Cerita Sex Mahasiswi Fakultas Hukum – Sejak berpacaran dengan Luna, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas terkemuka di Bandung, yang berbeda dua angkatan dengannya, Sandy mulai bergaul dengan teman-teman Luna.
Aktifitas Luna membawanya sering berkumpul dengan anak-anak Hukum yang seperti teman-teman baru bagi Sandy. Kenyataan ia satu-satunya anak Ekonomi saat berkumpul dengan teman-teman Luna membuatnya mudah dikenali.
Dari sering berkumpul ini pula ia mulai kenal satu persatu anak Hukum. Sikapnya yang mudah bergaul membuat ia juga diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas anak-anak Hukum.
Sebagai anak Ekonomi dan punya pengalaman organisasi lebih banyak dibanding teman-teman Luna, membuatnya sering memberikan wawasan baru bagi anak-anak Hukum angkatan Luna.
Tersange Di sini juga ia menjadi kenal Herlina, yang sama seperti teman Luna yang lain, sekedar kenal dengannya. Herlina sering ikut datang karena statusnya sebagai pacar Eka, salah satu pentolan angkatan Luna. Tidak ada perhatian khusus Sandy kepada Herlina, kecuali tentu saja, sebagai laki-laki normal, dadanya yang super.
Meski bersikap biasa kepada Herlina dan cenderung bersikap sama terhadap teman Luna yang lain, kelebihan pada tubuh Herlina kerap membuatnya tak kuasa melirik lebih dalam, terutama saat Herlina memakai baju yang memamerkan lekuk tubuhnya secara sempurna, apalagi kulit Herlina putih bersih dan mulus.
Perkenalan lebih terjadi saat Luna meminta Sandy mengantarnya ke kost Herlina karena perlu meminjam bahan kuliah. Saat itu pun Sandy masih belum sadar Herlina itu siapa, dan baru paham setelah disebutkan pacar Eka.
Meminjam buku menjadi waktu bertamu yang lebih lama setelah Sandy dan Herlina ternyata punya selera musik yang sama. Obrolan itu masih dalam batas koridor pertemanan, hanya bedanya setelah itu, Sandy jadi lebih ingat siapa Herlina, paling tidak namanya. Herlina sendiri sebetulnya bukan teman akrab Luna. Bisa dikatakan beda gank, tapi hubungan mereka baik.
Aktifitas mengantar Luna ke kampus pun kini menjadi lebih menyenangkan bagi Sandy karena ia sering bertemu Herlina. Namun, sekali lagi ini sebatas karena mereka punya selera musik yang sama.
Paling tidak, saat menunggu Luna berurusan dengan orang lain, terutama di lingkungan organisasi mahasiswa kampus, Sandy punya teman ngobrol baru yang nyambung diajak ngobrol.
Luna pun merasa beruntung Sandy mengenal Herlina karena ia jadi lebih santai mengerjakan sesuatu di kampus terutama jika ia minta Sandy menunggunya.
Sampai tiba masa-masa sibuk di organisasi mahasiwa Hukum yaitu pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Rapat-rapat sering digelar untuk merumuskan strategi kampanye.
Kasihan kepada Sandy, pada suatu hari Luna tidak minta ditunggu lagi oleh pacarnya itu, tapi ia minta dijemput lagi pukul empat sore, dua jam setelah rapat dimulai. Sandy pun memutuskan untuk menunggu di kost-an salah satu teman yang kost di dekat kampus.
Sayang, saat tiba di kost-kostan tersebut temannya sedang keluar. Tak habis akal ia menuju kost-an temannya yang lain. Namun, jalan ke kost-an temannya itu melewati kost-an Herlina.
Dari jalan, yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari deretan kamar kost tersebut. Ia melihat Herlina keluar dari kamarnya hendak menjemur handuk. Sandy melambatkan motornya dan berharap Herlina melihat. Dan, harapannya terkabul. Ia akhirnya memutuskan main di kost Herlina sembari menunggu Luna selesai rapat.
“Luna lagi rapat ya?”
