Aku terjaga dari tidurku. Sayup-sayup kudengar keramaian di luar sana. Suara-suara keceriaan dari anak-anak kecil. Tampaknya para penghuni resort yang lain sedang berada di luar. Kulihat jam yang menempel di tangan kiriku, waktu menunjukan hampir jam empat sore. Pantas saja, gumamku.
Aku masih terbaring di tempat tidur tambahan di ruang keluarga lantai atas. Televisi di ruang ini masih dalam keadaan menyala. Kuambil kembali ponselku untuk sekedar mengecek surel dan membalas beberapa pesan yang ditujukan kepadaku.
Setelah selesai membalas beberapa pesan, aku bangkit dari tempat tidurku menuju kamar mandi yang ada di kamar tempat istri dan anak-anakku tidur, untuk mencuci muka dan bermaksud turun ke bawah setelahnya.
Kulihat pintu kamar itu dalam keadaan setengah terbuka. Kuraih pegangan pintu untuk mendorong agar pintu terbuka lebih lebar, saat itu kumelihat sesosok tubuh mengenakan baju gamis warna abu-abu muda sedang menunduk. Dengan posisi menunduk seperti itu, terlihat jelas pantatnya yang menonjol dan bentuk celana dalam yang dipakai dengan model mini.
“Hei, lagi ngapain? ”, sapaku. Sosok tubuh itu membalikkan badannya, dan ketika mengetahui yang menyapa dirinya itu aku, saat itu juga dengan setengah berlari tubuh itu menuju diriku dan langsung memelukku erat. Disandarkan kepalanya yang sedang tidak memakai jilbab itu di bahu kiriku dan mengucap, “aku kangen Mas”.
Kubalas pelukannya dengan pelukan erat pula. Kubelai kepalanya penuh kasih dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memeluk erat dipinggangnya. Kemudian kuraih dagunya lalu kukecup bibirnya mesra, dan dia pun membalas kecupanku dengan mesra pula. “Aku juga”, balasku.
Cukup lama kami saling diam dalam posisi berpelukan. Hingga dia pun berkata, “aku cemburu Mas”. “Cemburu sama siapa?”, tanyaku. “Mba Risa”, jawabnya. Aku pun terdiam. “Tadi kayanya mesra banget waktu di kamar mandi. Aku iri. Pengen kaya gitu”, sahutnya lagi.
“Lah emang kedengeran ya?”, sahutku. “Gimana ngga kedengeran?! kenceng gitu suaranya”, sahutnya ketus.
“Trus sekarang pengen aja atau pengen banget?”, godaku. “Iih tuh kan jahat”, sahutnya sambil tangan kirinya mencubit pinggang kananku.
“Aduuhh.. Kan baru minggu lalu kita begitu”, sahutku mengaduh. “Mas Rio sih cari gara-gara, em el sama Mba Risa deket-deket aku. Sengaja ya bikin aku cemburu?”, sahut Rani merajuk.
“Ngga minta sama Doni?”, tanyaku lagi. “Udah, tapi tau sendiri Doni kaya gimana. Orangnya maunya serba bersih. Ngga mau begitu di kamar mandi. Aku ajak di kasur ini aja, dia juga ngga mau. Malu banyak orang katanya”, cerita Rani tetap tidak melepaskan pelukannya kepadaku.
“Lagian, aku kan sebenernya maunya sama Mas Rio. Kok nanyanya gitu sih?! Udah ngga mau ya sama aku?! Udah ngga sayang aku ya?!”, cerocos Rani lagi.
“Ngga gitu Rani sayang”, jawabku disertai kecupanku dikeningnya. “Yaudah trus maunya gimana?”, lanjutku.
“Aku mau gituu”, sahutnya manja sambil menatap kedua mataku dengan kedua tangannya melingkar di leherku. “Iya sayang, aku juga mau kok”, sahutku.
“Sebentar aku cek dulu masih ada orang ngga di sini”, sahutku lagi disertai melepaskan pelukan Rani lalu menuju keluar kamar.
Yang pertama kali aku lihat adalah ruang keluarga bawah di bagian depan. Kujulurkan kepalaku ke bawah melalui dipinggir pagar pembatas lantai atas. Kosong. Lalu aku menuju tangga dan mengintip melalui railling tangga ke arah dapur. Kosong juga. Kemudian aku menuju ke kamar yang ditempati Mba Dita. Sesampainya di depan pintu kamar, kuketuk perlahan-lahan.
