Cerita Sex Ibu Mau Melakukan Apa Saja Denganku – Hari ini adalah hari graduasi. Lautan manusia berpakaian toga merah hitam memenuhi balai Samdura. Kulihat wajah teman-teman dan semua orang yang hadir disini tampak ceria. Senyum mereka merekah Yah siapa juga yang tak senang setelah disiksa dengan skripsi dan ujian.
Namaku Joni. Aku lulus dengan cumlaud. IP ku sempurna sempurna. Selain itu aku telah mengukir segudang prestasi yang mengharumkan nama universitasku. Itulah mengapa saat ini aku berdiri di podium, menyampaikan pidato.
Saat aku berada di atas panggung kulihat ibuku yang berjilbab duduk di kursi bagian paling depan. Kursi VIP. Jilbab biru muda menutupi kepalanya. Kulihat wajahnya yang menua, tersenyum bangga padaku. Matanya tampak berkaca-kaca terkena lampu di hall ini. Aku tidak akan berdiri disini sekarang, bila tanpa dukungan dan pengorbanannya. Pengorbanannya sungguh banyak.
Waktu aku berumur 10 tahun, aku didiagnosa suatu penyakit langka. Hanya 1 dari 100.000.000 orang di dunia yang menderita ini. Bisa kamu bayangkan betapa sialnya aku.
Dokter mengatakan, bahwa sebenarnya obatnya hanya ada satu. Endorphin. Cairan kimia di otak yang akan membantu sinyal listrik antar neuron kembali berjalan lancar. Jika aliran listrik berjalan mulus, maka di saat itu pula segalanya serba menjadi jernih.
Namun hanya ada satu caranya agar otakku dapat menghasilkan cairan ini, yaitu orgasme.
Ini menjadi masalah tersendiri agamaku melarang masturbasi. Dan aku belum cukup umur untuk menikah. Aku baru 10 tahun.
Namun dalam situasi mendesak ini mau tak mau orang tuaku mengizinkan aku untuk mastrubasi. Meskipun awalny aku tak tahu apa itui.
Dokter memberikanku informasi tentang organ-organ reproduksi manusia. Kemudian setelah itu ia tunjukkan cara praktiknya.
Anehnya aku tidak bisa ejakulasi, seperti yang diterangkan. Jangankan crot, tegang saja tidak.
Dokter menyarankan agar aku mencobanya lagi di rumah, tapi dengan diberi bantuan. Raut wajah kedua orang tuaku tampak tidak enak, mendengar kata “bantuan.” Sebab itu berarti aku akan melihat benda-benda terlarang seprti majalah porno dan video bokep.
Akan tetapi meskipun akhirnya mereka memberika “bantuan” itu, tetap saja aku tida bisa crot.
Pasrah, kedua orang tuaku menyewa seorang gadis untuk membantu kebutuhanku. Penisku dipegang-pegang, dikocok-kocok, dicium, diurut, ditaruh di dadanya, digesek-gesek ke bibir lubangnya.Tapi yah..tetap tidak bisa juga crot.
Ibuku sampai menangis melihat kondisiku. Kapasitas otakku semakin menurun. Aku seperti anak-anak yang mengalami gangguan IQ.
Ibu menangis di pangkuanku. Ia sesegukan. Saat tangannya yang berpangku di kakiku tak sengaja menyentuh barangku. Ternyata batangku bereaksi. Ia mengeras.
Aku sudah antara sadar dan tidak sadar, karena otakku sedang dalam kondisi yang tidak baik.
Melihat penisku mengeras oleh sentuhannya. Ibu refleks memegang penisku dari luar celana. Yang kuingat waktu itu hanyalah betapa nikmatnya sentuhan itu.
“Ahh….”
Sentuhan itu berubah menjadi remasan-remasan.
Aku terpejam. Pikiranku hanya bisa berkonsentrasi kepada kenikmatan yang kurasakan di batangku.
Lama-lama ada sesuatu yang semakin mendesak ingin keluar di batangku. Sulit kebendung. Seiring setiap remasan ibu, semakin desakan menggedor-gedor pangkal penisku.
Tiba-tiba saja aku terkencing-kencing. Aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi pelerku di dalam celanaku.
Dalam hitungan detik, pikiranku kembali jernih.
Aku melihat ibu dengan mata yang basah menatapku bahagia.
“Joni, kamu sudah bisa berpikir nak?”
Ia mengelus kepalaku, sambil tangannya terus menekan dan mengusap-usap batangku. Seolah ia takut kalau ia berhenti, aku akan kembali sakit lagi.
Mukaku memerah, saat melihat tangan ibu berada daerah selangkanganku.
“Bu…Joni malu…”
Ibu terdiam sejenak.
“Gak usah malu, nak, ini demi kesembuhanmu. Mau ejakulasi lagi? Enak rasanya?”
Aku mengangguk.
Ibu terus meremas-remas batangku dari luar celana. Rasa nikmat itu kembali lagi.
“Pak, Joni sembuh, pak,” panggil ibu.
“Kok bisa?” terdengar suara bapak bertanya dari kejauhan, sebelum akhirnya ia masuk ke kamar.
Saat ia melihat ibu yang meremas-remas daerah kemaluanku. Warna mukanya berubah. Seyumannya seketika itu juga memudar. Lalu ia melangkah keluar lagi.
Alis ibu mengernyit melihat sikap bapak. ia tampak berpkir. Kemudian ia menatapku.
“Sudah, Joni nikmatin aja remasan ibu, orgasme lagih yah. Keluarin aja semuanya.”
Kupegang lengan ibu dan kuusap-usap telapak tangannya yang memasturbasiku.
“Enak, bu….Joni mau keluar lagi sebentar lagi…”
“Iyah…Keluarin nak…”
Kulebarkan kedua pahakan sambil terus memperhatikan tangannya yang meremas-remas bagian ujung kemaluanku.
“Oh bu….,” lenguhku. “Pengen keluarin di tangan ibu…”
Tiba-tiba saja aku berkata seperti demikian. Mungkin insting.
Kedua pipi ibu berubah memerah.
“Di…di… tangan ibu…?”
Aku mengangguk.
Agak lama ibu terdiam. Seblum akhirnya ia menarik celanaku dan mengeluarkan batangku. Uuh…rasanya tidak bisa terlukiskan saat kulitku bertemu kulitnya.
Ibu pun mengurut penisku naik turun.
“Aah..ahh…aaahh…,” lenguhku sambil mengadah.
“Bu…mau keluaarr…”
Tangan ibu yang lain buru-buru menangkup dan diposisikan di ujung penisku.