Herlina membuka pembicaraan sambil sibuk menata rambutnya yang basah. Ia mempersilakan Sandy duduk di atas karpet karena di kamarnya memang tidak ada kursi. Semua perabot terletak di bawah termasuk sebidang meja kecil tempat Herlina belajar.
“Iya. Loe kok ngga ikut Lin?”
“Males. Gue tau pasti lama. Lagian sekarang kan yang rapat pentolan aja.”
“Eka di sana juga?”
“Iyalah, dia kan proyeknya. Masa’ dia ngga dateng. Ini juga gue lagi nungguin dia. Janjian ntar gue jemput jam enam, mau nonton.”
Sandy baru sadar kalau ini adalah malam Minggu dan ia belum punya rencana. Dari tadi pandangannya tidak lepas dari rambut ikal sebahu Herlina yang basah habis mandi. Ia hanya bisa menelan ludah melihat Herlina yang seksi sekali dalam kondisi seperti itu. Aroma yang cukup familiar baginya merebak dari rambut Herlina yang masih basah.
Shampo loe shampo bayi ya, Deedee kan, rasa strawbery?”
“Hahaha, kecium ya, kok tau sih?
“Yah, elo Lin, gue kan juga pake Deedee. Cemen yah?” ujar Sandy.
“Buset, orang kayak loe shamponya Deedee? Luna yang mau apa emang elo yang suka?”
“Gue udah pake shampo itu sejak SMA,”
“Hihihi…, geli gue, lucu aja, liat loe shamponya Deedee,” ledek Herlina sambil tertawa geli. Keduanya terdiam sesaat. Sampai tawa Herlina berderai lagi.
“Kok sama lagi sih. Kita emang udah jodoh ketemu kali nih. Jodoh jadi temen gitu maksud gue.”
Herlina berusaha meluruskan kalimatnya karena sadar perkataannya bisa diartikan berbeda. Keduanya memang saling nyambung awalnya karena punya selera musik yang sama.
“Mungkin kali ya…., loe bocor sih,” sahut Sandy terkekeh.
Obrolan pun terus berlanjut mengalir seperti sungai. Herlina yang cerewet selalu punya bahan pembicaraan menarik demikian pula dengan Sandy. Uniknya obrolan tersebut selalu nyambung. Di tengah ngobrol Sandy sekali-sekali melirik dua tonjolan di dada Herlina yang luar biasa ranum.
Soal cewe, selera Sandy memang yang memiliki dada besar. Ia sudah bersyukur punya Luna yang berdada lumayan berisi, namun melihat Herlina, rasanya rugi kalau diabaikan, membuat darahnya berdesir kencang.
Saat melihat dari jalan tadi, Sandy menemukan Herlina hanya memakai kimono mandi dan sedang menjemur handuk. Ia sempat diminta menunggu cukup lama oleh Herlina karena harus berpakaian dulu.
Harapannya, Herlina keluar dengan pakaian lebih tertutup, tapi yang didapati adalah Herlina hanya memakai tank top putih yang memamerkan ceplakan branya dengan jelas hingga renda-renda di dalamnya berikut celana pendek yang membuat 3/4 pahanya terbuka.
“Eh, Lin, gue mo nanya nih….” ujar Sandy.
“Apaan?”
“Tapi jawab jujur ya….”
“Apaan dulu??
“Ya ini gue mo nanya?.”
“Oke, jujur….”
“Anak-anak Hukum sebetulnya risih ngga sih gue sering ngumpul bareng mereka.” ujar Sandy.
“Angkatan gue??
“Iya.”
“Jujur kan?…Ngga, yakin gue. Eh, tapi maksudnya ngumpul karena loe nemenin Luna kan?”
“Iya.”
“Ya ngga sama sekali. Yang suka sama loe banyak kok.”
“Bener loe? Kalo cowo-cowonya gimana?
“Ngga juga. Kenapa sih? Ya kalo ada paling yang dulu naksir Luna tapi keserobot elo?hahahaha….”
“Sialan loe?, serius nih gue.”
“Gue juga serius. Bener kok, percaya deh sama gue.”
