Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, “Buuu…, saya sayang Ibuuu…, saya ingin ibu menjadi…, puu..aas”.
Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan sesekali bibirku, dia berkata, “Naak Suuur…, Ibu masih belum puas sekali…, Suuur…, tolooong puasin ibu sampai benar-benar puaas…, Naak”, seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua kakinya.
Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar ketika ibu bersuara kembali, “Sayaang…, ayooo…, tolooong Ibu dipuasin lagi Suuur, tolong masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu”.
“Buuu…, seharusnya saya tidak boleh melakukan ini…, apalagi kepada Ibuu”,sahutku di dekat telinganya.
“Suuur…, nggak apa-apa…, Naak…, Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak…, lakukan sampai Ibu benar-benar puas Suuur”, katanya dengan suara setengah mengiba.
“aahh…, biarlah, kenapa kutolak”, pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, “Buuu…, maaf yaa…., saya mau masukkan sekarang, boleh?”.
“Suur…, cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak”, sahutnya seperti tidak sabar lagi dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya, mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil,
“Aduuuh…, Suuur…, pelan-pelan saayaang…, ibu agak sakit niiih”, katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya,
“Maaf Buu…, saya sudah menyakiti Ibu…, maaf ya Bu”. Ibu mertuaku kembali menciumku, “Tidak apa-apa Suuur…, Ibu cuma sakit sedikit saja kok, coba lagi Suur..”, sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku.
“Buuu…, saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa…, kalau ibu merasa sakit”, sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang kulakukan dengan lebih pelan.
Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya, kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, “Buuu…, sakit.., yaa?”.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, “Suuur…, masukkan saja sayaang”, sambil kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku.
Aku segera kembali menekan penisku di lubang vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit.
Karena ibu tidak mengeluh maka aku teruskan saja tusukan penisku dan, “Bleess”, penisku mulai membongkar masuk ke liang vaginanya diikuti dengan teriakan kecil,
“Aduuuh…, Suuur”, sambil menengkeramkan kedua tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu.
“Buuu…, sakit yaa..? maaf ya Buuu”. Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya.
“Enggak kok sayaang…, ibu hanya kaget sedikit saja”, lalu mencium wajahku sambil berucap kembali, “Suuur…, besar betul punyamu itu”.
Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah, “ssshh…, oooh…, aahh…, sayaang…, nikmat…, teruuuskan…, Naak”, katanya seraya mempercepat goyangan pantatnya.
Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya, “Buuu…, aahh…, punyaa Ibu juga nikmat, buuu”, sambil kuciumi pipinya.
Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, “Aah…, Suuurr…, ooh…, teruus…, Suur”. Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya.
Aku tersentak kaget, “Buuu…, kenapa? apa ibu capeeek?”, Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu berucap, “Suuur…, coba hentikan gerakanmu itu sebentar”.
“Ada apa Buuu”, sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun.
“Suuur…, kamu diam saja dan coba rasakan ini”, kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan,
“Buuu…, aduuuh…, enaak…, Buu…, teruus Bu, oooh…, nikmat Buu”, dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya.
“oooh…, aah…, Suuur…, enaak Suuur”, dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak terkontrol lagi.
Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, “Kenapa…, Suuur…, kok berhenti?”, tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari pelukannya lalu bangun.
Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan itu.
Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan.
Ketika seluruh batang penisku sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu sehingga ibu mulai berteriak kecil, “Suuur…, aduuuh…, punyamu masuk dalam sekali…, naak…, aduuuh…, teruuus sayaang…, aah”,
Dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja berdesah, “Ooohh…, aahh…, Suuur…, enaak…, terus, tekan yang kuaat sayaang”.
Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu kukatakan pada ibu, “Buuu…, coba ibu tengkurap dan nungging”, kataku sambil kubantu membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging,
“Aduuh…, Suuur…, kamu kok macem-macem sih”, komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak,
“Aduuuh Suuur, oooh”, dan tanpa kupedulikan teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali kudengar ibu berteriak,
“oooh…, oooh…, Suuur”, dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi, “Suuur…, Ibu capek Naak…, sudaah Suuur…, Ibuu capeeek”, dan tanpa kuduga ibu lalu menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak mau penisku jadi keluar dari vaginanya.
Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap. Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat.
Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak lembek itu terguncang-guncang.
Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, “Suuur…, jangaan…, kuat-kuat Naak…, badan ibu sakit semua”, sambil memegang kedua tanganku yang kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku.
Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan ibu serta kuucapkan,
“Maaf…, Buu…, kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk pelan-pelan”, segera saja ibu berucap, “Suuur nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan posisi seperti ini saja, ayoo…, Suuur mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas”.
“Iyaa…, Buuu…, saya akan coba lagi”, sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya.
Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras diantara nafasnya yang sudah mulai memburu,
“ooohh…, aahh…, Suuur…, teruuus…, oooh”, seraya meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam vaginanya. Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi.
Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, “Nak Suuur…, aduuuh…, Ibuuu…, sudaah…, oooh…, mauuu kelluaar”.
Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya.
Untuk sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil kuciumi wajahnya, “Bagaimana…, Buuu?, mudah-mudahan ibu cukup puas.
Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya.
Karena ibu masih diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya, “Buu…, saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?”, seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah sangat basah itu.
Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya, memandang ke wajahku,
“Jangaan…, Suuur…, jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuuu, jangaan dicabut dulu…, yaa…, sayaang”, terus kembali menutup matanya.
Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan,
“Tidaak…, Buuu…, saya tidak akan mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini”, sambil kurangkul leher ibu dengan tangan kananku.
Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, “Aduuuh…, oooh…, Buuu”.
“Kenapa…, sayaang…, enaak yaa?”, sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil kucium hidungnya kukatakan,
“Buuu…, enaak sekaliii”, dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah, “oooh…, aah…, Suuur…, teruuus…, naak…, aduuuh…, enaak sekali”.
Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar masuk vaginanya.
Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku tetap tidak keluar, “Buuu…, sebentar lagi…, sayaa…, sudaah…, mau keluaar”, sambil kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati klimaks.
Ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman tangannya di punggungku seraya berkata, “Suuur…, teruuuss…, Naak…, Ibuuu…, jugaa…, sudah dekat, ooohh…, ayooo Suuur…, semprooot Ibuu dengan airmuu…, sekaraang”.
“Iyaa…, Buuu…, tahaan”, sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus terdiam dengan nafas terengah-engah.
Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan tugas yang diberikan oleh istriku.
“Buuu…, apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?”, tanyaku.
“Mungkin saja Suuur…, kenapa Suuur?”, Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku.
“Buuu…, kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia”, ibu hanya diam dan seperti berfikir.
Setelah diam sebentar lalu kukatakan, “Buuu…, sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu serta kubimbing ke kamar mandi.
Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen cucu dan anaknya Jenny, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku.
Untungnya sampai sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya selalu mengunjung rumah kami.