Tidak ada jawaban. Sekadar memastikan, kubuka pintu kamar itu, dan ternyata kosong. Setelah kembali menutup pintu, aku berdiri diam. Mendengarkan suara di sekeliling. Yang terdengar hanya suara-suara yang berasal dari luar bangunan ini. Ya, rupanya saat ini situasi mendukung kami untuk melakukan pergumulan terlarang ini.
Aku menuju kamar tempat Rani berada, kemudian mengunci pintu kamar dari dalam. “Sepi”, sahutku ke Rani. Tampak Rani sedang menatap ke luar jendela dari atas tempat tidur dengan bertumpu pada kedua lututnya. “Iya, pada di taman semua”, ucapnya sambil senyumnya mengembang.
Tak menunggu lama, posisiku sekarang berada hadapan Rani dengan jarak tidak sampai dua puluh sentimeter, sama-sama di atas kasur dan bertumpu pada kedua lutut. Kutatap wajahnya dan senyum kepadanya. Dia pun membalas dengan senyuman juga. Kuusap pipi kirinya dengan telunjuk kananku. Kusisipkan rambutnya yang sedikit menutupi pipi kirinya ke atas telinga kirinya, lalu tangan kananku memegang tengkuknya dan kudekatkan wajahku ke wajahnya, kurasakan nafas Rani yang sudah memberat saat sebelum bibirku menyentuh bibirnya.
Kami berdua sadar, waktu kami tidak banyak. Satu sama lain mulai mengeksplorasi tubuh lawan jenisnya untuk menstimulasi titik rangsangan pada tubuh lawan jenisnya masing-masing. Aku mulai dengan tangan kananku meremas bongkahan pantat Rani, sementara tangan kiriku tetap berada di punggung Rani dan mengusap-usapnya.
Sedangkan Rani memulai dengan mengusap-usap penisku dari luar celana pendek yang aku pakai. Usapan-usapan itu bercampur dengan remasan saat tangan kanannya berada di buah zakarku. Batang penisku yang sudah mengeras pun tak luput dari remasan dan usapan. Remasan dan usapan itu terus dilakukan dari pangkal sampai kepala penisku, bolak balik.
Aku melanjutkan dengan menarik bagian bawah baju gamisnya sampai sebatas pinggangnya sambil tangan kananku mengusap-usap paha kanan bagian dalamnya sampai dengan pangkal pahanya. Lalu kuremas pantat kirinya yang masih tertutup celana dalamnya dan kuselipkan tangan kananku dibalik celana dalamnya melalui lubang celana dalam untuk bagian kaki kirinya.
Jari tengah tangan kananku pun kuarahkan ke belahan kedua pantatnya, menyelusup diantara bongkahan pantatnya dan melewati lubang anusnya untuk mencari lubang kenikmatan yang diinginkan oleh hampir seluruh pria di dunia ini. Kumainkan sejenak ujung jariku di perineum Rani. Membuat dirinya sedikit blingsatan.
Ujung jari tengahku merasakan adanya cairan pada saat menyentuh bibir vagina Rani. Ciuman Rani semakin liar saat ujung jari tengahku mulai mengusap-usap permukaan lubang vaginanya dari arah belakang. Bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya pun ikut dibasahi oleh cairan kenikmatan Rani. Perlahan mulai kutusukan ujung jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yang basah.
Mengimbangi aktifitasku, tangan kanan Rani sudah berada di balik celana dalamku. Memainkan tangannya terhadap batang penisku dan buah zakarku. Dikocoknya batang penisku pelan-pelan. Diusap-usapnya kepala penisku dengan ibu jari kanannya. Sementara itu bibir kami masih tetap beradu. Lidah kami saling berebut untuk bermain di dalam rongga mulut lawannya.
Jari tengah tangan kananku masih sibuk bermain dengan vagina Rani. Kali ini jariku sudah masuk semakin dalam ke lubang vaginanya. Dengan tinggi Rani yang hampir sama denganku, membuat tanganku leluasa memainkan vaginanya. Kumasukkan jari tengah tangan kananku sampai ke seluruhnya terbenam dalam lubang kenikmatan Rani.