“Mereka, terutama yang cewe, malah yang gue tau pada keki sama Luna.”
“Keki kenapa? emang salah gue apa?”
“Maksudnya keki soalnya Luna dapet cowo kayak elo.”
“Emang gue kenapa?”
“Ya?loe kan sabar banget tuh mau nungguin Luna, terus gabung sama kita-kita, maen bareng?”
“Gitu ya…?”
“Iya pak Sandy. Nih ya, gue kasih bandingan: cowo gue yang dulu, itu sama sekali ngga mau gabung. Sebates nganterin gue aja. Sombong banget, kayak ngeliat apaan gitu kalo kita ngumpul. Ngga tau, pembawaan anak teknik kali ya, berasa pintar sedunia.” Herlina nyerocos tapi dari sorot matanya terlihat ia sangat serius.
“Dulu gue tuh sering nahan hati soalnya cowo gue itu diomongin terus sama temen-temen gue. Sombong lah, belagu lah. Ya mereka sih ngomongnya baik-baik, minta gue ajak dia bergabung. Tapi cowo gue ngga mau gimana. Jadi serba salah kan?”
“Anak teknik? Dani maksud loe?”
“Betul pak! Dani. Mungkin juga karena ketuaan kali ya? Tapi ngga tau ah! Nah, ketika loe masuk dan mau mencoba berbaur. Temen-temen gue, ngga cewe ngga cowo, jelas seneng. Apalagi loe bisa nyambung. Yang cowo respek sama loe, yang cewe,….hihihi, demen.”
Herlina sengaja hanya sampai kata itu. Sebetulnya ia ingin bilang ke Sandy bahwa anak-anak, cewe-cewe tentunya, banyak yang naksir Sandy.
“Demen apaan?” Sandy berusaha memaksa Herlina memperjelas omongannya sambil tergelak.
“Ya demen…ih, loe GR ya?” kata Herlina sambil menunjuk Sandy.
“GR apaan? kan gue cuman minta diperjelas,”
“Nih ya, ada satu temen gue yang bilang berharap banget loe putus sama Luna. Katanya, gue mau deh, biar bekas temen juga…tuh…”
“Yang bener loe? Siapa?”
“Ngga usah gue kasih tau. Kalo perasaan loe peka, loe pasti tau deh! Eh, bener tuh, dalem hati loe pasti seneng juga kan disenengin cewe-cewe….hahaha.”
“Sialan loe!” balas Sandy sambil terkekeh.
Tanpa sadar, Sandy mendorong paha kiri Luna. Sejak perkenalan pertama mereka saat ngumpul bersama teman-teman yang lain sepuluhan bulan yang lalu. Baru kali ini mereka benar-benar saling bersentuhan secara fisik.
Meski sebuah sentuhan tanpa maksud apa-apa, tak kurang Herlina tertegun sejenak. Syaraf sensorik di pahanya seperti mengalirkan sesuatu yang menbuatnya berdesir. Hampir tidak ada yang tahu, bagian yang didorong dan disentuh Sandy justru bagian paling sensitif pada Herlina, bagian yang mampu mengalirkan perasaan erotik dalam diri cewe berumur 20 tahun itu.
Herlina berusaha tidak memandang mata Sandy, tapi ia tak kuasa menahannya. Rangkaian kejadian yang hanya berlangsung sekitar satu detik itu seperti membuat tubuhnya mengalirkan darah demikian cepat.
“Eh, Lin, sorry ya kalo terlalu keras. Ngga sakit kan?”
Kali ini Herlina malah berharap Sandy kembali menyentuhnya. Desiran akibat sentuhan tak sengaja tadi benar-benar membuatnya merasakan sensasi yang selama ini belum pernah ia rasakan. Tapi, ia berusaha mengendalikan diri. Pahanya yang merinding tersentuh tangan Sandy berusaha ia tutupi.
“Ngga kok Ndy, ngga papa, cuma kaget.”
“Aduh, gue jadi ngga enak. Bukan maksud gue mau lancang ke loe kok, Lin reflek aja.”
