya yang keluar dari ventilasi kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber penerangan di kamar ini. Selesai mengunci pintu, Mba Dita berdiri mengangkangi tubuhku, kakinya berada di samping kedua lututku. Lalu menjatuhkan kedua lututnya di samping kanan dan kiri pinggulku, kemudian membungkukkan tubuhnya untuk mendekatkan wajahnya ke wajahku dan dilumatnya bibirku.
Kedua tanganku tidak tinggal diam, mencoba mengeksplorasi tubuh Mba Dita. Kusingkap ujung dasternya sampai dipinggulnya hingga bokongnya yang montok terbuka bebas. Kuremas-remas kedua pantatnya yang sudah tidak tertutup sehelai benang pun dengan kedua tanganku, sambil sesekali kedua telunjukku menyentuh daerah sensitif di selangkangannya.
Sambil tetap melumat bibirnya, kedua tanganku mulai beranjak dari bongkahan pantatnya ke pinggulnya. Terus ke bagian atas tubuhnya hingga mendorong dasternya semakin tersingkap ke atas. Kuusap-usap punggungnya, kemudian beralih ke bagian samping tubuhnya sampai kedua ibu jariku menyentuh bagian bawah payudara Mba Dita.
Kudorong terus dasternya hingga tertahan oleh kedua lengannya, dan tanpa diminta, Mba Dita menghentikan ciumannya dan dengan sedikit menegakkan badannya, Mba Dita meloloskan sendiri dasternya dari tubuhnya. Saat Mba Dita meloloskan dasternya itu, tangan kanan dan kiriku meremas kedua payudaranya, lalu kudekatkan payudara kiri Mba Dita dengan tangan kananku mendekati wajahku dan langsung kulumat putingnya yang sudah mengeras.
Berkali-kali kukulum dan kuhisap puting kiri Mba Dita disertai tangan kiriku yang meremas payudara kanannya diselingi pilinan di puting kanannya yang sebesar ujung telunjukku. “Copot celana lo Rio”, bisik Mba Dita di telinga kiriku. Dengan sigap kelepaskan celana pendekku dengan kedua tanganku. Dilanjutkan dengan kaus yang aku pakai, kemudian Mba Dita bangkit dan membalikkan tubuh telanjangnya sehingga posisinya membelakangiku.
Sejenak kemudian batang penisku merasakan usapan-usapan dari tangannya. Lalu Mba Dita memundurkan pantatnya ke arah wajahku dan membungkukan badannya, tak lama kemudian aku merasakan kehangatan mulutnya pada kepala penisku, sementara tangan kanannya kurasakan mengocok pangkal penisku.
Dengan bantuan cahaya dari ventilasi kamar mandi, aku dapat melihat vagina Mba Dita yang hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Labia mayoranya yang gundul dengan labia minoranya yang terlihat sudah dibasahi cairan kenikmatan yang berasal dari lubang vaginanya. Sementara itu, batang sampai kepala penisku sedang merasakan hangatnya rongga mulut Mba Dita.
Tidak hanya itu, berkali-kali kepala penisku merasakan hisapan yang kuat dari mulut Mba Dita diselingi dengan permainan lidahnya di lubang kencingku, ditambah dengan kocokan demi kocokan dari mulutnya terhadap penisku. Lembut dan hangat tanpa menyentuh giginya sama sekali. Membuat tubuhku beberapa kali sedikit tersentak karena nikmatnya.
Melihat vagina Mba Dita yang hanya beberapa milimeter di hadapanku, aku pun tidak tinggal diam. Kuletakkan kedua tanganku di kedua bongkahan pantatnya. Kutarik sedikit agar vaginanya mendekati mulutku. Kujulurkan lidahku dan kusentuhkan ujung lidahku di mulut vagina Mba Dita yang sudah terlihat basah.
