Cerita Sex Saudara Ibu Tiri – Tak semua ibu tiri itu kejam dan menakutkan. aku merasa nyaman sekali tinggal bersama ibu tiriku. Cerita kekejaman ibu tiri sudah banyak beredar sejak dulu kala, sehingga sampai diangkat dilayar lebar dan menjadi tema lagu dengan label Ratapan Anak Tiri misalnya, dan berita-berita yang memilukan, baik perihal ibu maupun anak tiri ini.
Hal itu sempat membuat hatiku galau ketika ayahku (49) menikah lagi (karena ibu kandungku meninggal), dengan seorang perempuan (35) sempat meresahkan hatiku. Aku berstatus sebagai anak tiri dan siap menanggung deritanya.
(namaku Rendy, 22) Untuk menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan, justru saya berusaha berbuat baik dengan mama tiriku itu. Saya ingin mengubah opini publik bahwa ibu tiri itu kejam, hanya sayang pada ayah dan seterusnya.
Image ini ingin saya ubah; menjadi ibu tiri yang mengasihi, lembut terhadap anak tiri. Lalu saya bertekad berbuat baik dan menghormati ibu tiri bahkan tidak sekedar menghormati tetapi membuat hatinya senang, minimal saya tidak menyebalkan di hadapan matanya. Langkah yang aku lakukan adalah selalu membantu pekerjaan rumah tangga, apalagi bila pembantu sedang pulang kampung.
Tersange Saya pun bersikap baik, terhadap Remy (11) anak kandung ibu tiriku, bahkan saya anggap sebagai adik kandungku sendiri. Demikian juga aku selalu bersedia apabila disuruh belanja atau apa saja yang sekiranya dapat aku lakukan.
Usaha mengubah citra ibu tiri yang sudah saya rintis ini untuk mematahkan bisa anggapan bahwa ibu tiri itu jahat. Namun yang namanya pendapat umum, mitos tentang kengerian ibu tiri ini ternyata tidak gampang dihapuskan begitu saja di muka bumi ini, bagai sebuah penyakit yang menahun, kronis dan berstadium tinggi.
Sikap ibu tiriku tetap tidak baik dan merendahkan anak tiri. Mama tiriku jarang mengajakku, dia baru mau bicara bila sedang perintah saya, atau bila saya dianggap melakukan kesalahan. Misalnya bila Remy terlambat berangkat sekolah, saya yang ditegur, padahal anaknya sendiri yang molor.
Hal ini dilakukan tidak segan-segannya, walau saat ada orang lain atau tamu. Ayahku hanya diam saja, aku pun paham betul posisi ayahku. Aku tetap menganggap ayah sebagai orang tua yang bijaksana dan sangat mengasihi saya.
Sebenarnya dalam hati aku juga bahagia, ayah mendapatkan istri cantik, masih muda. Ayah seorang yang berselera tinggi, sudah berumur memang, tapi kelihatan tetap tampan dan gagah, apalagi sebagai seorang pejabat di instansinya. Klop sudah.
Wanita mana yang tidak tergiur dengan kelebihan ayahku? Aku tidak menyombong, memang kenyataannya begitu. Angan-anganku semula, yang penting dengan kehadiran ibu tiri ini ayah menjadi semakin bahagia.
Namanya usaha apapun hasilnya tentu memiliki nilai tersendiri, ibu tiriku yang kemudian aku sapa dengan suka-rela pakai sebutan ‘mama’, ini akhirnya agak membaik, walaupun tidak secara frontal, lambat-laun.
Tapi kadang-kadang masih mengatakan kata-kata yang menyakitkan, walaupun mestinya tidak pantas dilontarkan kepada saya sebagai orang yang sudah beranjak dewasa. Harapanku keluarga yang dibina oleh ayah, tetap berjalan dengan damai dan cukup kondusif.
Setiap pagi hari ayah dan mama berangkat kerja, bersama Remy. Sesekali Remy saya antar, bila bangunnya agak molor. Hari itu keluarga kami ketamuan bu Heidy (tentu bukan nama sebenarnya), saudara kembar mama tiriku. Istri papa itu bila menyapanya dengan sebutan mbak Heidy.
