Istri Muda Seorang Pengusaha – Ini adalah kisahku yang lain dengan tetanggaku di kampung. Awalnya waktu SMA aku sedang memanjat pohon sawo di belakang rumahku untuk mengambil buahnya. Secara tak sengaja mataku tertuju ke sebuah sumur tetangga yang tinggi dinding penutup kelilingnya hanya sebatas dada orang dewasa.
Kulihat seorang wanita sedang membuka baju untuk mandi di sana. Tubuhnya kelihatan putih dan montok. Setelah kuperhatikan dengan cermat ternyata wanita itu adalah Bu Ayra, tetangga selang tiga rumah sebelah barat dari rumahku. Bu Ayra adalah istri muda dari seorang pengusaha angkutan.
Ia membuka toko kelontong di rumahnya. Aku mencari posisi yang lebih enak untuk mengintipnya. Kerimbunan daun sawo cukup membantuku agar tidak kelihatan dari arahnya mandi. Sambil mengintip akupun berkhayal bersetubuh dengannya. Dari tempatku mengintip dadanya yang putih dan montok kelihatan jelas sekali.
Begitulah kalau aku tidak ada kegiatan di sore hari maka aku akan memanjat pohon sawo di belakang rumah dan menungguBu Ayra mandi. Bu Ayra ini orangnya ramah dan supel (nantinya baru aku tahu kalau dia memang benar-benar supel alias suka peler). Kadang kalau aku duduk-duduk di depan tokonya ia menyapaku duluan. Asalnya sebenarnya dari pelosok, namun tidak kelihatan kampungan. Kukira nama sebenarnya Ayrah.
Tersange Setelah kawin dengan Pak Yos dipanggil Bu Ayra. Umurnya waktu itu kurang lebih tiga puluh tahun. Badannya sedikit gemuk tapi kulitnya kelihatan kencang. Ia paling sering pakai kain dan kebaya. Kalau sudah pakai kain dan kebaya, pantatnya yang besar kelihatan menantang dan bergoyang-goyang kalau sedang berjalan.
Belahan buah dadanya terlihat sangat menggiurkan dan mengundang lirikan mata laki-laki. Sampai ketika aku kuliah dan sedang liburan semester di kampung. Malamnya sekitar jam sembilan malam aku singgah ke toko Bu Ayrauntuk membeli sesuatu. “Eh Mas Tommy.
Kapan datangnya dan libur berapa hari? Oleh-olehnya mana?” ia memberondongku dengan sejumlah pertanyaan. Tangannyadiulurkan dan tentu saja kusambut dengan hangat. “Tadi siang, dua minggu, pakaian kotor. Ibu mau?” jawabku taktis dan efisien menjawab semua pertanyaannya.
“Ihh.. Masa sih pacarnya kok cuma dibawain pakaian kotor,” katanya menggodaku. Dadaku berdesir. Pacarnya?
“Beli apa Mas?” “Enngghh, beli sabun dan shampoo”. “Lho belum mandi toh?” “Sudah, untuk besok pagi”.
“Lho baru datang tadi, besok pagi kok sudah mandi basah,” godanya makin berani. “Ya, siapa tahu nanti malam mimpi basah, jadi paginya mandi basah,” kataku. Kepalang basah kubalas godaannya tadi. Pokoknya basah.. Sah.. Sah.
Bu Ayra masuk ke dalam tokonya. Pantatnya masih saja kelihatan besar dan padat di balik dasternya. Aku mengikutinya, sambil melihat-lihat barangkali ada barang lain yang tiba-tiba teringat untuk kubeli. “Ini sabun dan ini shampoonya.
Eh nanti malam mimpi basah sama saya saja ya!” katanya berbisik sambil tersenyum. Kalau begini caranya nanti malam aku bisa benar-benar mimpi basah. Aku hanya diam saja dan menerima sabun dan shampoo tadi. Ketika memberikan belanjaanku ia seolah-olah memalingkan mukanya ke arah TV dan seperti tanpa sengaja telapak tangannya mengusap lenganku.
“Eh maaf Mas. Habisnya acara di TV bikin penasaran saja”. “Berapa Bu semuanya?” tanyaku sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan. “Ah, nggak usah Mas. Lagian uangnya besar begini nggak ada kembaliannya”. Ia menolak uangku. Aku jadi tidak enak. “Ya sudah Bu, saya utang dulu. Besok saja sekalian saya bayar” kataku.
