Cerita Sex Tatapan Aneh Anakku – Rina menyaksikan kepergian suaminya dari teras rumah. Setelah suaminya hilang dari pandangan, Rina lantas masuk ke rumah. Pekerjaan suaminya memang membuatnya sering bepergian ke luar kota.
Rina memang tidak setuju dengan pekerjaan suaminya yang sering meninggalkannya ke luar kota, namun biarlah, pikir Rina selama masih pergi ke kota lain, asal jangan pergi ke rahmatullah.
Setelah masuk, pintu dikunci dan Rina beranjak ke dapur. Ternyata, di dekat pintu, ada anaknya, Henri, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang menurut Rina sangatlah aneh.
“Kenapa kamu nak? Apa kamu gak enak badan?”
“Aku hanya gak sabar menunggu tua bangka itu pergi.”
“Apa katamu?”
Tersange Rina mundur satu langkah, lantas menatap anaknya, dengan wajah penuh keterkejutan. “Kamu gak tuli kan. Aku bilang aku gak sabar menunggu kamu masuk,” kata Henri dengan mata melotot.
“Jaga kata – katamu!” kata Rina gemetar menyadari tatapan anaknya yang liar, nakal, brutal membuat Rina menjadi gempar.
“Aku bicara sesukaku.”
“Henri, kamu makan apa tadi?” Rina melangkah lagi, mundur.
“Namaku Dudung! Jangan samakan aku sama si lembek Henri!”
“Apa, apa artinya ini? Mama gak ngerti, Ri”
“Kamu tuli ya?”
Rina semakin takut saat anaknya mendekat, lantas memegang bahunya.
“Jangan Hen, hentikan nak!”
Rina terkejut saat telapak belakang tangan anaknya menampar pipinya dengan kuat. Sekuat macan. Memang anaknya suka makan biskuit yang ada gambar macannya.
“Dengar, aku kasih tahu sekali lagi. Jadi perhatikan, namaku Dudung. Paham?”
“Iya, Dung,” Rina memegang pipinya yang sakit akibat tamparan anaknya.
“Bagus, gitu dong,” Henri tersenyum puas.
Rina bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan saat menyadari kalau dia tersudut, punggungnya mentok menempel ke tembok, sedang di depannya ada anaknya yang bertingkah diluar dari kewajaran. Henri, anak semata wayangnya, selalu seperti wayang. Tak pernah bertingkah aneh, apalagi memberinnya masalah dan atau masbuloh.
“Dung,” Rina akhirnya berkata – kata saat melihat anaknya seperti serigala kelaparan yang melihat domba. “Mau ngapain kamu?”
“Gini Rin, kurasa sekarang saatnya aku dan kamu untuk lebih saling kenal lagi.”
“Maksudnya apa?”
“Maksudku,” Henri tersenyum saat tangannya memegang lengan Rina. “Aku ingin ingin mengenal kamu lebih dekat lagi.”
“Apa… apa…” Rina terisak saat tangannya ditekan hingga ke belakang tubuhnya, “mau apa ini?”
Rina berontak mencoba melepas cengkraman tangan anaknya agar tangannya tak dikebelakangkan tubuhnya, namun sia – sia sudah. Anaknya terlalu kuat hingga kedua tangan Rina akhirnya ada di belakang tubuhnya, terkunci oleh pegangan satu tangan anaknya. Sedang tangan satunya lagi mulai memegang kancing bajunya.
“Jangan Henri, nyebut!”
“Kali ini aku maafkan,” tangan Henri mulai melepas kancing satu persatu, “tapi kalau sekali lagi kau sebut Henri, rasakan akibatnya.”
Meski gemetar akibat rasa takut dan jijik, namun Rina menunduk melihat kancing bajunya yang mulai lepas satu per satu.
“Aku yakin, dibalik pakaian ini,” Henri tertawa saat semua kancing lepas. “Tubuhmu sangatlah seksi.” kali ini tangannya melepas sabuk.
“Jangan, demi tuhan. Jangan teruskan!”
“Kenapa jangan?”
“Aku mamamu nak!”
“Kamu mamanya si banci Henri. Bagiku, kamu bukanlah siapa – siapa.”
“Oh, ada apa denganmu nak?”
Henri melepas cengkraman pada tangan mamanya, mundur selangkah lantas kembali menampar pipi mamanya membuat tersungkur hingga duduk di lantai.
“Dengar Rin, kalau kamu pilih berontak, biar tangan ini yang bicara. Kalau aku jadi kamu, mending aku diam saja, bahkan biar mengalir mengikuti arus. Siapa tahu malah bakal ikut menikmati.”
Lidah Rina mengusap gusinya. Rina merasakan darah. Untungnya anaknya hanya menampar, tidak memukulnya. Lidahnya kini menjulur mengusap darah yang ada di sisi bibirnya.
