Pagi itu adalah pagi terindah bagi Pertiwi. Menghidangkan sarapan di meja makan untuk Muhris membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani suaminya. Muhris dan adiknya sangat puas dengan masakannya.
Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai. Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun.
Membiarkan keduanya menikmati hari dalam kemesraannya. Tapi, kalau kamu berpikir malam itu keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu salah besar.
Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih jauh. Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung sopan karena tangan Muhris tak pernah bergerilya seperti tangan para professional.
Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam hari.
Pertiwi pulang dari rumah Muhris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia bilang sekolah pulang cepat.
Seharian ia lebih banyak mengunci diri dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar dibanding waktu sebelumnya. Pertemuan selanjutnya ternyata lebih lama dari yang diduga.
Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu setelahnya. Keluarga Muhris berlibur ke rumah nenek di luar kota.
Alasan ujian membuat Muhris bisa menghindar dari paksaan orang tuanya, sehingga rumahnya bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat untuk bermesraan dengan Pertiwi, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang istimewa itu.
Pertiwi datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya.
Perpisahan yang cukup lama ternyata membuat gadis itu lebih agresif, sehingga, meskipun tetap Muhris yang harus memulainya, Pertiwi memberikan balasan yang sedikit liar dan nakal.
Muhris sampai megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka tertawa-tawa sambil berpelukan di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar TV tanpa bermaksud menontonnya.
Sekitar menjelang siang Pertiwi dibonceng Muhris untuk main ke Mall M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain sepeda air di sana.
Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang membuat mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat deras sebelum keduanya tiba di rumah.
Tak sampai lima menit ketika keduanya berubah basah kuyup, dan Pertiwi telah menggigil kedinginan saat perjalanan belum mencapai setengahnya.
Keduanya tiba di rumah saat menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka beli di jalan telah basah kuyup dan tak ada satu bagianpun yang kering dari diri mereka.
Tubuh Pertiwi menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak membiru. Muhris bergegas membawa gadis itu ke dalam rumah dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar atas.
Sementara menunggu gadis itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan keduanya selesai setengah jam kemudian.
Pertiwi baru sadar bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar mandi. Muhris berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih ibunya terkunci dalam lemari.
Sementara itu pakaian Hana juga tak muat dan terlalu kecil. Untunglah Muhris ingat bahwa di kamar tamu ada pakaian-pakaian saudara sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk dipakai jika menginap di rumah Muhris.
“Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…” Pertiwi kebingungan sendiri di kamar tamu itu.
Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim.
Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan.
Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV.
Wajah Muhris berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari; mata yang biasa Pertiwi temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan.
Tapi Pertiwi tahu semua ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha menutupi keterbukaan dirinya dengan kedua tangan. Bagaimana tidak?!
Inilah pertama kalinya seumur hidup ia mengenakan pakaian minim di hadapan seorang pria, meskipun itu adalah kekasihnya juga.
Sepupu Muhris bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya, sehingga kaus pink tipis bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat ketat di tubuhnya, menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona.
Bahkan bagian pusarnya tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha menarik kaus itu ke bawah.
Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga sama ketatnya, dan tidak benar-benar selutut, karena tubuh Pertiwi yang tinggi.
Pertiwi sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah, sehingga ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu.
Terlebih rambut panjangnya masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang yang menambah aura kecantikannya.
Tapi Pertiwi tak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, hingga ia merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut Muhris meledeknya, serta jengah dengan keterbukaannya sendiri.
“Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara Muhris terdengar bergetar, dan Pertiwi merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha memeluknya. Ia berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Muhris.
“Pertiwi malu… Jangan, Muhris… Jangan…” “Lho… Kenapa?”
Pertiwi hanya menggeleng dan Muhris berusaha menghormatinya. Mereka menghabiskan malam dengan menonton TV dan menghabiskan susu hangat di meja. Namun Pertiwi agak lebih pendiam dan gelisah.
Tangannya terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa yang ada di baliknya.
Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi, meski alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri hingga tak sadar bahwa mata Muhris terus menelusuri dirinya, seolah berusaha menelanjangi.
Awalnya Pertiwi tak sadar pada sentuhan itu. Berkali-kali Muhris mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Pertiwi menganggapnya sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan.
Tapi Muhris kini telah melingkarkan tangan kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya. Sedang tangan kanan diletakkan di atas lutut Pertiwi yang terbuka.
Cuaca memang sangat dingin akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga elusan di lututnya terasa nyaman dan menghangatkan, membuat Pertiwi setengah tak sadar ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap.
Pertiwi sangat suka nonton sinetron dan tayangan di TV adalah sinetron favoritnya. Adegan dan kata-kata romantis di layar kaca seperti memberi hipnotis tersendiri.