“Iya gue tau,” Herlina berusaha menahan agar mulutnya tidak mengatakan bahwa bagian yang Sandy sentuh adalah daerah paling sensitif dari tubuhnya.
Sandy benar-benar jadi tidak enak dan salah tingkah. Herlina bukan tidak menyadari hal tersebut. Ia kini paham, Sandy memang bukan tipe cowo yang suka merayu perempuan, bukan cowo yang suka pegang-pegang perempuan sembarangan.
Memang tidak salah teman-teman di kampusnya banyak yang suka pada Sandy. Sikapnya gentleman banget, sama sekali tidak terlihat dibuat-buat. Dan, kenyataannya Sandy memang benar-benar menyesal telah berlaku kasar, menurut ukurannya, kepada seorang perempuan. Ia adalah laki-laki yang paling tidak bisa berbuat kasar pada perempuan.
“Gue juga termasuk yang dongkol sama Luna, kenapa gue justru nyambung sama cowo-nya…hahaha,” Herlina berusaha mencairkan suasana dengan melontarkan joke yang sejujurnya ngga lucu.
Sandy pun tertawa meski masih agak dipaksa. Ia benar-benar merasa bersalah karena tanpa terkontrol menyentuh paha Herlina terlalu dalam. Maksudnya hanya pengakuan ‘kekalahan’ karena didesak soal banyak perempuan yang menyenanginya.
Sejujurnya ia juga suka Herlina karena ia anggap perempuan yang suka bicara tanpa basa basi, apalagi dengan orang yang ia rasa bisa membuatnya nyaman. Sikapnya itu membuat Sandy merasa lebih dekat dengannya, meski dengan dasar suka sebagai teman.
Dari sisi laki-laki, Sandy juga terkesiap dengan sentuhannya itu. Ia jadi menyadari Herlina memiliki tubuh yang kencang dengan kulit yang halus. Benar-benar membuat kelaki-lakiannya bangkit. Ingin rasanya berbuat lebih dari itu.
Tapi ia tidak tahu harus bagaimana. Ia juga sadar, situasi seperti ini sudah cukup sebagai tanda bahaya bagi dua insan berlainan jenis yang berada dalam satu ruangan. Hanya ia juga tak kuasa dan tak mengerti bagaimana menghentikannya.
Langsung pergi, jelas akan membuat Herlina marah, ia bisa menangkap bahwa Herlina tidak menginginkan itu. Masih diliputi perasaan tak menentu dan membuatnya tertegun seperti patung, Sandy terkejut ketika Herlina sudah menjulurkan tangan dan meraih tangannya.
Tapak tangannya digenggam kedua tangan Herlina dan diarahkan ke bibirnya. Dalam keadaan terbuka, Herlina menciumi perlahan-lahan permukaan telapak tangan kanannya. Sandy benar-benar tegang bercampur kaget.
Ia tahu itu sudah lebih dari sekedar pertanda Herlina menginginkan sesuatu, lebih dari sekedar sentuhan tanpa sengaja. Herlina pun bukan tanpa maksud seperti itu.
Ia sadar antara dirinya dan Sandy baru benar-benar kenal beberapa bulan belakangan. Tapi, akal sehatnya tak kuasa menahan keinginannya untuk disentuh lebih dalam oleh Sandy.
Sandy benar-benar bimbang. Ia tahu, Herlina sudah membuka gerbang dan kini dialah yang harus memainkan bola. Semua ada di tangannya.
Di antara bimbang untuk meneruskan, yang artinya ia dan Herlina sudah melanggar komitmen pada pasangan masing-masing, atau menghentikan, yang artinya ia bisa kehilangan kesempatan merasakan sesuatu yang selama ini sering membuat badannya bergetar dan hanya ia lampiaskan pada Luna.
Tangannya seperti bergerak sendiri membelai pipi kiri Herlina. Jantung Sandy berdegup kencang, bukan lagi takut Herlina akan menolak, tapi sadar ia telah membuat sebuah pilihan penuh resiko tapi pasti sangat menyenangkan.