Artinya bu Heidy ini yang dianggap lebih tua dari mama tiriku, walau hanya terpaut satu-dua jam saja mungkin. Bu Heidy ini rumahnya di kota S, kira-kira 100 km dari kota kami. Sering bertandang ke rumah bila kebetulan ada tugas dinas di kota ini atau sekedar mengunjungi saudara kembarnya.
Hari itu rencananya perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan mama tiri saya itu akan menginap di rumah selama dua minggu, katanya -aku dengar dari pembicaraan mereka-, akan mengikuti sebuah diklat yang diadakan oleh instansinya di kota ini.
Kebetulan tempat diklatnya, gedungnya tidak jauh dari rumah keluarga kami, kira-kira cuma 500 m saja, sehingga dia tidak perlu menginap di hotel yang disediakan oleh diklat. Relatif dekat.
Ini kali yang kedua bu Heidy mengikuti acara instansinya di sini. Waktu itu, juga ada raker, kalau tidak salah enam bulan yang lalu. Saya masih ingat, selesai raker, saya yang disuruh mama mengantar mereka, saat dua kembar itu belanja dan keliling keliling kota, karena ayah ada egiatan di kantor. Seperti biasanya bila berkunjung, sering keliling kota shopping.
Jadi saya cukup mengenalnya. Dua kembar ini perangainya agak beda. Kalau yang dianggap muda itu agak sombong, terutama terhadap saya, sedangkan yang dianggap tua, bu Heidy cukup ramah.
Saya sering diajak ngomong dan selalu menyapa dengan senyuman. Seperti pada umumnya orang-orang bila saling ketemu, tapi tidak demikian halnya mama tiriku, paling tidak bila dengan saya.
“Ren, tolong antar Bude Heidy ke diklatnya besok, di situ ya” kata ayah saya hari itu.
“Ya Ayah, baik. Besok saya antar ibu” jawabku.
“Perhatikan ya jamnya, jangan sampai terlambat” mama menimpali.
“Ya Ma, baik”
Pagi itu Senin, bu Heidy siap berangkat, ayah ibu dan Remy sudah berangkat lebih pagi, seperti biasa, kemudian setengah delapan saya mengantar bu Heidy dengan memboncengkannya pakai sepeda motor. Perempuan ini cantik, kulitnya putih bersih, sama dengan mama tiriku, saudara kembarnya.
Bedanya, bu Heidy ini ada tahi lalat di pipinya yang menambah kecantikannya. Pagi itu dia memakai setelan bleser-celana warna abu-abu tua dan kerudung biru motif bunga.
Cantik, tingginya kira-kira 165 cm, cukup tinggi menurut ukuran perempuan negeri ini. Sesampainya di gedung tempat diklat dia turun dan aku menawarkan diri untuk menjemputnya.
“Bila nanti sudah selesai, Ibu bisa telepon atau sms saya, nanti saya jemput” kata saya.
“Boleh Ren, terima kasih. Tapi jangan sampai mengganggu kuliahmu, lho” katanya sambil senyum.
“Enggak Bu, saya bisa kok” kataku.
Akhirnya dia setuju dan minta nomor hpku dan akupun meminta nomor hpnya. Terjadilah acara tukar menukar nomor hp. Kegiatan antar jemput itu berjalan setiap hari, sebagai kegiatan tambahan, tapi aku tidak menghitung untung rugi. Toh dia adalah kembarannya mama, sama dengan budeku, walau dibelakangnya ada tambahan bude tiri. Aku tidak mempermasalahkan.
Sampai di hari Jumat, dia pulang jam tiga, agak siang dari hari-hari biasa, tiba-tiba dia berkata:
“Bila terus ke sana, sampai mana Ren?” kata bu Heidy sambil menunjuk jalan arah depan.
“Ada perkebunan teh, pemandangan pegunungan indah Bu” kataku
“Kita ke sana, yuk” katanya spontan.