“Aku harap kamu mengikuti saranku.”
Tangan Henri meraih baju Rina, lantas melepasnya. Rina takut. Rina ingin menghentikan anaknya, tapi tahu apa yang akan terjadi seandainya Rina mencoba berontak. Maka Rina diam saat saat anaknya melepas bajunya. Rina berharap, suatu saat anaknya lengah dan Rina bisa lari. Baik lari kabur dari rumah dan atau lari dari kenyataan ini.
Anaknya menarik diri Rina hingga berdiri. Kini Rina berdiri di hadapan anaknya dengan hanya berbalut cd dan bh saja.
“Wow,” Henri tersenyum penuh kemenangan.
Kenapa aku mengalami hal seperti ini? Batin Rina berteriak “Bagaimana bisa aku biarkan anakku menatapku seperti ini.” Merasa telanjang, Rina lantas mengangkat tangan mencoba menutupi dadanya. Namun saat anaknya menggerakan tangan, Rina kembali membiarkan dadanya tak tertutupi tangan.
“Nah, bagus. Rupanya kamu belajar dengan cepat.”
“Hentikan semua ini. Tolonglah!”
“Berputarlah, biar aku lepas bhnya!”
“Jangan!”
Air mata Rina, jatuh tak tertahankan hingga bercampur dengan darah yang kembali menetes dari sisi bibirnya.
Dengan memengang lengan Rina, Henri membuatnya berbalik. Tangan Henri melepas kaitan bh dan kembali membalikkan tubuh Rina. Rina merasa risih berdiri hanya berbalutkan cd di hadapan anaknya.
“Oh, jangan Henri, jangan!”
“Dudung, anjing. Dudung!”
Rina selalu merasa bangga akan payudaranya, namun kini, kebanggaan itu sirna. Rina malah berharap tak memiliki payudara. Mungkin anaknya takkan berbuat seperti ini andai Rina tak memiliki tubuh yang menarik. Tersedu – sedu, Rina kini menyadari tak bisa berbuat apa – apa lagi.
“Ternyata lebih seksi dari yang aku bayangkan,” suara Henri lirih sambil tangannya menjangkau putting Rina. “Seksi bener.”
“Oh tuhan, jangan!”
Rina berharap dapat keluar dari situasi ini dan bahkan mati saja sekalian.
“Kamu mau melepas cdmu? Atau mau aku yang lepaskan!”
“Jangan!”
“Baiklah kalau gak mau.”
Tangan Henri kini menjangkau pinggul mamanya.
“Tunggu, biar mama lepas!”
Henri menarik lagi tangannya lantas melihat Rina melepas cdnya. Setelah lepas, tubuh Rina bergetar akibat isakannya. Tubuh Rina lantas diputar hingga menghadap tangga.
“Yuk!”
Kaki Rina seolah beku tak bisa didiamkan hingga pantatnya serasa disengat akibat tamparan anaknya. Rina lantas melankah ke tangga.
“Tadinya aku mau ngentot kamu di kasurnya si Henri, tapi kasurmu lebih luas.”
Rina melangkah pasrah. Otaknya mulai berpikir. Sukses itu, bagi sebagian orang, adalah menggerakan lautan manusia, bukan menggerakan roda perusahaan. Bagi orang lain lagi, melukis dengan cahaya. Tapi bagi Rina, sukses itu, dapat keluar dari keadaan, situasi ini. Akhirnya Rina sampai di kamarnya, tempat dia dan suaminya.
Di kasur, Rina melihat anaknya yang melucuti pakaiannya sendiri.
“Oh Tuhan.”
Tanpa sadar, Rina terpukau melihat kemaluan anaknya yang lebih besar dari suaminya.
“Ntar juga kamu akan suka, bahkan ketagihan. Setelah mencobanya.”
“Dasar anak jahanam. Kamu akan menyesali ini!”
“Tentu tidak. Sayang sekali si banci Henri gak ada di sini ngeliat kita!”
“Aku benci kamu. Siapa pun kamu!”
“Jangan begitu. Jangan sakiti perasaanku!”
“Kamu gak berperasaan. Bagaimana bisa kamu berlaku seperti ini?”
“Udahlah. Berbaringlah!”
“Aku benci kamu. Terkutuk kamu,” Rina tetap berkata – kata sambil berbaring. “Kamu akan terbakar di neraka sana!”
“Hahaha… jadi kamu mau mengirim anakmu sendiri ke neraka? Akulah pendekar terkutuk pemetik bunga!”
Henri kini berlutut di atas perut Rina.
“Kamu mau nyoba dulu, sebelum dimasukin ke oven?”
“Bajingan kamu?”