“Keluaar!!” aku menjerit merasakan ejakulasi kedua dalam seumur hidupku.
Crot crot crot crot.
Cairan putih yang kental membasahi telapak tangan ibuku.
Pikiranku pun langsung semakin bertambah jernih.
“Bu..aku sembuuuh.”
Aku langsung memeluknya. Lupa bahwa batangku yang masih di luar celana dan basah. Akibatnya gamisnya jadi sedikit ternoda oleh sisa-sisa sperma di penisku.
Saat kami konsultasikan ke dokter. Dokter bilang, yah tak ada jalan lain, ibu yang harus membantuku.
Dokter menerangkan, bahwa kesembuhanku itu hanya sementara. Kondisiku akan kembali menurun. Dengan kata lain, aku harus terus-menerus ditreatment agar otakku dapat terus seperti sedia kala.
Karena rasa sayangnya kepadaku, ia bersedia melakukannya. Tapi tidak dengan ayah. Ia menentang keras hal ini. Apalagi ayah adalah orang yang taat agama.
Tapi ibu juga tak kalah kerasnya. Ia katakan ini terpaksa, tidak ada jalan lain untukku, kalau bukan dia yang melakukannya.
Di rumah pertengkaran hebat pun terjadi. Ibu saat itu sampai ditalak 2 kali. Mendengar kata-kata cerai, ibu emosi.
“Ceraikan aku! Aku tak peduli, aku akan selamatkan anak kita!”
Ibu masuk ke kamarku dan memelukku. Ia menciumi kepalaku.
“Tenang nak, ibu akan obati kamu…”
Lalu ibu mulai meremas-remas lagi batangku dari luar celanaku.
Ayah yang melihat kejadian itu, langsung kalap. Akhirnya terlontarlah kata cerai terakhir. Tapi ibu tak menggubrisnya. Meskipun kulihat ia menitikkan air mata.
“Gubrak!” Kudengar pintu depan di banting keras dan gerbang depan yang terbuat dari tembaga dibuka dengan kasar. Tanda ayah telah pergi meninggalkan rumah ini.
Lama-lama air mata ibu makin deras.
Aku tahu betapa ibu sangat mencintai ayah. Hatiku pun patah berkeping. Aku merasa bersalah. Aku yang menyebabkan mereka berdua berpisah.
Kutarik tangan ibu dari selangkanganku.
“Joni gak mau kalian berpisah….JOni gak mau kehilangan ayah…”
Ibu hanya memelukku dan membelai rambutku. Kudengar isak tangisnya di telingaku.
“Sudahlah Joni…ini demi kesembuhanmu. Kamu jangan berpirkir terlalu jauh.
Ibu kemudian menidurkanku posisiku di ranjang. Ditariknya lepas celana pendekku beserta celana dalamku.
Batagnku kembali dikocok-kocoknya sambil buah zakarku dimainkan.
Kugigit bibirku menahan rasa urutan tangan ibu. Kugoyang-goyangkan pinggulku, mengikuti irama tangannya. Ia terlihat begitu telaten memasturbasi diriku. Kalau kau punya istri…aku ingin seperti ibuku.
Saat aku merasa mau sampai ke penghujung. Aku berdiri.
“Mau kemana nak?” tanya ibu.
“Gak kemana-mana,” jawabku sambil berdiri di tempat tidur dan berpegangan pada kedua pundaknya dari depan. “Terus bu, kocoknya…”
“Nanti keluarnya kemana-mana, nak…”
Baru ibu selesai bicara, batangku memuncratkan lahar putih ke jilbab daerah dada dan rok gamisnya.
Lemas. Aku jatuh memeluk ibu.
Ibu bertanya berbisik di telingaku…,”Kamu sengaja mau muncrat di baju ibu ya?”
Aku takut ibu marah. Aku jawab terbata, “I..iya….”
Ibu hanya mencium pipiku.
“Sini ibu bersihin batagnya, pakai gamis ibu…”
Kurasakan batangku dibalut kain dan dilap.
Sejak ihari tu, setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah, ibu pasti menyempatkan untuk memasturbasiku. Entah saat membangunkanku, atau saat lagi makan pagi.
Memang berkat itu, aku selalu dapat mengingat dan mengerti pelajaran dengan sangat mudah. Aku pun menjadi murid berprestasi.
Otakku paling encer kala pagi menjelang siang. Saat sudah semakin sore, segalanya berubah. Segalanya menjadi kabur lagi.
Makanya kalau ibu jemput aku pake mobil. Ibu suruh aku lepas celana. Setelah itu sambil nyetir ibu akan ngocokin batangku.
Pada malam hari, aku jadi bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan sangat baik.
Rangking 1 sudah menjadi makanan setiap naik kelas. Semua orang memuji kepandaianku.
Akan tetapi mungkin karena terlalu sering dikocok, saat aku sudah duduk di SMP kocokan ibu makin tak berefek. Penisku tak mau bangun seperti sedia kala.
Ibu tampak khawatir.
“Aduh bagaimana ini…kok makin gak bisa bangun…?”
Aku juga bingung.
“Apa yang bisa bikin kamu terangsang, nak?”
Tiba-tiba berkelebat bayangan di kepalaku, yang membuat batangku bergerak naik sesaat.
“Lho tadi sempet ngeras…kamu apain?”
Aku tertunduk…
“Joni…jawab…tadi kamu apain?”
Aku diam membisu.
“Joni! jangan buat ibu khawatir nak..”
Kutatap mata ibu, lalu kuraih tangannya. Kugenggamkan jemarinya di batangku yang masih mengecil.
“Ibu mau bantu Joni kan….?
Kutarik kain rok gamisnya perlahan ke atas.
Ibu terdiam melihat apa yang sedang kulakukan.
Jantungku pun berdetak kencang.
Bak panggung pertunjukkan, layarnya terbuka. Kini paha ibu semakin kelihatan.
Nafas ibu juga tampak tidak beraturan.
Ibu duduk di pinggir tempat tidur. Kuangkat salah satu kakinya ke atas kasur. Sehingga kini aku bisa melihat celana dalam putihnya.
Penisku langsung tegak berdiri.
Aku bangun dari kasur dan berdiri di depan ibu. Kujaga agar kedua kakinya terbuka lebar.
Ibu mengocok lagi batangku. Nafasku jadi tersenggal-senggal.
“Celana dalam ibu bikin kamu terangsang, Joni?”
Aku mengangguk tanpa melepaskan tatapanku dari daerah kewanitaannya.