“Baik” kataku lalu menancap gas menuju ke arah lurus, yang mestinya belok kiri menuju rumah.
Sekitar lima km, kami sudah sampai, saya berhenti sambil melihat pemandangan di sekitar kebun dan gunung yang indah. Perempuan ini cukup senang, mungkin karena daerahnya ngarai.
Pada latar belakang pemandangan terlihat gunung menjulang tinggi, aku berkata;“Saya pernah naik ke sana Bu..” kataku tanpa ditanya.“Kamu juga suka naik gunung Ren? Pantesan tubuhmu kekar… harus latihan fisik terus ya..?” katanya saya jawab dengan mengangguk.
Kami keliling dengan sepeda motor, sesekali berhenti membuat foto panorama dirinya dengan hpnya. Kemudian dia mengajak saya di sebuah café dan minum di sana. Dari tempat parkir, kami berjalan berdua, jalannya agak menanjak, tangannya menggapit tangan kiriku, sampai tubuhnya kadang mepet dengan lenganku.
Saat itu rasanya ada suatu aliran listrik arus rendah mengalir di dalam aliran darahku, mulai dari tangan menjalar ke dadaku dan jantungku bergetar, bahkan menjalar pula ke arah tititku menjadi agak membesar, walau tidak tegang.
“Kamu sudah punya pacar Ren?”
“Belum Bu”
“Masa? Umurmu berapa sekarang?” tanyanya kemudian
“Dua puluh dua”
“Apa nggak ada yang tertarik sama kamu? Kamu kan ganteng…” katanya sambil memegang tanganku.
“Ibu ada-ada aja”
“Kamu nggak malu, berjalan bersama saya, yang sudah tua ini?”
“Ngapain harus malu Bu? Justru saya bangga bersama orang secantik Ibu”
“Ah kamu Ren. Terima kasih ya, atas pujiannya. ” katanya lalu kami tersenyum bersama.
Jam setengah lima sore kami baru pulang, selama di café kami ngobrol ngalor-ngidul, banyak hal yang ditanyakan mengenai diri saya, walaupun saya juga bertanya perihal suaminya, anaknya dan seterusnya. Bener-bener cantik perempuan ini, gumanku.
Tidak seperti biasanya dalam perjalanan pulang dari rekreasi tersebut ada perubahan yang mendasar, tangan bu Heidy memegang erat, melingkar pada tubuhku, walaupun saya berjalan mengendarai bromfit tidak kencang.
Bahkan badannya yang semula merenggang dengan punggungku, sekarang mepet sekali, sehingga dadanya yang pasti gunung kembarnya nempel ketat kayak perangko dipunggungku. Kedua tangannnya dilingkarkan pada perutku, baru dilepas saat hampir sampai rumah.
Inilah penyebab aliran-aliran dalam darahku berjalan ke seluruh penjuru tubuhku yang aku rasakan. Saya ingin perjalanan ini tidak segera sampai rumah, tapi apa dikata dalam waktu singkat sampai rumah.
Akhirnya cuma menunggu moment yang indah ini sampai hari berikutnya. Kalau begini jadinya, menjadi pengojek antar jemput sepanjang tahun pun saya sanggup. Pikirku.
Sesampai di rumah, Remy sudah siap berangkat les, lalu saya antar ke tempat les.
“Nanti saya pulang sama mama Kak, mau beli buku. Nggak usah dijemput” kata Remy setelah sampai di tempat les.
“Ya” kataku
Kembali saya ke rumah, kudapat bu Heidy sudah selesai mandi. Sore itu dia memakai rok terusan warna putih motif bunga. Serasi sekali. Apapun yang dipakai tampak pantas dan serasi, dasar orang cantik.
“Kamu mandi dulu Ren”
“Ya Bu” sahutku sambil menuju kamar mandi.
Aku pikir bu Heidy ini lebih gampang akrab dengan saya, dan sangat memperhatikan saya. Saya merasakan perhatiannya seperti seorang ibu, ini ada kasih sayang dari seorang ibu.