Seiring permainan jariku di dalam vaginanya, Rani pun tak kuasa melanjutkan ciumannya. Bibirnya hanya bisa menganga sambil berdesah merasakan nikmat lubang vaginanya diaduk-aduk oleh jari tengah tangan kananku. Pinggulnya turut bergerak menyesuaikan gerakan jariku yang terus berputar di dalam lubang kenikmatannya.
Sisa waktu kami tak banyak, aku sudahi permainan jariku di dalam vaginanya, dengan satu hentakan mencabut jariku dari jepitan daging hangat dambaan lelaki normal, tubuh Rani pun sontak terkaget. Lalu aku mencium bibirnya kembali sambil merebahkan tubuh Rani ke belakangnya. Membaringkan tubuhnya di atas kasur pegas yang kami pijak sejak tadi.
Aku membuka celana pendek dan celana dalam yang sejak tadi masih aku pakai. Kulihat di celana dalamku menempel cairan bening dan sedikit lengket yang berasal dari penisku. Begitu juga Rani, melepaskan celana dalam mininya berwarna biru muda dengan garis putih pada jahitan pinggirnya, yang masih tersangkut di kedua lututnya.
Rani berbaring telentang. Menatapku dengan wajah sayu, seperti memohon padaku untuk membantunya melepaskan seluruh gejolak seksual yang saat ini melanda dirinya. Kulihat daerah pangkal pahanya tertutup baju gamis yang masih melekat pada tubuhnya.
Kudekatkan tubuhku ke arahnya. Lalu kuraih kedua kakinya dengan masing-masing tanganku. Kemudian kutekuk kedua ke atas dengan telapak kakinya masih menempel pada kasur membentuk huruf M, membuat ujung bawah baju gamisnya melorot ke atas perutnya. Sekarang terpampang jelas di mataku bentuk vagina Rani yang ditumbuhi bulu-bulu yang tercukur rapih di labia mayoranya.
Kudekatkan penisku yang telah keras sempurna ke arah vaginanya. Kuluangkan sejenak waktuku untuk melihat keluar melalui jendela yang ada disamping kiriku, meyakinkan diriku bahwa persetubuhan ini dapat dan harus dilanjutkan. Yakin jika seluruh penghuni bangunan ini, kecuali kami berdua, masih berada di taman, maka dengan bantuan tangan kananku, aku tempelkan kepala penisku ke mulut vagina Rani.
Pinggul Rani ikut bergerak saat kumainkan kepala penisku di vaginanya dari bawah ke atas beberapa kali, mencoba membuka mulut vaginanya lebih lebar lagi untuk memudahkan kepala penisku masuk ke dalamnya. Kulihat Rani menggigit ujung kanan bibir bawahnya saat kepala penisku mulai merangsek masuk ke dalam lubang kenikmatannya.
Setelah seluruh kepala penisku ditelan vaginanya, kucondongkan tubuhku ke arah tubuh Rani. Lalu kulumat bibirnya sambil menggerakkan pinggulku maju mundur hingga penisku sedikit demi sedikit masuk lebih dalam di lubang kenikmatannya. Dengan satu gerakan panjang, kumasukkan seluruh batang penisku ke dalam vaginanya.
“Aacch”, desah Rani entah karena kepala penisku menyentuh ujung terdalam vaginanya atau karena klitorisnya tertubruk bagian atas pangkal penisku atau malah keduanya. Hanya Rani yang bisa merasakan sensasi kenikmatan itu. Kudiamkan beberapa detik seluruh penisku di dalam vaginanya, merasakan kehangatan yang diberikan oleh dinding vaginanya.
Lalu kumulai menggoyangkan pinggulku agar batang penisku dapat bergerak keluar masuk vagina Rani. Gerakan itu terus kulakukan dengan kecepatan sedang. Sementara bibirku masih mencium bibirnya yang menganga terlena atas kenikmatan yang diberikan batang penisku. Terdengar desahan-desahan keluar dari mulut Rani.
Tangan kananku ikut meremas-remas payudara kirinya yang masih terbungkus baju gamis dan bra-nya. Tangan kanan Rani berada di belakang kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku saat penisku masuk terlalu dalam di lubang vaginanya. Sedangkan tangan kirinya kulihat mencengkeram seprei di sisi kiri tubuhnya.