“Kemari…”
Ibu menarik batangku. Sehingga aku semakin mendekat dengan dirinya. Dia kocok batangku begitu dekat dengan kemaluannya.
“Shhh…ahh…ahh..”
I belai-belai pantatku dan pahaku.
“Joni mau keluarin, kena celana dalam ibu ya?”
“Iya…”
“Enak segini dikocoknya?”
“Lebih cepat sedikit…”
“Segini…?”
“Ahh…ahh..,” aku tak menjawab karena rasanya enak sekali.
Kuremas-remas lengan atas ibu, menahan kenikmatn yang ia berikan kepdaku.
“Bu..mau keluar…”
“Mau keluar..Bilang ya…kalau dah mau…”
“Bu…ahh…”
“Iya…?”
“Sekarang..!”
Tiba-tiba saja ibu menarik tepi karet celana dalamnya ke bawah, sehingga lubang kemaluannya tampak. Penisku diarahkannya ke lubangnya. Ujung batangku menyemprotkan sperma berkali-kali membasahi bibir vaginanya.
Kami berdua melihat ke arah yang sama. Lalu ibu mentup kembali kemaluannya.
“Giman Joni, pikiranmu dah jernih?”
Aku mengganguk.
Ya dah, ibu mau bersihin badan dulu ya…kamu belajar gih.
Hari itu meskipun pikiranku jernih, tapi aku tetap tak dapat berpikir. membayangkan ibu duduk di meja belajar sambil memperlihatkan celana dalamnya kepadaku.
Suatu hari ibu mengajakku ke mall. Kami masuk ke outlet yang berisi lingerie. Aku bengong-bengong saja melihat isi outlet itu.
Ibu berbisik di telingaku. Kamu pilih…celana dalam mana yang kamu suka. Nanti ibu pakai buat kamu.
AKu menelan ludah membayangkan CD-CD sexy yang bertabaran disini, akan dipakai oleh ibuku. Tapi kemudian aku memanggilnya. Ia membungkuk sambil memberikan telinganya kepadaku.
“Ibu mau tahu, CD apa yang Joni paling suka?” kataku berbisik.
“Iya mau, yang mana?”
Aku melihat sekeliling, apakah ada penjaga. Setelah yakin tidak ada. Aku tarik ibu masuk ke ruang ganti. Kuselot pintunya.
Di ruangan itu ada kaca yang besar. Aku peluk pinggang ibu dari belakang. Kutarik perlahan rok gamisnya ke atas.
“Yang Joni suka….”
Ketika CDnya sudah kelihatan, aku tarik ke bawah. Rok gamisnya turut jatuh ke lantai. Kemudian kuatarik lagi ke atas. Kali ini terlihat di kaca dearh kemaluan ibu tanpa CD.
“CD yang tidak ibu pakai…”
Ibu berbalik dan berlutut.
“Buka sabuk dan celana kamu…kamu pasti pingin dikocok sama ibu kan sekarang…”
“Iya…pengen banget…”
Ibu membantuku melepaskan ikat pinggang. Lalu kuturunkan celanaku. Kini aku setengah bugil.
Ibu duduk di dudukan yang menempel di bagian bawah kaca. Ia angkat salah satu kakinya dan ia tarik rok gamisnya, sehingga aku bisa melihat belhan vaginanya.
“Sini nak dekat-dekat, biar ibu bisa kocok penis kamu dekat ininya ibu…”
Ibu kemudian membekap mulutku, agar aku tidak mengeluarkan suara-suara aneh. Batangku mulai merasakan urutan tangannya.
Tangannya yang membungkam mulutku kujilat-jilat telapaknya.
Ibu menatapku. “Nakal ya..”
Ia semakin mempercepat kocokannya. Aku mengernyitkan alis. Spermaku seperti sedang dipompa untuk keluar.
“Ngghhh..,”
Aku tak dapat menahan diri untuk tidak melenguh.
“Kalau dah mau keluar kasih tahu..”
5 menit dimasturbasi, aku sudah mulai tak kuat lagi. Kuberi kode ibu, bahwa aku sudah mau sampai.
Dok! Dokk! Dokkk!
“Ada orang di kamar ganti?” tiba-tiba pintu kamar ganti diketuk orang. Mungkin kami sudah terlalu lama.
“Ada…sebentar…sebentar lagi selesai…,” ucap ibu.
“Bu…,” panggilku tanda ini adalah saatnya.
Tiba-tiba ibu mengarahkan batangku masuk ke dalam lubangnya. Pantatku ditekan, sehingga pinggulku mendorong kemaluanku menerobos lubangnya. Rasanya terjepit enak.
Crot croot crooot crooottt aku menumpahkan cairanku di dalam lubang ibu.
Ibu bantu menggoyangkan pinggulnya. Aku sperit dipaksa untuk mengeluarkan semua simpanan spermaku.
Crot…crot…
Crot…
Ibu memelukku dan memberikan hentakan terakhir.
Crooot!
Benar-benar lemas rasanya. Spermaku pasti kosong sudah.
Kemudian ibu mendorongku. Batangku yang basah tercabut. Ibu mengambil CD yang ada di tanah dan mengelap batangku. Buru-buru ia pakai CD itu agar tidak ada cairan yang keluar dari vaginanya dan membasahi ruang ganti itu. Setelah itu kami keluar.
Malamnya aku tak bisa tidur memikirkan kejadian tadi siang itu.
Suatu hari kakek dan nenek dari sisi ayah datang. Mereka tampaknya hendak membicarakan sesuatu yang serius. Kudengar ada suara-suara membentak. Ibu tampaknya dimarahi oleh keduanya.
“Joni kami bawa pulang ke kampung. Kacau ia tinggal disini.”
“Jangan, bu…kalau Joni dibawa, siapa yang akan merawatnya?”
“Apa yang kamu lakukan itu tidak benar! Ngawur! Di kampung ada dukun yang bisa menyembuhkannya. Mana Joni.”
“Jangan, bu, jangan bawa anakku. Tidak ada yang bisa merawat dia selain aku…”
Kakek menyeruak masuk ke dalam.
“Joni! JOni!” panggil kakek. Ia buka satu-satu pintu kamar untuk mencariku.
Aku bingung. Apa yang harus kulakukan.
Akhirnya kakek masuk ke dalam kamarku.
“Joni, ayo lekas ikut kakek. Kamu akan tinggal di kampung.”
Terdengar jeritan ibu dari belakang, “Jangan..! Jangan bawa Joni… nanti ia sakit…!”
“Apa yang kamu lakukan sudah kelewatan, melawan ajaran agama.”
Kakek segera menghampiriku dan menarikku dari kursiku.