“Bayar pakai yang lain saja gimana Mas?” Aku garuk-garuk kepala kebingungan sambil meninggalkan tokonya. Karena masih lelah aku segera tertidur dan bangun agak kesiangan. Adik kecilku berdiri tegak, pertanda metabolisme dan kondisi tubuh masih fit.
Setelah menyelesaikan ritual pagi hari, 3M, mandi, modol dan makan, aku berniat untuk jalan-jalan ke tempat Tina teman masa SD-ku (Aku Oase Para Wanita Bersuami 5: Tina). Kali-kali aja aku dapat jatah untuk sekedar kissing, necking dan petting.
Tapi tiba-tiba aku ingat dari informasi yang kudapat tadi malam Tina sedang ke luar kota. Akhirnya kuputuskan untuk jalan-jalan ke pasar saja. Sampai di pasar aku berputar-putar di los pakaian. Aku terkejut ketika tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang.
“Cari apa Mas Tommy?” Aku menoleh ke belakang dan ternyata Bu Ayra yang ada di belakangku. Ia mengenakan blouse putih tipis dengan celana panjang warna biru. BH-nya yang juga berwarna biru membayang di balik baju tipisnya. “Ibu bikin kaget saja.
Tadinya pengen beli tas tapi nggak ada yang cocok. Maksudnya nggak ada yang cocok harganya, kalau modelnya sih banyak yang cocok,” kataku. “Oh gitu. Gimana kalau kita jalan-jalan ke Malioboro atau Shoping Centre kali-kali aja ada yang cocok.
Kebetulan aku juga lagi cari kain batik untuk Bapaknya. Ayolah mumpung masih pagi,” katanya sambil menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya. Dua jam kemudian kami tiba di Jalan Malioboro. Kami masuk ke sebuah toko dan melihat-lihat tas pakaian. Harganya memang murah dan modelnya bagus.
Cuma aku memang tadinya juga cuma mau lihat-lihat saja, belum mau beli. Ketika masuk ke dalam toko kain, Bu Ayra menggandeng lenganku dengan mesra. Aku jadi agak jengah juga. Akhirnya Bu Ayra membeli dua potong kain batik. Satu untuk suaminya dan satu lagi untukku.
Setelah itu kami makan. Selesai makan aku sudah bersiap untuk pulang, tapi Bu Ayra masih saja duduk di kursinya. Ia menatapku sambil tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong tadi pagi jadi keramas nih?” ia mulai menggodaku lagi. “Iya,” jawabku singkat.
“Kalau.. Mmhh siang-siang gini keramas lagi mau nggak?” tanyanya sambil memegang telapak tanganku. “Kalau tadi malam kamu mimpi basah, sekarang ngerasain yang sebenarnya mau nggak?” sambungnya. Aku hampir terjatuh dari kursiku.
Sebenarnya tentu saja inilah yang kuharapkan, tapi untuk membuatnya penasaran aku hanya berdiam saja. “Ayolah!” rayunya. Akhirnya aku berdiri dan berjalan keluar dari restoran. Bu Ayra memegang tanganku dan menarikku berjalan ke arah sebuah becak yang sedang mangkal.
“Pasar Kembang, Pak!” katanya pada tukang becak. “Kenapa nggak ke Kaliurang saja,” protesku. “Kejauhan, waktu kita sedikit,” jawabnya pasti. Sampai di depan sebuah hotel yang cukup bagus di dekat pintu belakang Stasiun Tugu ia memberi kode kepada tukang becak untuk menepi.
Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis kami masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang lumayan bagus dengan sebuah ranjang besar yang empuk. Lantainya dilapis dengan permadani yang agak tebal. Begitu pintu kamar tertutup, Bu Ayra langsung memelukku.
Bu Ayra menyapukan bibirnya ke bibirku dengan lembut. Aku belum membalasnya. Ia kemudian mengulangi dan melumat bibirku. Terasa lembut dan nikmat sekali bibirnya. Lama kelamaan ciumanku berubah menjadi lumatan ganas. Lidahnya mendorong lidahku dan menyelusuri langit-langit mulutku.
Aku membalasnya, kudorong lidahnya, dia menyedot lidahku. Rupanya Bu Ayra sangat lihai dalam berciuman. Kadang kepalanya dimiringkan sehingga mulut kami bisa saling menyedot. Suara kecipak perpaduan bibir kami mulai terdengar. “Lepas bajunya dulu, To!” ia menyuruhku.