Tubuh Mba Dita sedikit tersentak. Kulanjutkan usapan-usapan ujung lidahku di labia minoranya yang sudah basah, sedikit demi sedikit kutekan ujung lidahku di bibir vagina Mba Dita, hingga perlahan mulut vaginanya pun mulai terbuka. Aktifitasku ini mengganggu aktifitas Mba Dita terhadap penisku. Hisapan dan kulumannya terhadap penisku yang semula teratur dan berirama menjadi tidak teratur, bahkan berangsur-angsur Mba Dita hanya mengocok pelan batang penisku sementara kepalanya direbahkan di atas paha kiriku.
Kupercepat usapan ujung lidahku di belahan vaginanya. Pantatnya pun bergerak-gerak mengikuti gerakan lidahku. Sambil kuremas pantatnya, kubenamkan wajahku di selangkangan Mba Dita. Kudorong lidahku masuk lebih dalam ke liang kenikmatannya. Kubiarkan lidahku menari-nari didalam vagina Mba Dita, menyapu ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah, sambil sesekali kuhisap kuat klitoris Mba Dita yang sudah mengeras.
Lidahku terus bergoyang mengoyak-koyak lubang vaginanya. Ini membuat vagina Mba Dita semakin basah oleh cairan vaginanya yang bercampur dengan air liurku. Mulutku pun sudah berkali-kali menelan cairan vaginanya yang hangat dan terasa sedikit gurih. Erangan dan desahan yang sengaja ditahan Mba Dita terdengar olehku.
Semakin lama tubuh Mba Dita bergerak terpatah-patah, sepertinya dia akan mengalami orgasme. Tangan kanannya sudah tidak lagi berada di batang penisku, melainkan menjambak rambutku melalui belakang tubuhnya. Semakin kubenamkan wajahku di vaginanya dengan mencengkeram kedua bongkahan pantatnya agar vaginanya tidak berlari menjauhi jilatan demi jilatan yang dilakukan lidahku.
Tubuh Mba Dita bergerak terpatah-patah semakin cepat. “Aaaagghh”, sebuah lenguhan panjang sedikit tertahan disertai lentingan punggungnya ke belakang sambil tangan kanannya berusaha menjauhkan kepalaku dari selangkangannya, tapi tetap kutahan kepalaku. Sepersekian detik kemudian muncratlah cairan kenikmatannya dari dalam lubang vaginanya yang sebagian besar masuk ke dalam mulutku karena lidahku tidak beranjak terus menari-nari di lubang vaginanya.
Kemudian dengan satu gerakan cepat, Mba Dita membalikan tubuhnya ke arah kiriku sehingga terbanting di atas kasur, karena aku tidak mau melepaskan tarian lidahku di vaginanya. “Rese lo”, sahut Mba Dita diantara nafasnya yang masih terengah-engah.
Tidak sampai satu menit kemudian, Mba Dita kembali bangkit dan berdiri mengangkangi tubuhku dengan bertumpu pada kedua lututnya. Lalu mendekatkan vaginanya ke arah batang penisku dengan sedikit menekuk sendi lututnya. Diraihnya batang penisku dengan tangan kanannya dari arah belakang pantatnya. Aku pun turut memegang pangkal penisku membantunya mengarahkan batang penisku yang masih tegak sempurna ke lubang vagina Mba Dita.
Kepala penisku sudah menyentuh permukaan lubang vagina Mba Dita yang basah. Mba Dita pun melepaskan penisku dan meletakan kedua tangannya di kanan dan kiri badanku. Lalu aku menggerakan penisku ke atas dan ke bawah vagina Mba Dita supaya mulut vaginanya terbuka lebih lebar. “Cepet masukin”, sahut Mba Dita.
“Huuufftt”, hembusan panjang nafas Mba Dita saat hampir setengah batang penisku menancap di lubang vagina Mba Dita. Bibir vaginanya menjepit erat batang penisku. Dia berhenti sejenak, sepertinya untuk membiasakan vaginanya menerima batang penisku sehingga mulut vaginanya dapat membuka lebih lebih supaya dapat menelan seluruh batang penisku.