“Ayo Joni ikut kakek.”
Aku takut dan bingung. Tubuhku ditarik-tarik oleh kakek.
“Ibu….ibu,” panggilku sambil menangis.
Kakek memasukkan ke dalam mobil. Kemudian nenek turut menyusul.
Mesin mobil menderu. ibu memukul-mukul kaca mobil pintu tempat aku berada sambil menangis. Ia terus coba untuk membuka pintunya. Sementara aku dipeluk nenek agar jangan membuka knobnya.
“Jalan kek,” ucap nenek.
Brrmmm
Mobil berjalan meninggalkan ibu yang mencoba mengejar di belakang. Tapi sia-sia. Ia akhirnya berhenti berlari dan duduk bersimpuh di jalanan.
“Jangan khawatir Joni, nanti di kampung ada dukun hebat. Dia bisa menyembuhkanmu. Kamu tidak perlu lagi harus melakukan perbuatan yang tercela itu.”
Perjalanan cukup panjang. Pukul 12 malam, baru kami tiba di desa Oenan.
Rumah kakek dan nenek lumayan besar, tampak dari luar.
Kami masuk ke dalam.
“Disini kamu akan tidur,” kata nenek menunjukkan sebuah kamar yang cukup luas. Udaranya terasa dingin. Aroma kayu jati menusuk hidungku.
“Kamu tidur ya, besok kita pagi kita makan bersama,” kata kakek.
Aku tak menjawab. Aku kangen ibuku.
Keesokan pagi, aku terbangun. Biasanya ibu sudah mengocokku hingga keluar. Kini ia tidak ada. Pikiranku mulai menjadi kabur.
Kubuka celanaku untuk memainkan barangku sendiri. Tapi sia-sia. Tanpa ibu, benda ini tidak pernah mau bangun.
“Tok tok tok…”
“Joni, ayo sarapan…,” panggil nenek.
“Iya nek…”
Aku buru-buru memasukkan barangku ke sarangnya. Aduh aku mulai tidak bisa berjalan dengan baik. Sekelilingku mulai seperti lukisan abstrak lagi.
Brak, aku tersandung kursi.
Meringis kesakitan aku berjalan, ke meja makan. Di sana sudah menunggu kakek dan nenek. Susah payah aku mencoba untuk menarik kursi dan duduk.
“Joni, apakah kamu baik-baik saja…?” tanya nenek.
Aku menutup mukaku dengan satu tangan, berusaha memahami apa yang ditanyakan nenek.
“Dukun….,” pintaku. Aku merasa aku harus diobati segera.
Sedetik kemudian aku langsung tak sadarkan diri.
“Joni! Joni!” Terdengar gema suara di kepalaku. Entah itu suara nenek atau kakek.
Tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang kutahu saat ku terbangun wajahku terasa basah. Seroang kakek tua komat-kamit membaca mantra. Bau kemenyan memenuhi rungan.
“Fuh!” Wajahku disemprot lagi dengan air.
“Lihat kek, Joni bangun, mbah dukun memang sakti….,” seru nenek.
“Ibu….ibu…,” panggilku.
“Tenang Joni, mbah dukun akan sembuhkan kamu…” kata kakek.
Kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Jantungku terasa berhenti berdetak. Segalanya berubah serba hitam.
TIba-tiba aku berada di sebuah padang rumput yang hijau. Angin bertiup sepoi. Angin semilir membelai kulitku. Udaranya terasa begitu sejuk.
Aku mendengar suara-suara yang makin lama makin keras. Kuselidiki arah suara itu. Awalnya kulihat bayang-bayang. Semakin lama semakin jelas. Itu ibu yang sedang bersimpuh di tanah.
Bayang-bayang hitam lain mulai bermunculan. Wujud mereka semakin jelas, ada ayah, kakek dan nenek. Mereka mengacung-acungkan jarinya mereka ke arah ibu. Mereka mengucapkan kata-kata yang kasar kepadanya.
“Dasar perempuan rusak!”
“Gak punya moral!”
Tambah lama bayang-bayang hitam lain bermunculan. Mereka pun memaki-maki ibu.
Ibu hanya bisa menangis. Ia mencoba menutup telinganya. Tapi orang-orang menarik kedua tangannya.
“Wanita bejat!”
“Mati saja kau!”
Suara makian itu semakin seperti suara gemuruh ombak.
Ibu tampak tak berdaya. Aku segera berlari ke arahnya untuk melindunginya. Namun kakiku tiba-tiba terasa berat. Gerakanku menjai seperti slow motion. Tanah bergetar seperti gempa dan terbelah.
Padang rumput berubah menjadi padang gurun. Semuanya serba kemerah-merahan.
“Ibu!!!” Teriakku tanpa keluar suara.
“Ibu!!”
Kami terpisah jarak oleh tanah yang menganga lebar.
Gerombolan bayang-bayang orang di seberang sana, mendorong dan menendang ibu menuju tepi jurang.
Kutarik tangan dan kakiku sekuat tenaga.
“Lepaaaassss!”
Kulihat sosok ayah muncul dari sela-sela bayangan hituam. Ia bersiap mendorong tubuh ibu ke jurang.
“Tidak, ayah…tidak…jangan dorong ibu….” bibirku komat-kami tapi tetap tak ada suara.
“Pergi kau!”
“AAAAaaaaa….” Jerit ibu saat tubuhnya melayang ke dalam jurang.
Tiba-tiba saja aku bisa melompat dan sepasang sayang membentang di punggungku. AKu terbang begitu cepat mengejar tubuh ibu yang terjatuh ke dalam mulut jurang.
“Ibu…” Tanganku mengacung ke depan, berusaha menggapainya. Aku takut kami menghempas dasar jurang, sebelum aku bisa menagkapnya.
Kukepak-kepak sayapku. Sedikit lagi…sedikit lagi…..
“Dapat!”
Kupeluk tubuh ibu. Tapi sial kami sudah mendekati permukaan air.
Byuuur!!!
Kami berdua terhempas ke dalam air.
Tapi sungguh aneh, aku bisa bernafas di dalam air. Kulihat ibu tersenyum. Ia memelukku dan membelai rambutku.
Perlahan wajahnya mulai agak menua dan rambutnya memutih. Ia tampak sedih.
Kugenggam tangannya tuk mengatakan jangan sedih. Ibu tetap cantik. Ia tersenyum kembali.
Lalu ia membuka celanaku, dan ia berenang ke bagian bawah tubuhku. Aku kaget setengah mati, kala ia memasukkan batangku ke dalam mulutnya.