Kulepas baju, celana panjang dan sekaligus celana dalamku dalam sekali gerakan. Dadaku yang bidang dan berbulu lebat membuatnya berdecak kagum. Kejantananku langsung mencuat keluar dan perlahan-lahan terancung dalam kondisi lurus, bahkan sedikit mengacung ke atas.
Kepala penisku kelihatan kemerahan dan mengkilat karena dari lubangnya sudah mulai keluar cairan bening agak kental dan lengket.Diusapnya lubang kejantananku dengan ibu jarinya dan diratakannya cairan bening yang keluar tadi di atas kepalanya sehingga kini semakin mengkilat.
Diusap-usapnya kepala penisku sampai membesar maksimal. Bu Ayra melepaskan pelukannya. Dengan gerakan pelan dan gemulai ia melepas blus, celana panjang dan akhirnya celana dalamnya. Tangannya membuka kancing bra-nya dan sebentar ia sudah dalam keadaan bugil.
Tubuhnya yang montok dengan sedikit lemak di bagian perutnya. Gunung kembarnya dengan puncaknya yang kemerahan yang menggantung bebas. Kini kami berdua sama-sama dalam keadaan polostanpa selembar benang pun. Selang beberapa menit kemudian Bu Ayra berkata di telingaku dengan lirih..
“Kita ke ranjang.. Sa.. Yang..”. Aku langsung menyergapnya dan mengulum bibirnya, dan dia membalasnya dengan sangat liar, kemudian aku merasa penisku semakin tegak dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku berbaring di ranjang dan Bu Ayra merangkak di atasku.
Dadanya disodorkan ke mulutkudan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. Tangan dan mulutnya menarik-narik bulu dadaku dengan lembut. Sekali waktu dia menarik dengan keras. Aku terpekik.. “Ouuw.. Sakit Bu..”. “Aku gemas melihat dadamu”.
Dia terus memintaku meremas-remas payudaranya dan menghisap putingnya secara bergantian. Lalu dia mulai menjilati tubuhku dari mulai leher perlahan-lahan turun kebawah dan berhenti disekitar paha. Dia juga menjilati biji zakarku. “Agh.. Ugh.. Ouhh.. Enak Bu.. Ugh..!!” desahku.
Bu Ayra menggigit pahaku di bagian dalam dekat pangkal paha seolah-olah mengingatkan ini bukanlah sekedar mimpi basah tetapi kenyataan yang benar-benar sedang terjadi. Bu Ayra terus melanjutkan aksinya, kini dia jongkok di atas pahaku. Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar.
Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya, kemudian ia menurunkan pantatnya. Kepalaku sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa vaginanya berair. Dengan pelan pantatnya bergerak turun sambil memutar-mutar. Kejantananku terasa ngilu dibuatnya.
“Ibu masukin ya. Ayo To..!! Angkat ke atas..,.. Tunggu sebentar!” ia memberi komando. Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal pantatku dan kemudian pantatnya semakin turun. Dan dengan perlahan penisku masuk ke dalam sebuah lorong hangat.
Aku merasakan penisku dihimpit oleh benda hangat, basah dan berdenyut, sebuah sensasi kenikmatan yang sangat luar biasa. “Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali, To!!” rintihnya terbata bata. Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya.
Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, dan Bu Ayra menjerit. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat.
“Ouchh.. Agh.. Ugh.. Oo.. Yes..!!” desisnya terdengar berulang-ulang. Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya..
“Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouw..!!” Memang kurasakan jepitan vaginanya semakin keras dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, Bu Ayra terus mempercepat gerakannya dan aku mulai merasakan sesuatu akan terjadi pada tubuhku..
“Aku.. Bu.. Aku,” aku memberontak. “Ouhh To.. Aku juga..”. Kami tahu kalau sebentar lagi akan mencapai puncak. Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari kemaluanku. Bu Ayra pun menekankan pantat sekerasnya ke arahku sehingga tulang pubisnya menekan biji penisku sampai sakit. Kurasakan semprotannya sangat kuat dan banyak sampai sebagian keluar dari vaginanya.
Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Napasku mulai normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Bu Ayra masih berada di dadaku, matanya masih terpejam.
Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi. Kupeluk dia dan kucium belakang telinganya dengan lembut. Ia menggerinjal. Kuremas dadanya dengan lembut. “Sudahlah To, aku mau istirahat dulu sebentar. Kecuali kalau kau..” Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibir indahnya.
“Hmm.. Kudaku rupanya mengajak berpacu lagi..”. Kami berciuman lagi, semakin lama kembali semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh ke lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi.
Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibir Bu Ayra itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit bibirnya dan kumainkan lidahku di atas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah menguasai kami berdua. Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini leher jenjang Bu Ayra menjadi sasaran berikutnya.
Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kugigit lehernya itu, kalau tidak diingatkan oleh Bu Ayra. “Jangan To.. Nanti kelihatan orang”, bisiknya. Kupandangi tubuh indah itu sesaat. Lidahku tahu-tahu sudah memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu.
Pelan-pelan kaki kanannya ku angkat dan kuletakkan di atas perutku. Dalam posisi telentang berdampingan jari kiriku memainkan bulu-bulu halus di sekitar vaginanya, kemudian merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Bu Ayra melenguh-lenguh tanda terangsang.
“Ahh.. Ouuhgh.. Sedaap.. Sshh.. Nikkmaatt.. Terusskan..”. Kakinya kuturunkan dan dengan penuh nafsu serangan kuteruskan. Lidahku sudah berada di lipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Kudekatkan hidungku ke sela pahanya. Sekilas tercium bau segar yang khas.
Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali memainkan daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil.
Bu Ayra bergetar keras dan mulai meracau. “Hmm.. Sshh.. Ngghh.. Akhh. Aku juga mau To, berputar.. Berputar”. Tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya ke arah mukanya. Kuikuti saja kemauannya.
Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada di atas mulutnya dan sebaliknya sambil kamiterus melakukan stimulasi di sekitar paha. Ia langsung melahap penisku sampai habis. Diisap-isap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas.
Gantian aku yang menggelinjang hebat. “Mmhh.. Srup.. Srup..”. Penisku dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Kami berguling ke samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada di bawah.
Rupanya dengan posisi demikian ia lebih mudah menikmati penisku. Akupun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Kami saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Bu Ayra menggelinjang penuh kenikmatanketika kujilat dan kugigit klitorisnya.
Tetapi sebaliknya Bu Ayrapun semakin gencar menyerang penisku dengan tak kalah hebatnya. Kami tetap dalam posisi ini sampai beberapa menit. Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk di tepi ranjang. Ditariknya tanganku.
Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku sehingga kami jatuh ke karpet di lantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan dengan gencar menciumiku, sampai aku kesulitan mengambil napas. Suara dari ciuman mulut kami semakin keras.
Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan berusaha mengangkatnya kembali ke ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih.. “Jangan To.. Tidak usah. Kita coba variasi lain.. Di bawah.. Di karpet saja”.
Aku tidak jadi mengangkatnya dan kembali kurebahkan di atas karpet yang lembut dan empuk. Kutindih tubuhnya dan ia mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar. Kucoba untuk menerobos lubang guanya, meleset, kucoba lagi dan meleset. Kepala penisku sudah masuk dan menyentuh bibir vaginanya.
Bu Ayra merintih rintih minta agar aku segera memasukkan penisku. “Masukkan.. To.. Masukin sekarang!”. Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan ke vaginanya yang merekah.
Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk ke bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan pantatku dengan kedua tangannya. “Dorong To.. Tommy dorong kuat-kuat,” desahnya. Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas di dalam liang guanya.
Ia berteriak agak kuat, kututup dengan tanganku. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan ke kiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan. “Naikkan sedikit lebih ke atas dan turunkan lagi,” desisnya.
Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah.
Ia sudah tidak pedulilagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh di luar baju, kelihatan orang nantinya. Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil.
Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku di payudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada di lehernya maka tanganku meremas payudaranya.
Ia mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat. Kutambah kecepatan permainanku karena akupun merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku.
Kugoyang, kugenjot dan kugoyang terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Akhirnya kusemburkan spermaku ke dalam vagina Bu Ayra dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya.
“Ouhh Bu Ayra.. Oouhh!!” “To.. Tommy.. Tahan sebentar..” Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut. “Sekarang To.. Sekarang ayo tusukkhh!!” Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan sepersekian detik Bu Ayrapun kemudian mendapatkan orgasmenya.
Bersambung…