Adegan ciuman memang disensor, tapi hal itu justru membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman Muhris beralih ke bibir basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga ciuman dari Muhris dapat diterima oleh Pertiwi sepenuhnya, yang baru sadar bahwa posisi duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya.
Tapi ciuman itu begitu manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang sangat ia rindukan.
Tak perlu menunggu lama untuk membangitkan hasrat gadis itu. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepadanya, sehingga lidahnya langsung menyambut saat Muhris mulai mengajaknya bermain-main.
Bibir Pertiwi termasuk agak tipis, merah dan masih alami. Namun lidahnya lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan di atas rata-rata, ia menjadi gadis yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara memuaskan lawan mainnya.
Muhris sendiri sangat kaget dengan kecepatan Pertiwi dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir pertandingan lidah mereka, ia membiarkan sang gadis mengalahkannya hingga pipi gadis itu merona akibat agresivitasnya sendiri.
Ketika berciuman Pertiwi lupa pada apapun. Tapi setelah selesai ia baru sadar bahwa sejak tadi tangan kanan Muhris terus-terusan membelai-belai pahanya, bergantian antara kanan dan kiri.
Kini ia benar-benar merasakan rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding sekedar ciuman bibir.
Tangannya bertindak cepat, mencegah Muhris sesaat sebelum tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya.
Mulut mereka terdiam dan hanya mata yang berbicara. Muhris meminta, Pertiwi menolak halus. Tangan Muhris bergerak lagi, tapi Pertiwi mencegah lagi.
Muhris tersenyum manis. “Maaf, ya… Aku kelewatan…”
Pertiwi ikut tersenyum.
“Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.”
Pertiwi diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Muhris menjulur padanya. Pertiwi grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya.
Muhris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Pertiwi. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan.
Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya.
Tubuh Pertiwi hampir sama tingginya dengan Muhris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Muhris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah.
Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Muhris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas.
Pertiwi masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Muhris membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya.
Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Muhris makin mengarah ke dada Pertiwi, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu.
Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif.
Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Muhris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Pertiwi agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Pertiwi tak bisa mengelak.
Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Pertiwi terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya.
Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang panjang itu. Sedang muka Pertiwi makin memerah, karena ia benar-benar terangsang oleh remasan tangan Muhris di dadanya.
Payudaranya yang berisi membuat genggaman Muhris terasa penuh. Ia membiarkan dirinya terdesak ke dinding, hingga ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Muhris makin lincah dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus.
Ia hanya mendongak setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok. Ia makin belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Muhris mendarat di dagu dan lehernya bertubi-tubi.
Lehernya cukup panjang dan jenjang, hingga kepala Muhris dapat terbenam di sana dan memagut-magutnya seperti ular.
Pertiwi merasakan air mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat kebingungan mengenali perasaannya saat ini.
Remasan tangan kanan Muhris berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat menunduk dan hanya melihat rambut kekasihnya.
Kepala Muhris terbenam di buah dadanya yang telah mengeras kencang, dan Pertiwi dapat mendengar kecipak-kecipuk saat Muhris melahap dadanya itu dengan sedikit buas.
“Muhris… Muhris… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Pertiwiaa… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”
Muhris telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha menyingkapkannya agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu terus meremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan.
Menjepit dan mempermainkan putting susunya yang masih tertutup BH tipis berwarna krem.
Mungkin Muhris merasa gemas mendapati payudara yang demikian empuk dan kenyal itu, payudara perawan yang masih sangat sensitif dari sentuhan.
Keadaan Pertiwi kini sungguh mengenaskan. Kekasihnya menyerangnya di berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti sebuah boneka.
Bibir dan tangan kiri di payudaranya, tangan kanan di sela-sela pahanya.
Semuanya adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia belum pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan.
Dulu ketika hal ini tak pernah terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga kehormatannya. Tapi kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu apakah ia akan tetap sekuat itu.
Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan dirinya, dan membangunkan perasaan rindunya yang telah lama terpendam. Ia sangat bingung hingga hanya mampu meneteskan air mata dan meremas remas rambut Muhris.
“Aku sayang kamu, Pertiwi… Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan Muhris di sela-sela kesibukannya. Pertiwi hanya mampu menjawabnya dengan erangan-erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Muhris telah menembus langsung ke pangkal pahanya.
Jari jemari pria itu menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif, hingga Pertiwi merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal sebelumnya.
Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh Pertiwi masih tertutup CD tipis dan celana ketatnya.
Tapi ini adalah sentuhan pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan rangsangan dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Muhris tidak juga menghentikan aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar.
Kemaluannya terasa seperti diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin merasakan desakan yang aneh sangat sulit ia pahami.
Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia terus mengerang… mengerang… hingga desakan itu makin menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup bertahan lagi…
“Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….” Pertiwi menjerit panjang saat orgasme melanda tubuhnya untuk pertama kalinya.
Tubuhnya mengejang kuat, melengkung seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Muhris yang tak juga berhenti bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah terpaan badai.