“Aah..ahh…”
Tiba-tiba aku melihat cahaya putih terang. Cahaya itu makin jelas. Rupanya cahaya lampu.
Dimana aku? Kini aku sudah berada di ruang serba putih. Orang-orang berbaju putih dengan masker mengelilingiku.
“Dok, dia sadar,” terdengar suara wanita. Seorang pria tua dengan alat aneh seperti kekeran terpasang di matanya menatapku.
“Joni…kamu tahu ini berapa?” tanya seroang pria sambil mengacungkan jarinya.
“Tiga…bukan..empat…satu…entahlah…”
Pria itu menghela nafas dan menggeleng.
Setelah itu semuanya pergi. Entah berapa lama aku seperti berada di antara sadar dan tidak sadar. Mungkin aku akan mati hari ini.
“Joni..Joni”
Terderngar suara yang sangat familiar.
“JOni, nak…”
Kulihat wajah seorang wanita berjilbab.
“IBu disini, nak…,” ucapnya sambil menitikkan air mata. Kepalaku dibelainya.
“Ibu akan rawat kamu, nak. Ibu akan sembuhkan kamu….”
Aku merasakan pahaku diraba-raba, naik perlahan ke batangku. Gairah mengalir di darahku. Aku merasakan batangku tegak berdiri di dalam genggaman seseorang. Perlahan tapi pasti tangan itu mengocok-ngocok penisku.
“Ibu…? Apakah kamu ibu…?” tanyaku karena belum bisa berpkir jerniah.
“Iya nak… ini ibu sayang…”
“Ibu…ah…ahh….”
Wanita itu menaiki tempat tidur, mengankangi wajahku. Kulihat ia menarik rok gamisnya.
“Lihat nak…ibu tidak pakai celana dalam…seperti yang paling kamu suka kan…”
Berangsur-angsur pikiran kembali, tapi masih belum lancar.
Aku bergairah melihat lubang yang tercukur bersih itu. Yah aku ingat lubang yang pernah meminum cairan spermaku.
Teringat akan nikmatnya terjepit di dalam lubang ini.
“Masukin…ah ah.. masukin….”
“Kamu mau barang kamu dimasukin ke lubang ibu nak?”
“Masukin….”
Ibu lalu berganti posisi seperti menunggangi kuda. Ia arahkan batangku ke lubangnya, dan ia turunkan pinggulnya.
“AAh….,” desah ibu.
Ia gerakann pinggulnya maju mundur.
“Ah..ah…ah,” lenguhku.
Tangan kami saling menggenggam. Dengan berpengan pada tanganku kadang ia memutar-mutar pinggulnya. Seperti dipelintir barangku.
Lalu ia merendahkan badannya. Ia ambil tanganku dan meletakkannya di dadanya.
“Remas nak…buah dada ibu untuk kamu…Terserah kamu mau apain”
Kemudian ia menciumku dan memasukan lidahnya ke dalam mulutku.
AKu serasa dibawa ke langit.
Penisku terasa meledak…,”AHhhhhh!”
Aku keluarkan laharku di dalam vagina ibu untuk kedua kalinya.
Pikiranku mulai kembali jernih.
“Ibu…ibu disini…?”
“Iya nak…,” ucapnya menitikkan air mata.
“Dah jernih pikirannya?”
“Lumayan…tapi belum normal…”
“Belum, ya…mau ibu buat keluar lagi?”
“Iya…tapi ibu harus telanjang….JOni mau lihat buah dada ibu.”
“Apa pun yang kamu mau, nak..”
Ibu menarik lepas bajunya dan hanya menyisakan jilbab saja.
Penisku kembali dipelintir-pelintir oleh ibu dengan gerakan ngebornya. Buah dadanya yang besar bergoyang-goyang kesana kemari.
“Ahh..enak bu….ahhh ahh…”
“Enak Joni.? enak ya….ibu cepetin ya…”
“Akkhh….” aku sampaimengernyitkan alis. Mulutku tak bisa lagi terkatup. “Aah..ah…”
Ranjang tempat kami berdua melakukan seks sampai berderit-derit.
“Keluarin nak….keluarin…sperma kamu semuanya…”
“Iya…iya…Joni keluarin….cepetin gerakannya.”
Ibu berpangku di perutku. Ia gerakkan pinggulnya maju mundur dengan sangat cepat. Aku tidak pernah merasakan batangku diperlakukan seperti ini.
Akhirnya aku tak tahan lagi. Kusemburkan semua spermaku ke dalam lubang ibu.
“Akkhh!!”
Tubuhku mengejang hebat. Rasanya seluruh sarafku menjadi kaku. Semua energiku serasa mengalir keluar dari ujung penisku.
“Dah bu…aah….dah bu…,” aku tergeletak lemas. Rasanya sangat lelah. Keringat membasahi tubuhku. Tapi pikiranku kembali on 100%.
Ibu merendahkan badannya. Kedua buah dadanya menggantung indah. Tertutup sebagian oleh jilbabnya.
Ia belai kepalaku lembut.
“Bu…cabut batangku dari lubang ibu….nanti kalau gak aku tegang lagi…”
Ibu tersenyum…
“Kalau ibu mau kamu tegang lagi gimana?”
“Hh..? Joni dah capek…”
Ibu menciumi leherku.
“Dah lama gak ada penis masuk ke lubang ibu…”
“Ahh…jangan, ibu….Joni istirahat dulu…”
“Ibu cantik gak kalau dah buka baju?”
“C..cantik…”
“Joni makin nakal yah…minta ibu lepas gamis ibu…dah itupakai minta dimasukin ke lubang…ini namanya kamu dah setubuhi ibu…”
“Kan Joni gak minta yang lain…”
“Eh…yang lain apa maksudnya…?”
Aku terdiam teringat aku akan mimpiku saat aku tak sadar.
Ibu memperhatikan wajahku dengan seksama.
“Yang lain apa sayang…?” tanyanya sambil mengusap keningku.
Aku tetap diam. Menikmati usapan jemarinya.
Ia kecup keningku.
“Ya sudah…kamu istirahat dulu….ibu akan panggil dokter.”
“Bentar lagi…usap-usap dulu kepala Joni…”
“Ih..Joni manja…”
Tak lama kemudian aku pun tertidur pulas di dalam belaian kelembutan kasih seorang ibu.
Seminggu kemudian aku dilepas dari rumah sakit.
Semenjak itu pula aku jadi sering bersetubuh dengan ibuku. Pikiranku pun menjadi jernih bukan main. Orang-orang sebut aku jenius. Segala pelajaran aku serap dengan mudah.