Walaupun pembawaannya agak pendiam, rupanya perempuan cantik ini ramah dan menyenangkan. Saya pun senang bisa berakrab-akrab ria dengan dia. Selesai mandi aku menghampirinya duduk di sofa ruang tengah, sudah ada teh dua cangkir.
“Ini teh Ren, kita minum-minum dulu”
“Wah, Ibu repot-repot. Mestinya saya yang bikin tadi” kataku basa-basi.
“Nggak apa-apa kamu sudah capek. Kuliah, lalu jemput saya, mengantar Remy”
“Ya Bu, terima kasih”
Sore itu di rumah hanya kami berdua, saya dan si cantik bu Heidy, kemarin Parmi (PRT) minta pulang kampung, karena dikabari ayahnya sakit di desa. Seperti air, maka pekerjaan rumah mengalir, kami kerjakan bersama. Dan ini sudah menjadi kebiasaan kami di kala PRT pulang.
Saya dan bu Heidy duduk bersama, sambil menikmati teh dan makanan kecil. Saya sudah tidak kikuk, atas keterbukaan bu Heidy ini, saya sengaja duduk di sofa panjang bersebelahan dengan perempuan berkacamata ini.
Dia menaruh tangannya di pangkuanku dan sayapun tidak segan memegang tangannya. Rabaan demi rabaan sempat menggetarkan dadaku, walaupun tidak sampai bergoncang.
Sesekali aku mencium tangannya, yang sebenarnya saya ingin sekali mencium bibirnya atau paling tidak pipinya yang ranum itu, tapi tidak aku lakukan. Sebagai pelampiasannya hanya menciumi tangannya, sesekali. Dan dia mengelus rambutku dengan lembut. Saya benar-benar merasakan belaian kasih sayang dari seorang ibu.
Di sisi lain, sebagai lelaki yang beranjak dewasa, dadaku pun bergetar menghadapi perempuan dewasa ini. Bahkan saya anggap sebagai perempuan matang dan mantap. Dari segi umur sudah mantap dan kedudukan sebagai pegawai sudah berpengalaman.
Hal ini dapat saya rasakan dari cara bicaranya yang berkualitas, seperti dosen ketika sedang memberi kuliah di depan kelas. Gambaran sebagai sosok yang intelek dan berwawasan luas.
Dia mendekatkan diri padaku, getaran-getaran dada terakumulasi mendorong pada sebuah tindakan, dengan tanganku mulai berani meraba-raba pahanya, walaupun masih di atas roknya.
Ternyata dia diam dan membiarkan gerak tanganku yang sudah seperti ular mendesis-desis mencari mangsa, merayap kesana kemari. Rupanya dia pun mengikuti alur anganku dan perasaanku yang terlahir melalui belaian tangan, bertemunya jari-jemari dan pandangan mata, serta gerakan bibir yang merekah.
Tangannya pun juga membelai pahaku, yang sore itu pakai celana pendek. Ini dilakukan oleh dua insan lain jenis yang merangkak pada gejolak nafsu masing-masing. Saya ingin sekali merasakan dan mengalami peristiwa birahi ini walau setapak demi setapak.
Rupanya bu Heidy yang saya ajak menyisir lorong-lorong indah nan menyenangkan ini mengikuti alur sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang mengetahui siapa yang lebih dulu memulainya.
“Ren aku suka kamu. Kamu baik sekali, dan ganteng lagi…” kata bu Heidy agak tertahan.
“Kok Ibu tahu saya baik, Baik apanya? Saya sendiri merasakan biasa-biasa saja” sanggahku.
“Enggak Ren, walau saudara kembarku bersikap begitu terhadap kamu.
Tapi kamu tetap menghormatinya sebagai ibumu, bukan karena takut. Dan saya juga terima kasih, dengan sayapun kamu baik” katanya sambil membelai keningku, seperti membelai anaknya.
“Terima kasih Bu, saya juga suka ibu. Ibu cantik sekali dan sangat perhatian padaku. Ibu sebagai obat penglipur lara, dikala hatiku gundah gulana” kataku kayak orang berpantun.
