Cerita Sex Siswi Berjilbab – Cerita dewasa kali ini akan mencoba menghadirkan bagaimana binalnya seorang siswi berjilbab dalam beradu seks diatas ranjang bersama lawan mainnya. Bahkan cerita dewasa yang satu ini bisa membuat kontol anda naik turun ga jelas.
Gimana mau mencoba merasakan cewek berjilbab di ranjang ? simak saja cerita dari kumpulan cerita dewasa disini. Sebut saja namanya pertiwi.
Pertiwi tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu.
Dan perasaan suka itu muncul di hati Pertiwi tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Muhris memberi sinyal yang sama, Pertiwi tentu sudah melupakan perasaannya.
Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik.
Tersange Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa kesempatan karena alasan peningkatan intensitas pelajaran.
Siswa putra duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang. Tapi Muhris duduk di barisan putra paling belakang sedang Pertiwi di barisan putri paling depan. Maka tak ayal Muhris berada tepat di depan Pertiwi.
Dan itulah awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka. Biasalah… Awalnya pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti.
Kadang ada alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan basi yang paling disukai setiap orang.
Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta, tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih.
Hubungan cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Pertiwi begitu menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan.
Lalu cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Pertiwi sempat ragu saat Muhris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang sekolah sore itu.
Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Pertiwi, bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu dengan Muhris.
Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan pertama mereka.
Malamnya Pertiwi tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Muhris menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal.
Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Muhris bahkan membelikan sebuah hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya. Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang.
Cowok itu berkata, “Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia senantiasa mengenakan kalung mutiara itu.
Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang Pertiwi kenal.
Kalau ada satu saja orang yang tahu Pertiwi berduaan dengan seorang pria di Mall, maka Pertiwi tak dapat membayangkan petaka apa yang akan menimpanya.
Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di sore itu, di satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Muhris mencium pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga.
Hanya sekilas, dan Muhris membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat besar pada diri Pertiwi.
Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan membuncah. Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang bodoh.
Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena Pertiwi tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus. Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam sesudahnya.
Tiga hari sejak peristiwa itu Pertiwi selalu berusaha menghindar dari Muhris. Ia merasa malu, bingung dan takut.
Bagaimanapun juga satu sisi perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati batas.
Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya mereka bertemu kembali, Pertiwi tak bisa menolak saat di banyak kesempatan Muhris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri.
Bahkan, saat Muhris semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya (meski semua itu dilakukan Muhris tak lebih dari lima detik saja), Pertiwi hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum berpisah, Muhris berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, main ke rumah esok sore?”
Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Pertiwi mengangguk…
Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Pertiwi duduk di sofa ruang tamu di rumah Muhris.
Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.
Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya.
Pertiwi tak tahu banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu berdiri.
Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja, lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu asli.
Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat.
Air terjun buatan dibangun di samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari kaca jendela samping.
Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan.
Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata, dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas.
Seperti sebuah foto namun memancarkan aura magis yang lebih kentara. Pertiwi sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh dirinya, sampai ia tak sadar kalau Muhris telah duduk di sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Pertiwi tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.
“Nggak apa-apa, Ris. Pertiwi seneng, kok…” Pertiwi merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.
Sore itu Pertiwi lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Pertiwi baru tahu bahwa ternyata Muhris bisa memasak. Pintar malah.
Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut.
“Aku tetep cinta kamu, kok…”
Perlu diketahui bahwa Pertiwi saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh yang mulai matang sebagai seorang gadis. Posturnya juga tinggi dengan wajah manis yang terkesan keibuan.
Tapi percayalah bahwa ia sangat polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang telah mahir urusan peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus informasi dan pengaruh buruk ibukota.
Maka ia tak menaruh prasangka apapun saat Muhris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Pertiwi membuatnya yakin bahwa Muhris tak akan melakukan hal buruk terhadapnya.
Sehingga, pilihan berbohong ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn.
Ia tahu orang tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti sekarang.
Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun, dan Pertiwi tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras.
Sangat deras, karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi. Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Pertiwi tak akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.
O, iya… Sebetulnya Pertiwi dan Muhris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Muhris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP.