Beberapa bulan kemudian aku melihat ibu sering muntah-muntah. Dengan kepandaianku aku tahu ini tanda-tanda seorang wanita hamil.
Yah aku telah mengahmili ibuku sendiri.
Tentu saja tetangga menjadi menggunjingkan ibu. Wanita yang tak memiliki suami hamil. Siapa yang menghamili. Tak ada yang tahu hubungan kami berdua, kecuali ayah, kakek, nenek dan dokter.
Para tetangga pun mulai menjauhi ibu. Mereka tak mau dekat-dekat. “Wanita kotor” Itulah kata-kata yang pernah kudengar saat aku berjalan melintasi daerah perumahanku.
Aku sedih sekali.
Berita kehamilan ibuku telah sampai ke telinga kakek dan nenek dari sisi ibu. Mereka pun datang ke rumah bersama dengan bibi, kakak perempuan ibu. Mereka hendak membongkar siapa yang telah menghamili ibu.
Yang tambah menyusahkan adalah mereka memutuskan untuk menginap hingga ibu mau mengaku. Bagaimana aku bisa mendapatkan perawatanku?
Akhirnya kami berdua terpaksa melakukannya dengna sembunyi-sembunyi.
Saat pagi kami akan melakukannya di mobil saat berangkat ke sekolah. Hanya saja karena terlalu merepotkan untuk bersenggama di mobil, ibu melakukan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang hampir membuatku hampir tidak mau masuk sekolah.
Seperti biasa ibu memarkikan mobil di tempat yang sepi. Lalu ia bilang,
“Joni…buka atuh, celananya….cepetan supaya gak telat sekolah”
Aku tersenyum, “Supaya gak telat sekolah yaaa..,” ucapku menggoda seraya meremas dada kanannya.
Ibu cemberut, ia segera melepas sabukku. Pengait celana dibuka, resleting diturunkan. Tangannya langsung masuk menyusup ke dalam celana, mengusap-usap bagian bawah tubuhku.
Aku diam memperhatikan tangan ibu menjamahku.
Gairahku mulai menjalar di dalam darah.
Ditariknya terpian celana dalamku hingga penisku keluar, tapi masih setengah tegang. Ibu kocok-kocok batangku. Tapi yah, penisku sudah tak bisa tegang kalau hanya dikocok ibu.
“Bu…gak bisa kalau cuma digituin…,” keluhku.
Ibu mengecup keningku lembut. “Tenang…ibu ada cara lain….”
Usai ia bicara seperti itu… ia merendahkan kepalanya hingga sejajar dengan perut.
Dan…”aahhh…” kurasakan bibir lembut menangkup seluruh batangku. Sebuah lidah sibuk menyapu-nyapu penisku, sebelum akhirnya kurasakan ibuku mengurut bendaku dengan mulutunya.
Kepala ibu yang mengenakan jilbab orange waktu itu naik turun.
“Ngghh..ahh…bu…enak…banget….”
“Joni, jangan ditahan-tahan, langsung keluarin yah…kamu mesti masuk sekolah…”
Apa? langsung….mmmh…tapi aku mau berlama-lama….
Satu persatu kubuka kancing baju seragamku, kucopot dan kulempar ke belakang mobil. Aku ingin telanjang saat ibu melaukan entah apa pun ini namanya.
Kupelorotin celana pendek biruku.
Ibu menyetopku, dahinya mengernyit.
“Kok, dibuka semua sih…ntar susah, mau masuk sekolah kan…”
“Gak mau sekolah….ingin diisep sampai sore….,” ucapku manja.
“Napa…enak ya?” tanyanya sambil menjilat-jilat buah zakarku.
Aku mengangguk.
Kuusap-usap punggungnya, terasa benjolan tali bra. rasanya ingin kulepas saja.
Penisku kembali masuk ke rongga mulut ibuku.
“Akhh…”
Tak tahan..kutarik resleting baju di punggung ibuku. Pengait BH itu pun nampak. Kulepas saja, biar buah dadanya tidak ada lagi yang menyangga.
“Ihh…Joni…orang mau cepet-cepet….” desis ibu.
Tapi kemudian ia angkat tepian bajunya ke atas beserta cup BHnya hingga payudaranya nampak.
“Dah puas?”
Aku menggeleng.
Kutarik belakang kepalanya, kuarahkan penisku kembali ke mulutnya.
“Mmh…Joni mau keluarin di dalam mulut ibu, boleh?”
Sambil sibuk mengulumku ia mengangguk.
Nafasku tak beraturan membayangkan akan menyemprot cairan spermaku di dalam rongga mulutnya.
Kucari dadanya dan kuremas-remas. Lumayan bisa merasakan payudara ibu pagi-pagi. Kuusap-usap sebentar putingnya agar mencuat. Siapa tahu kalau ibu terangsang, aku tak perlu masuk sekolah.
Ah sial, rasa menggelitik di batangku makin menjadi. Dikocok dengan mulut ibu, rasanya semakin sensitif. Sial…spermaku sudah berontak. Ingin lepas dari kerangkengnya.
“Buu….mmhh…..ahhh… dah mau keluar…jangan cepat-cepat, bu…”
Akan tetapi ibu malah makin cepat mengulum batangku.
Kucoba menahan kepalanya. Tapi dia tidak mau.
“Akh!” Terpaksa aku mencapai orgasme. Kusemburkan lahar kenikmatan di dalam mulutnya.
Cukup banyak pagi itu kulepaskan cairan laki-lakiku.
Di saat itu juga otakku terasa cerah kembali.
Perlahan ibu mencabut batangku dari mulutnya. Tampaknya dia berhati-hati agar cairan itu tak tumpah. Lalu ia buka jendel mobil dan membuangnya keluar.
Setleah itu ibu mengambil beberapa helai tisu dan membersihkan penisku.
“Terima kasih bu…”
“Ya…sekarang kita ke sekolah kamu. Belajar yang benar ya…”
“Iya bu…”
Iseng ku selipkan tanganku di antara kedua pahanya yang tertutup rok gamis.
“Shh ahh..JOniih…”
Astaga, ternyata, cairannya dah tembus keluar.
Rupanya ia sedang terangsang.
Namun ia tampaknya lebih memikirkan aku masuk sekolah.
Sehingga ia buru-buru menepis tanganku dan menstarter mobil.
Rencanaku bolos gagal deh.
Di sekolah aku tak bisa berhenti memikirkan ibu. Iseng pas jam pelajaran aku permisi ke WC. WCku itu ada 4 bilik. Lantainya berwarna kotak-kotak warna warni. Di depannya ada urinoir 4 biji. WC sekolahku lumayan bersih, gak bau pesing. Apalagi bau tinja.