Aliran yang semula kecil kemudian membesar itulah yang mendorong dengan kuat dan menghentak, mengantar pada keberanianku untuk mencium pipi, kemudian bibir indah bu Heidy. Tanpa hambatan apapun, justru bu Heidy menyambut dengan ciuman antusias dan mesra.
Kami saling mencium, lidah dan bibir kami saling bertautan, saling melumat, saling mencari kenikmatan dalam peraduan antara bibirku dan bibir bu Heidy, dengan masing-masing melepas hasrat yang terakumulasi, kini dia lebih agresif menciumi aku.
Sementara tangan kiriku bertautan dengan tangan kanannya, tangan kananku menyusup di balik gaunnya meraba dan membelai paha mulusnya. Mulus bagai batu pualam putih bersih. Sedangkan tangan kanannya juga menyusup di balik kaosku, membelai-belai lembut dadaku.
Tanganku merayap terus ke atas, sekarang sudah sampai ke bagian perutnya berhenti sejenak di sana, kemudian meluncur ke atas menuju susunya. Gemetaran ketika tanganku menyelinap di balik behanya dan kemudian meremas susunya dengan lembut. Setelah melepas ciuman bibir katanya
“Kita ke kamar aja yuk, Ren”
Tanpa mengulang kata-kata itu, kedua insan lain jenis ini beranjak bergandengan masuk menuju kamar. Di kamar bu Heidy membuka kaosku dan walaupun dengan gemetaran, akupun serta merta membuka gaunnya.
Kini tampak dengan jelas beha dan cede yang dipakai, berwarna putih cemerlang, membalut bagian tubuhnya nampak indah sekali. Mulai dari kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang cantik, bahunya yang indah, susunya yang montok pinggulnya yang bulat indah serta kakinya yang indah menggiurkan.
Sepasang pahanya putih mulus menggairahkan. Kegiatan ini fokus pada ciuman bibir dan belaian lembut, sementara bergerilya keseluruh permukaan kulit yang lembut itu, tanganku membuka behanya dari kait pada punggungnya, lama tidak lepas a lot, lalu dia membantu membukakan.
Nampak sepasang payudara yang montok indah sekali. Tanpa menunggu lama sayapun membuka cedenya, yang dibalas dengan cedekupun dibukanya. Terlebih pada pangkal sepasang pahanya itu bagian depan di bawah perut, terbentuk seperti huruf ‘V’ yang ditumbuhi rambut tipis sangat mempesona.
Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan itulah getaran-getaran yang sejak tadi mengalir kini bergejolak deras dan menggoncang-goncang dadaku. Aku memeluk kembaran ibu tiriku itu. Aku benar-benar gemetaran, namun kegiatan tetap berlangsung, lidah kami beradu sambil menari-nari.
Kini bu Heidy dan saya sudah sama-sama polos, tanpa busana, kami saling berangkulan berciuman. Menakjubkan sekali, saya yang baru beranjak dewasa ini sangat merasakan kenikmatan yang tiada tara.
“Wah tititmu besar sekali” bisiknya Tititku yang ngaceng maksimal diurut-urut lembut kemudian dijepit di antara paha mulusnya sambil digesek-gesek. Dampak ini luar biasa, dadaku semakin gemuruh, sepertinya darahku sedang mendidih mengaliri seluruh tubuhku.
Sambil meremas payudaranya, agak menunduk aku menikmati kedua payudaranya yang menggairahkan. Saya remas mulai dari bawah ke atas dan mempermainkan putingnya. Kemudian dia naik ke ranjang, merebahkan diri di ranjang dan mengarahkan lagi payudaranya ke arah mulutku, katanya “Dinenen Ren..”
Dengan sigap aku mengusap-usapkan wajahku ke susunya yang montok itu dan kemudian nenen. Puntingnya berwarna merah jambu, seperti oase di padang pasir yang sangat menggairahkan. Pertama dengan lidahku memainkan putingnya kemudian ngedot, persis seperti balita yang nenen ibunya.