Kedua payudaranya yang kenyal dan montok menggantung dengan kedua putingnya menyentuh bagian bawah dadaku. Kuletakan kedua tanganku di payudaranya. Lalu kuremas payudaranya dari samping dan kuusap-usapkan kedua putingnya di dadaku, diselingi dengan puntiran-puntiran kecil kedua putingnya oleh kedua tanganku.
Pinggulnya lalu sedikit bergoyang ke atas ke bawah, membuat gesekan antara mulut vaginanya dengan batang penisku. Semakin lama kurasakan batang penisku semakin basah oleh cairan hangat yang keluar dari lubang kenikmatannya, sehingga vaginanya terasa semakin licin. Aku pun memindahkan kedua tanganku ke kedua bongkahan pantatnya.
Kuremas-remas kedua bongkahan pantatnya dengan kedua tanganku, sambil ikut membantu pinggulnya bergoyang ke atas dan ke bawah. Dengan satu gerakan cepat, kutekan ke bawah kedua pantatnya sambil kudorong juga batang penisku dengan pinggulku hingga kepala penisku membentur dinding vaginanya yang paling dalam.
“Sakit?”, tanyanya lembut sambil melihat ke arah bibir bawahku.
“Sedikit”, jawabku disertai menarik bibir bawahku sedikit ke depan dengan tangan kiriku.
“Cuph cuph cuph mana sini yang sakit? Mama cium biar sembuh”, sahutnya meledekku. Kemudian diusapnya bibir bawahku dengan ujung lidahnya dan dikulumnya bibir bawahku dengan mulutnya. Sementara batang penisku masih menancap hampir seluruhnya di dalam vagina Mba Dita. Kurasakan kehangatan dan denyutan dinding vaginanya menyelimuti batang penisku.
Sambil tetap melumat bibirku, Mba Dita mulai menggoyangkan pinggulnya ke atas dan ke bawah. Goyangan pinggulnya secara bertahap menjadi lebih cepat. Dia pun tidak lagi mencium bibirku, hanya erangan dan desahan tertahan yang keluar dari mulutnya.
Kedua tanganku kembali meremas kedua payudaranya. Kuremas dari samping menuju putingnya. Lalu kupilin-pilin putingnya, dan dengan sedikit mendorong tubuh Mba Dita ke atas, kusorongkan puting kiri Mba Dita ke arah mulutku, kuhisap dan kukulum puting kirinya sambil sesekali kugigit-gigit lembut. Puting kanannya pun mendapat perlakuan yang sama, silih berganti dengan puting kirinya.
Kemudian Mba Dita menegakkan tubuhnya dan menurunkan pantatnya berusaha mencari posisi yang pas agar seluruh batang penisku dapat dibenamkan seluruhnya oleh vaginanya. Akhirnya seluruh penisku ditelan vagina Mba Dita dengan posisi duduk di kedua pangkal pahaku bertumpu pada lutut sampai dengan kakiknya menyentuh kasur.
Dapat kurasakan juga Mba Dita memainkan otot vaginanya hingga semakin lama batang penisku seperti dicengkeram oleh vaginanya. Lalu Mba Dita menggoyangkan pinggulnya maju mundur ke depan dan ke belakang sambil tetap vaginanya mencengkeram penisku. Cengkeraman vaginanya membuat penisku sedikit terasa sakit, tetapi kenikmatan yang kudapat justru lebih besar dari rasa sakit yang kurasakan.
Otot-otot vaginanya seperti mengurut batang penisku hingga batang penisku terasa semakin keras membatu. “Oh shiitt”, reflek suaraku keluar dari mulutku saking nikmatnya. Aku tak lagi menggunakan kedua tanganku yang kuletakan di samping kanan kiri tubuhku sambil sesekali meremas seprei kasur, konsentrasiku kupusatkan hanya pada batang penisku, jangan sampai pertahananku jebol sebelum Mba Dita memperoleh puncak kenikmatan yang kedua kalinya.
Kulihat Mba Dita juga merasakan kenikmatan seperti yang kurasakan. Badannya melenting ke belangkang sambil tetap menggoyangkan pinggulnya maju mundur, yang juga menggesek klitorisnya dengan rambut kemaluan yang tumbuh di sekitar pangkal penisku. Sementara kedua tangannya meremas kedua payudaranya dengan sesekali memilin-milin kedua putingnya.