Di bilik WC paling ujung aku keluarin Mr. P ku. Sayang tak bisa kubuat tegang. Jadi kufoto saja pakai kameraku apa adanya. Lalu kukirim ke ibu.
Kutunggu tak ada balas. Mungkin ia sibuk.
Eh. tahu-tahu HP ku bunyi… ibu menelpon.
“Joni… kamu lagi di mana?
“Di sekolah? “
“Iya dimana di sekolah ?”
“Di WC…”
“Lagi jam pelajaran ya?”
“Iya..”
“Kamu tuh nakal banget sih, bukannya belajar yang bener…”
Aku diam cemberut. Keluh. Ibu malah marah.
“Iya maaf…”
“Cepet balik…”
“Iya…”
“Tapi…”
“Ya?”
“Kalau balik celana dalamnya jangan dipakai yah….”
“Hah?”
“Lepas cepet…”
“Buat apa?”
“Dah lepas saja, jangan banyak tanya.”
Aku menuruti perintah ibut.
Setelah kulepas aku pakai lagi celana seragam biruku.
“Nanti kalau dikelas, keluarin yah penisnya dari reseleting…fotoin ke ibu.”
Mukaku memereah mendengar permintaannya.
“Ih ibu, ntar Joni ketahuan kan malu…”
“Tutupin pakai tas, biar gak ketahuan…”
“Ibu lagi horni yah….”
“Iya gara-gara kamu kirim foto tadi. Sudah pagi ibu nahan, sekarang kamu kirim gambar kayak gitu…”
“Ibu bukannya lagi di kantor?”
“Iya.. lagi di WC juga…cepetan….ibu bentar lagi meeting. Nanti kita texting aja. Terus aktifin video streamingnya, biar ibu bisa lihat langsung.”
“Ibu aktifin juga donk…biar Joni bisa lihat ibu lagi apa…”
“Bentar ya…”
Setelah itu tak ada suara lagi. Ibu mematikan voice dari sisi sana.
Tapi di layar mulai kelihatan video streaming.
Pertama-tama kulihat rok gamis ibu yang tergantung di sebuah pintu. Lalu ia memutar kameranya ke arah wajahnya yang berjllbab. Alisnya mengernyit sambil memandang kamera. Berulangkali ia menggigit bibirnya. Perlahan ia arahkan ke bawah, dan ia posisikan HPnya di antara kedua pahanya.
Hatiku langsung berdegup menyaksikan apa yang tersaji di layar Smartphoneku.
Jemari ibu sedang mengusap-usap lubangnya sendiri. Sambil sesekali ia masukkan jari tengahnya ke dalamnya pelan-pelan, lalu ia tarik lagi.
Aku langsung buru-buru balik ke dalam kelas. Kugantung HP ku di leher, agar ia bisa melihat kemana aku berjalan. Saat di depan pintu. Kusadari, bahwa aku akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Aku ragu sesaat.
Tapi di layar ibu degan wajah yang menggairahkan, berucap tanpa suara, “Ayo keluarin…mau lihat…”
Baru kali ini ibu minta sesuatu yang seperti ini.
Aku melangkah masuk setenang mungkin seolah-olah tidak ada apa-apa.
Aku kembali ke bangkuku, yang terletak di depan meja guru, nempel rapat dengan tembok.
Untung hari ini teman sebangkuku Mari tidak masuk.
Kuambil tas ku yang memanjang ke samping dan kutaruh di pangkuanku. Kulirik ke sekelilingku. Mereka tampak sibuk mengerjakan tugas. Ibu guru juga sedang menulis di papan.
Perlahan, jangan samapi terdengar suara, kutarik turun resleting celanaku. Kutarik keluar batangku. Lalu kuarahkan kamera Hpku dengan tangan kiri ke batangku yang nongol, sambil tangan kananku pura-pura menulis, mengerjakan tugas.
Sesekali kulirik layar HPku. Mmhh…mantap… Ibu sedang menyorot wajahnya yang menahan kenikmatan. Matanya tak mau lepas melirik ke HPnya, pasti ia sedang memperhatikan penisku.
Sebuah pesan masuk. “Joni, kocok titit kamu di kelas, ibu mau lihat.”
Mukaku memerah. Ibu mintanya makin aneh-aneh saja. Bagaimana caranya…?
Kugeleng-geleng kepalaku ke ibu.
“Pliiiis….ibu dah mau keluar kok..sebentar aja…”
Ya sudah demi ibu, aku letakkan pulpenku. Dan aku mengocok dengan tangan kananku.
Kutengok kiri kanan, memastikan tidak ada yang memperhatikanku. ASTAGA! bu guru sudah kembali ke mejanya. Rupanya ia memperhatikan apa yang sedang kulakukan.
Mukanya merah padam. Kedua alisnya miring 45derajat. Hidungnya mendengus seperti naga yang hendak menyemburkan api. Kedua bola matanya melotot, memberiku kode untuk menghentikan perbuatanku.
Ah sial…bagaimana ini. Buru-buru aku masukan kembali rudalku ke dalam celanaku. Kulakukan senormal mungkin agar tidak ada yang tahu. Koneksi streaming dengan ibu segara kuputus. Jangan sampai bu guru tahu, apa yang sedang terjadi.
Aku menunduk, pura-pura menulis. Entah apa yang ada di pikiran bu guru. Dan bagaimana dengan ibu?
Sore menjelang malam ibu sudah kembali dari kantor. Kami sekeluarga berkumpul di ruang makan untuk menikmati masakan nenek. Di tengah bincang-bincang ibu memberikan kode mata, agar kami berdua meninggalkan meja.
“Ehm…bapak ibu…Siti ke belakang dulu, ya,” ucap ibu kepada kakek dan nenek.
Saat melintas di dekatku ia menoel lengan atasku, agar aku segera beranjak.
“Duh Joni sakit perut nek, mau berak.”
“Hush Joni, jangan bicara seperti itu di meja makan,” ujar kakek.
“Sudah sana, cepet balik, selesaikan makannya,” ucap nenek.
“I..iya…”
Aku segera angkat kaki dari situ dan menghampiri ibu di kamarnya.
Saat aku sudah masuk. Ibu buru-buru menutup pintu.
“Duh Joni, kenapa siang diputus sih…ibu dah nahan dari tadi nih…”
Ia tampak gelisah.