Herlina tersenyum. Merasakan belaian lembut jemari Sandy di pipinya. Sandy pun bergerak menyisir leher dan tengkuk Herlina. Sampai di punggung, tangan kirinya ikut merangkul Herlina dan seketika keduanya sudah berpelukan.
Herlina membenamkan seluruh tubuhnya ke Sandy. Pelukannya bahkan lebih kuat dari Sandy dan pantatnya ia geser mendekat. Keduanya masih duduk di lantai beralaskan sebuah karpet tebal berwarna merah. Sandy mengangkat wajah Herlina perlahan.
Ia bisa melihat Herlina tersenyum bahagia merasakan kehangatan tersebut. Sandy sadar, ia melakukannya bukan untuk mengejar perasaan Herlina, tapi lebih pada nafsu. Nalurinya sebagai laki-laki berkata bahwa ini adalah kesempatan merasakan nikmatnya tubuh seksi Herlina yang selama ini sudah ia kagumi.
Dalam hati ia terus membatin untuk tidak tanggung-tanggung dan ragu. Ia bertekad menunjukkan pada Herlina bahwa ia memang laki-laki sejati. Sambil mulai menjilati daun telinga Herlina, Sandy berusaha membisikkan kata-kata rayuan ke telinga Herlina.
Glek! Mulutnya justru seperti terkunci. Semuanya sangat sulit untuk dikatakan. Balasan Herlina hanya sebuah erangan manja berikut usapan halus disekujur punggung Sandy.
Tanpa ragu ia mendekatkan bibirnya yang merekah menyentuh bibir Sandy. Halus, lembut dan perlahan penuh perasaan, keduanya saling mengulum bibir lawannya. Berpagutan dan saling bertukar lidah membuat suasana semakin hangat.
“Ndy…,” Herlina berusaha mengontrol dirinya. Ia ingin terus merasakan belaian laki-laki yang dikaguminya itu.
Sandy tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia paham ini adalah titik kebimbangan Herlina. Memaksa Herlina menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya sama saja berpeluang menghentikan semuanya.
Ia terus mencium Herlina penuh kehangatan. Tangannya mulai menggerayangi sisi kiri tubuh Herlina dan berbalik ke atas menuju sebuah bongkah daging keinginan setiap laki-laki. Ia mulai dengan meraba permukaannya halus dan meremasnya pelan.
Persis seperti yang ia lakukan pada Wita, sahabatnya, beberapa tahun silam. Perbuatan berdasarkan naluri yang membuat ia dan Wita hampir mengakhiri persahabatan erat yang mereka bangun sejak masuk kuliah, runtuh hanya bersisa nafsu.
Sandy seperti merasakan kembali sensasi itu. Sensasi bercumbu dengan perempuan yang rela menyerahkan tubuhnya secara total pada dirinya. Sesuatu yang justru tidak ia rasakan saat melakukannya pertama kali dengan Luna.
Status berpacaran membuat mereka mudah melakukan apapun seperti ciuman, pelukan, bahkan rabaan. Andai dulu ia mengabaikan pertanyaan Wita apakah mereka benar melakukan hal tersebut, ia dan Wita saat ini pasti sudah tak ubahnya dua insan yang saling mengejar nafsu.
Tidak ada lagi keindahan persahabatan dan keagungan sebuah kedekatan yang tidak dilandasi nafsu, murni sebuah kasih sayang dua manusia yang saling membutuhkan.
Tapi dulu tindakannya tepat. Karena, ia dan Wita lebih membutuhkan hubungan tanpa berlandaskan nafsu birahi. Walaupun akhirnya ia dan Wita menghentikan semuanya sebelum keduanya bersatu dalam sebuah persetubuhan, perlu waktu berbulan-bulan untuk membangun kembali landasan yang telah mereka hancurkan sendiri.
Kini, terhadap Herlina, semuanya berbeda. Tidak ada halangan untuk melakukannya saat ini. Benar atau salah, itu soal nanti, karena saat ini nafsulah yang melandasi hubungan dirinya dengan Herlina. Herlina bukan teman dekatnya.
Bersambung…