Mba Dita menggoyangkan pinggulnya semakin cepat dan terpatah-patah. Daan… aaacch flop seerr seerr suara erangan panjang Mba Dita dilanjutkan penisku keluar dari liang vagina Mba Dita disertai semburan cairan vaginanya berkali-kali mengguyur penisku dan daerah sekitar pangkal penisku. Sementara badannya semakin mengejang-ngejang dan melenting ke arah belakang dengan kedua tangannya masih meremas kedua payudaranya dan memencet kedua putingnya bersamaan.
“Uuuugghh haah haah”, suara erangan Mba Dita kembali diiringi suara nafasnya yang tersenggal-senggal. Aku hanya bisa terdiam takjub melihat pemandangan yang sangat erotis terpampang di hadapanku.
Beberapa detik kemudian, Mba Dita berdiri dan berkata, “buka kaki lo”. Aku pun menuruti permintaannya dengan membuka kedua kakiku. Lalu Mba Dita melangkah ke antara kedua pahaku dan mengambil posisi duduk dengan pantatnya bertumpu pada tumit belakangnya. Diletakan tangan kirinya di samping pinggul kananku, sementara tangan kanannya meraih penisku dan dikocoknya penisku perlahan-lahan.
Aku yang sejak tadi berusaha menahan agar tidak ejakulasi, akhirnya pasrah juga mendapat perlakuan seperti itu. Batang penisku mulai berkedut-kedut. Kupegang kepalanya dan kujambak rambut Mba Dita untuk memaksanya memompa penisku lebih cepat dengan mulutnya. Mba Dita sepertinya juga merasakan aku akan ejakulasi.
Hisapannya semakin kuat dan memompanya semakin cepat. Lalu berhenti di pangkal kepala penisku dan menghisapnya lebih kuat lagi, disertai kocokan tangan kanannya yang cepat daan crot crot crot spermaku meluncur kuat beberapa kali menghantam rongga mulut Mba Dita. Alih-alih melepaskan penisku, Mba Dita malah memperkuat hisapannya atas kepala penisku, seolah-olah ingin menghisap keluar seluruh sperma yang aku miliki.
Setelah puas menghisap penisku, Mba Dita kembali menegakan badannya, mengusap mulutnya dengan punggung tangan kirinya, lalu merangkak menuju ke arahku. Lalu diciumnya bibirku dengan mesra. Rupanya seluruh air maniku yang keluar ditelan olehnya tanpa sisa. Kemudian Mba Dita berbaring di samping kiriku sambil memelukku dengan tangan kirinya di atas perutku.
“Udah sana balik ke tempat tidur lo. Nanti anak gue keburu bangun”, bisik Mba Dita di telinga kiriku. “Ok”, jawabku pelan. Kukecup bibirnya, kemudian bangkit mencari pakaianku dan memakainya.
Sementara Mba Dita masih tetap berbaring lemas sambil memperhatikanku yang sedang memakai pakaianku. Lalu kemelangkah ke arah pintu dan kubuka sedikit pintu kamar, mengintip ke arah luar, setelah menilai suasana aman, barulah aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamar sesunyi mungkin.
Kulihat Doni masih tetap tertidur pulas di kasurnya, sementara televisi di dekatnya masih tetap dalam keadaan menyala. Aku pun berjalan menuju kasurku dan merebahkan tubuhku di sana. Kulihat jam di ponselku yang menunjukan waktu tengah malam lewat tujuh menit. Hampir satu jam aku berada di kamar Mba Dita.
Sambil menunggu tidur, aku coba memikirkan kembali apa yang telah aku lakukan seharian tadi. Suatu kesempatan yang amat sangat langka aku bisa menyetubuhi tiga orang kakak beradik dalam satu hari yang sama. Risa yang konvensional tetapi sangat kucinta, Rani yang manja dan kusayang, serta Mba Dita yang liar dan selalu membangkitkan nafsu birahiku.
Bersambung…