Sementara itu kedua tangannya merangkul bahuku dengan membelai-belai punggungku. Tangankupun sibuk dengan kedua benda ajaib ini. Enak dan menyenangkan. Sementara tititku menelusuri celah pahanya, sesekali tangannya dengan lembut membelai-belai titit yang sudah keras luar biasa itu.
Kami berdua bergumul, saling menindih dan pada kaki-kaki kami saling melilit. Saya menindih perempuan molek itu dan menggumuli dengan ciuman-ciuman lembut. Acara ini rupanya berpusat pada ciuman bibir dan saling belaian tangan yang sangat mendorong rasa gairah yang luar biasa.
Tanpa sengaja tanganku menyentuh pada bagian selakangannya, kelihatannya basah dan aku mencoba menyentuh bibir-bibirnya kiri kanan dan pada bagian atasnya. Gerakan tanpa sadar ini ternyata mengakibatkan erangan bu Heidy lewat mulut indahnya itu.
Lalu gerakan aku ulang kembali yang membuat dia mengerang kembali. Tanganku erat memegang bahunya, mulutku masih merasakan hangatnya bibirnya, kemudian lidahku menjulur-julur merangkak menikmati susunya kembali.
“Mulai yuk, masukkan”
“Ya Bu, terima kasih. Tapi diajari Bu, saya tidak tahu caranya” kataku
“He-eh..” katanya sambil memegang tititku.
Lalu aku menindih bu Heidy yang bertumpu pada kedua siku-sikuku, kedua telapak tanganku memegang bahunya dari bagian belakang, kemudian pinggangku beringsut, untuk mengambil posisi tepat tititku pada selakangannya. Lalu secara naluri aku tekan masuk lalu pinggulku menggoyangnya.
“Belum masuk, itu baru terjepit paha” bisiknya
“Maaf Bu. Lalu gimana nih…” Titit yang sudah maksimal kencang seperti peluru kendali itu dipegang bu Heidy,
kemudian diarahkan dan dipasangkan pada tempiknya (Mrs Vnya) di antara kedua pahanya yang dibuka, sehingga selakangannya merekah.
“Sekarang tekan tapi pelan-pelan aja” bisiknya
Aku lakukan sesuai dengan instruksi, saya tekan masuk dengan pelan tapi pasti. Pasti masuk ke lobang kewanitaan perempuan karier itu diiringi dengan desahkan lembut. Ternyata mudah. Nikmatnya luar biasa! Senjataku masuk pada Vnya bu Heidy terasa sempit.
Makanya saat perjalanan masuk itu, mata bu Heidy terjaga memandangiku serius, merasakan nikmat juga. Pada saat masuk itulah rasa perasaan dan dentuman dada seolah serentak menyatu dalam kenikmatan yang tiada tara, baru merasakan hal yang benar-benar baru dan nikmat seumur hidupku. Secara naluri saya menggerakkan pinggulku, maju mundur.
Pada setiap gerakan pinggulku selalu disambut dengan gerakan pinggul bu Heidy yang naik-turun, keluar masuk, kadang memutar, sesuai dengan ritme gerakanku. Gerakannya selalu berlawanan dengan gerakanku, bila aku memutar ke kanan dia menggerakkan berlawanan.
Bila saya sodok masuk, pinggulnya ditekan ke atas. Kedua kakinya dililitkan pada kedua kakiku, maka menyatukah kami mulai dari mulutku dengan bibirnya, kedua jemariku dan alat seks kami tentu saja yang menjadi poros dan pusat kegiatan.
Gerakannya monoton dan sederhana, tapi ternyata membawa nikmat luar biasa. Dadaku kembali bergemuruh seperti akan datang badai dahsyat, namun nyaris tak terdengar suara berisik kecuali desah mendesah di kamar berukuran empat kali lima meter tersebut.
Nafas bu Heidy terengah-engah seperti atlet yang sedang lari 100 meter saja. Dia minta berguling, alih posisi, dia di atas aku di bawah. Saat di atas itu dia gerakannya lembut tapi mempesona, meliuk-liuk, kadang duduk dan memutar pinggulnya, dan susunya bergoncang-goncang indah.
Bersambung…