Makanya Pertiwi tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Muhrislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Pertiwi kepada orang tua mereka.
Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati.
Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan (meski setengah hati) dari Pertiwi. Tapi hal itu tak berlaku malam ini, karena kini Pertiwi merasa lebih santai dan bebas.
Di satu kesempatan Muhris memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas.
Di kesempatan lain ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja melingkarkan tangan di pinggangnya.
Pertiwi sempat menjerit pelan dan berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa sabun hingga susah untuk bergerak.
Ia hanya menggelinjang pelan dan merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau Muhris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.
Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Muhris, Pertiwi bergabung dengan kakak beradik di ruang TV.
Ia mengenakan busana malam yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab); kemeja kaus lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada.
Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat untuk menyegarkan dirinya.
Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang tertawa menyaksikan film kartun di televisi. Mata Pertiwi saat itu tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi yang penuh imajinasi.
Pelukan dan ciuman hangat dari Muhris mau tak mau membangkitkan gairah terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar jiwanya.
Ia mengalami semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah memuncak.
Pertiwi tak tahu—atau mungkin tak berani mengakui—bahwa dirinya telah dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan.
Terlebih ini adalah masa-masa suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Muhris membuatnya perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh keremajaannya yang sedang membara.
Penghalang dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini.
Tapi pancingan-pancingan yang dilakukan oleh Muhris dengan lihai membawanya pada pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya akibat kepolosan sang gadis remaja.
Jam delapan lewat dua puluh menit Muhris bangkit dari duduknya dan menarik tangan Pertiwi agar mengikutinya.
Hana tak sadar karena ia terfokus pada acara televisi. Pertiwi menurut dan dadanya berdebar kencang saat Muhris menariknya ke lantai dua.
Kalau Pertiwi sedikit lebih gaul, ia akan tahu Muhris bermaksud melakukan sesuatu, tapi Pertiwi jauh lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Muhris mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya.
Ia senang bisa tahu isi dalam kamar kekasih yang ia cintai. Pertiwi kagum pada suasana kamar Muhris yang menyenangkan.
Ia juga terkejut saat menemukan foto dirinya dalam pose separuh badan terpampang di dinding kamar.
Foto itu ditutupi Muhris oleh poster pemain bola, hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik poster itu dan memandangi foto gadis yang tersenyum manis di sana.
Pertiwi setengah lupa tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto itu lebih cantik dari aslinya.
Tapi Muhris menjelaskan bahwa program komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat gadis secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona.
Pertiwi tersipu malu. Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Muhris menarik dirinya agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak beludru di saku celananya.
Pertiwi terperanjat. Muhris berbisik mesra, “Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu mengenakannya…”
Mata Pertiwi berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi.
Tapi ia terlalu malu untuk melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Muhris meletakkan anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi, “Aku pasangkan sekarang, ya…”
“Tapi…” Suara Pertiwi serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Pertiwi malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”
Pertiwi bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki.
Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini.
Tapi Pertiwi adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya.
Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya.
Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Muhris yang menyudutkan itu. Ia memang diam.
Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Muhris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya.
Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Muhris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.
“Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara itu terdengar lirih, dan Pertiwi hanya terpejam menahan semua perasaannya.
Itu adalah ekspresi terbodoh yang pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong Muhris untuk mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat dan penuh cinta, membawa Pertiwi terbang tinggi dan melupakan dunia ini.
“Mmmh…” Pertiwi hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat.
Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Muhris mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna.
Tangannya begitu saja memeluk lengan Muhris yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.
Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan dipenuhi gelora cinta.
Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan, seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur.
Keduanya baru berhenti ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Pertiwi kaget dan merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu.
Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia membiarkan Muhris memasang anting-anting di kedua telinganya.
Ia menahan rasa geli saat jari jemari Muhris seakan menggelitik kedua telinganya, dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar.
“Lihat… Kamu cantik sekali..”
Pertiwi melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya.
“Aah… Muhris jahat… Pertiwi malu…” “Malu sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat.
Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta.
Bersambung…