Penisku terasa berkedut-kedut. Jika kudiamkan kondisi ini, maka aku akan orgasme terlebih dahulu tanpa bisa memuaskan Rani. Aku harus mengubah posisi bercinta agar Rani bisa merasakan puncak kenikmatannya terlebih dahulu.
Kuhentikan gerakanku. Lalu ketegakan tubuhku dengan penisku masih terbenam sepenuhnya dalam vagina Rani. Kulihat Rani terkulai lemas memejamkan kedua matanya dengan memalingkan wajahnya ke arah kirinya. Kemudian kuraih kedua kakinya dengan kedua tanganku. Kuluruskan kaki Rani ke atas. Kuletakan kedua kakinya di kanan dan kiri bahuku.
Kutempelkan kedua pahanya dengan badanku dan kurapatkan kedua lututnya dengan kedua tanganku. Kuayunkan kakinya ke atas dan ke bawah sambil terus kutekan batang penisku dalam-dalam di lubang vaginanya. Dengan bantuan pegas kasur yang kualitasnya sudah tidak bagus, sekali aku ayunkan ke bawah maka efek baliknya adalah tubuh Rani akan berayun tiga sampai empat kali ayunan tanpa perlu tenaga tambahan dariku.
Hasilnya adalah kepala penisku menggaruk-garuk ke atas dan ke bawah di dalam lubang vaginanya, membuat Rani semakin menggelinjang dan meracau semakin tidak jelas. Kedua tangannya mencengkeram seprei di kanan dan kiri tubuhnya. Posisi ini juga ternyata membuat ejakulasiku tidak tertahankan lagi. Batang penisku berkedut semakin cepat.
Kurasakan juga dinding vagina Rani berkedut-kedut. Dan crot crot crot penisku menyemprotkan air mani yang sejak tadi berusaha aku tahan. Segera kupercepat mengayunkan kaki Rani dan kubenamkan penisku dalam-dalam di vaginanya agar dirinya juga mencapai klimaksnya. Tubuh Rani mengejang dan “aaacchh” terdengar teriakan panjang dari mulutnya disertai tubuhnya yang melenting ke atas, membuatnya menekuk tulang punggungnya hingga tidak menyentuh kasur di bawahnya.
Terus kuayunkan kedua kakinya hingga tulang punggungnya menyentuh kasur kembali dan Rani pun tergeletak lemas. Kutahan posisi ini beberapa saat sampai penisku sedikit melemas, lalu kutarik keluar penisku dari lubang vaginanya. Cairan spermaku bercampur cairan vagina Rani ikut keluar saat penisku terlepas dari lubang kenikmatannya.
Kembali kuletakan kedua kaki Rani di kasur di samping kanan dan kiriku. Kulihat Rani masih terpejam menikmati sisa-sisa orgasme yang tadi dia rasakan. Kemudian kudekatkan tubuhku ke atas tubuhnya dan kucium bibirnya dengan penuh rasa sayang. Dibalasnya ciumanku dengan rasa sayang yang terasa dari bibirnya sambil kedua tangannya memelukku erat.
“Aku sayang Mas Rio”, terucap dari bibirnya sambil kembali memberikanku pelukan yang erat. “Aku juga”, bisikku di telinga kirinya.
“Udah yuk. Nanti keburu digerebek satpol PP. Hehehe”, candaku. “iihh amit-amit”, sahutnya.
Aku pun bangkit dari atas tubuhnya. Kemudian meraih celana dalam dan celana pendekku yang selanjutnya segera aku pakai. Sedangkan Rani mengambil celana dalam biru mudanya, lalu dielapnya cairan yang menempel di vaginanya dengan celana dalamnya, tidak lupa dia pun turut mengelap cairan dari penisku dan vaginanya yang menetes di kasur.
Setelah itu, Rani menuju kamar mandi dan aku keluar kamar dengan tujuan bergabung dengan keceriaan keluargaku lainnya yang masih berada di taman.
Yang membuatku terkejut adalah, sesaat aku sampai di taman dan bergabung dengan keluargaku yang lain, kulihat seseorang keluar dari bangunan resort yang kami tempati. Dan itu bukanlah Rani…
Bersambung…