“Remas dada ibu donk…nak…,” pintanya sambil menempatkan tanganku di payudaranya, di bawah kain jilbab yang menutupi dadanya. Tentu saja aku tak menolak untuk meremas daerah privat milik ibu itu.
Ia pagut bibirku berulang-ulang dan tanpa babibu, ia raba dan pijit burungku dari luar celanaku.
Birahiku langsung naik. Kupeluk ia, dan kubisikkan sesuatu di telinganya, “Oh..kalau saja bisa lihat ibu telanjang di meja makan.”
Ibu melepaskan pelukanku dan menatapku lekat. Dengan nafas memburu Ia berkata, “Kalau kamu mau buka celana kamu di meja makan, ibu akan buka baju ibu…”
Aku kaget….karena aku tak bersungguh-sungguh dengan ucapanku.
“Kan ada kake nenek dan bibi…?”
“Ibu buka bajunya di bawah meja, tapi sebentar saja, gak bisa lama-lama.”
Nafas kami terasa berat. Badai birahi berputar-putar di antara kami.
“Ya..Joni akan buka celana.”
“ya udah…yuk balik..”
“Ok…”
Kami berdua kembali ke meja makan dan duduk di kursi masing-masing.
Aku duduk dengan bagian bawahku agak masuk ke dalam bawah meja agar tertutup telapak meja. Kemudian aku copot celanaku hingga jatuh ke lantai. Rasanya tegang sekali. Jelas aku terkunci sudah di kursi. Kalau sampai aku harus beranjak dari bangku habis sudah.
“Joni, kamu sebentar lagi naik kelas ya?” tiba-tiba nenek mengajaku bicara.
“A..a..iya…naik kelas…”
“Mau hadiah apa kalau naik kelas?”
Trrang! kulihat ibu menjatuhkan sendok ke lantai.
“Emm… apa ya…”
Kulihat ibu menyelinap masuk ke bawah meja.
AAah.. astaga penisku dihisapnya.
Bersikap normal, normal… jangan sampai aku melenguh.
Aah…. bijiku juga dihisap-hisap…
“Mau apa?”
Ngentotin nenek, masukin tititku ke mulut nenek, keluarin spermaku di mulut nenek, gimana nek? Ucapku dalam hati. Astaga apa pula yang kupikirkan. Mungkin aku telah terbawa nafsu.
“Iya, kamu mau apa? Nanti bibi juga kasih kamu hadiah.”
Mungkin karena mendapatkan rangsangan seksual di bawah tubuhku, aku jadi mulai membayangkan bibi berciuman dengan nenek.
“Ehm…. apa yah…belum tahu.”
Tak berapa lama, kakiku ditarik-tarik ibu. Sepertinya ia memberi kode agar aku turun masuk ke bawah meja.
“Oh ya, Mirna waktu itu ada kiriman dari Jogja kan?”
Untung permbicaraan mulai beralih dariku. Pura-pura kujatuhkan sumpit. Trak!
Lalu aku mulai beranjak dari bangku, turun ke bawah, sambil berusaha agar bagian bawah tubuhku jangan keluar dari tutupan taplak meja.
Aku menyelinap ke bawah meja makan. Dan ooh ya Tuhan…….. Ibu sudah bugil tanpa sehelai kain pun. Hanya jilbab yang masih menutupi kepalanya.
Hilang sudah kesadaranku melihat kecantikannya. Langsung saja kulebarkan kedua pahanya. Bibir vaginanya pun turut merekah. Kuhujamkan penisku ke dlaam lubangnya. AAAAhh….rasanya aku ingin berteriak kencang, saat dinding kemaluan ibu mencengkram dan memijit adik kecilku. Langsung kupompa tubuhnya dengan cepat.
Mulut ibu menganga, tanpa bersuara.
Kusenggamai ibuku di bawah meja, sementara kakek, nenek dan bibi sedang makan dan ngobrol di atas meja makan.
Bukit kembar ibu berayun ayun, mengikuti gerakan badannya. Pahanya kuraba-raba, sambil tak ketinggalan kuremas-remas bongkah pantatnya. Ingin rasanya kubuat ia melenguh. Nekat, kugenjot dirinya lebih cepat lagi.
“Owh…”
Hampir saja ia mengeluarkan suara yang dapat membuat kami berdua ketahuan. Tapi ia buru-buru menutup mulutnya. Kukecup perut buntingya dan kujilati pusarnya.
Ia kegelian. Tiba-tiba ibu memberi kode, “Gak bisa lama-lama…”
Aku cemberut, karena ini belum apa-apa.
Tak! Sial, kaki ibu terdorong mengenai kaki bibi. Gawat. Kami berdua langsung berhenti.
Kekhawtiran terjadi, bibi melongok ke bawah meja.
Matanya melotot melihat pemandangan yang ada di bawah meja. Keponakannya tengah menyetubuhi ibu kandungnya sendiri. Ia pun mendangi ibu seolah dengan pandangan tak percaya. Ia diam seribu kata. Buru-buru ia turunkan telapak meja itu lagi. Menutupi kejadian yang tentunya tak lazim baginya.
Ibu monyong kepadaku. “Kamu gak ati-ati sii…”
Kami pun buru-buru memakai baju kami lagi. Sebelum aku sempat menyarungkan pedangku, ibu mengulum lagi penisku dengan sangat cepat, agar aku mendapatkan perawatanku hari itu.
Pas sudah mau keluar, buru-buru kuraih tangan ibuku agar mengocok batangku. Kuarahkan ujungnya ke kaki bibi. Ibu agak kaget dengan maksudku. Tapi kupaksa ia tetap mengurut penisku. Hingga akhirnya aku klimaks dan memuntahkan isinya ke punggung kaki bibi.
Bibi tersentak. Kursinya sampai terdorong ke belakang.
“Kenapa kamu, Mirna?” terdengar suara kakek bertanya.
Kami berdua buru-buru merapikan pakaian kami, keluar dari bawah meja dan duduk kembali di kursi masing-masing.
Melihat kami sudah keluar dari kolong. Bibi tidak berkata sepatah kata pun. Ia memandangi kami bergantian.
Pokoknya suasana jadi aneh saat itu. Kaku.
Saat makan malam selesai, ibu dan bibi membereskan meja dan mencuci piring. Mereka tampak berbicara dengan sangat pelan, seolah tidak ingin ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Kadang piring itu agak terdengar dibanting agak keras. Bibi keliatannya agak emosional.
Kulihat dari kejauhan, ibu seperti memohon-mohon, sampai ia berlutut bersimpuh di kaki Bi Mirna. Aku merasa bersalah telah membawa ibu ke dalam kesulitan ini.