“Ayolah, dia ingin dicium kamu?”
“Dia juga bajingan!”
“Jangan begitulah!”
Rina mulai memajukan kontol ke bibir Rina.
“Kalau kamu perlakukan temanku ini dengan buruk, akan aku beri pelajaran lagi.”
“Bajingan!”
Rina mulai membuka mulutnya. Henri mendorong kontol hingga helmnya mulai masuk ke mulut Rina.
“Isep dikit dong. Inget, kena gigi uang kembali!”
“Mphmph…”
Rina mulai menekan gigi ke kontol anaknya. Lantas Rina melihat anaknya mengacungkan tangan.
“Kalau aku jadi kamu, aku takkan berbuat seperti itu. Kecuali kamu mau kehilangan seluruh gigi setelahnya!”
Mata Rina menatap anaknya dengan penuh kebencian, tapi mulutnya mulai menghisap kontol.
“Nah, gitu dong. Kayak dibetterin aja nih!”
Andai bukan demi Henri, anaknya, Rina lebih memilih membunuhnya.
“Udah cukup. Aku gak mau keluar di mulut kamu.”
“Udah, hentikan!”
Rina memohon saat Henri bangkit dan mulai memegang pahanya. Rina menutup pahanya erat.
“Lebarkan kalau gak mau dilebar – paksakan!”
Mendengar ancaman lagi, Rina mencoba santai mengendurkan paha hingga bisa dilebarkan anaknya.
“Indahnya, basah lagi.” Kok bisa basah Pikir Rina. Pasti ada yang salah. Gak mungkin memeknya basah. Mungkin tubuhnya hanya menyiapkan keadaan. Entahlah. Rina merasa tak terangsang oleh anaknya dan kontolnya yang lebih besar dari suaminya. Tapi, mungkin memang terangsang, walau secuil. Yang pasti, amarahnya lebih besar dari yang secuil itu.
Rina mulai merasakan sentuhan kontol di memeknya. Namun kontol itu tak masuk jua.
“Masukin anjing!”
Sambil terisak, Rina meraih kontol dan membantu memasukan ke memeknya. Merasa dibantu, Henri lantas menusukan kontol ke memek hingga mentok.
“Oh”, engah Rina. Rina tak pernah merasa ditusuk sedalam ini. Helm kontol anaknya serasa menembus rahim. Sebelum Rina berpikir lagi, anaknya mulai memompa kontol. Ditarik, didorong. Rina mulai merasakan gairah. Kontol anaknya yang luar dari pada biasa ikut menggesek itilnya. Meski Rina mengutuk perbuatan anaknya pada dirinya, namun dia tak bisa menahan tubuhnya yang mulai merasakan kenikmatan.
“Dasar anak durhaka. Ayo, lebih cepet lagi!”
Kata – kata Rina bagaikan minyak yang disiram ke api unggun. Titik – titik sensitif di itilnya mulai membuat Rina lupa daratan, meski saat ini Rina memang sedang berada di daratan, tidak di laut dan atau udara. Kini Rina tak bisa lagi pura – pura tidak menikmati persetubuhan ini.
“Oh… Oh…”
Rina tak bisa berhenti mengerang sambil menggoyangkan pinggul mencoba menyambut setiap tusukan pinggul anaknya.
Hingga tiba saatnya, orgamse pun datang. Tubuhnya berkhianat, tubuhnya berkhianat. Rina mengerang dan tak bisa tak mengerang. Rina terjatuh dalam lautan kenikmatan.
Saat kesadarannya kembali pulih, Rina masih merasakan anaknya yang masih sibuk memompa layaknya superman, meski anaknya tak suka mendengarkan superman is dead.
“Bajingan, lebih cepat lagi. Bikin mama keluar lagi!”
Tubuh ibu dan anak itu beradu sambil mengeluarkan suara berisik. Rina menjadi gila akan kontol anaknya. Rina menjadi ingin dan ingin terus dientot oleh kontol anaknya itu. Bukan kontol sekedar kontol, namun ditambah unsur pemaksaan dan pelakunya adalah anak sendiri, membuat Rina tergila – gila.
Sambil memompa mama, tangan Henri bermain di susu dan meremasnya.
Seperti air yang selalu terjun di curug cinulang, orgasme Rina kini terus melandanya tiada henti. Saat kontol anaknya serasa ditusuk dengan lebih dalam lagi, saat itulah kontol anaknya menyemburkan peju yang langsung diterima oleh memek Rina. Peju itu terus menyembur seiring cengkraman memek pada kontol anaknya.
“Ohh… jauhkan tubuhmu dari mama bajingan!”
Henri berguling ke samping membuat kontolnya lepas dari memek Rina. Namun, Henri tak berkesempatan menjawab karena langsung tertidur.
Bersambung…