Papa memang trampil sekali mengentotku dalam posisi doggy begini. Sambil mengayun penisnya yang berada di dalam liang kewanitaanku, Papa bisa menggerayangi memekku dan lalu mencari – cari kelentitku. Kemudian ia mengentotku sambil mengelus – eluskan ujung jarinya ke kelentitku.
Tentu saja elusan di titik yang paling sensitif itu membuatku kleyengan dalam nikmat tiada tara. Terlebih karena sentuhan itu dilakukan pada saat penis panjang gedenya tengah menyodok – nyodok liang kewanitaanku yang sudah basah licin ini.
“Papa… oooohhhh… Papaaaa… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Paaaap… enak sekali Paaap… entot terus Paaap… entooooottttt… iyaaaa Paaaaap… ooooohhhh… Papaaaaa… Papaaaaa…”
Genjotan penis panjang gede itu terkadang disertai dengan remasan – remasan di pantatku. Terkadang juga kedua tangan Papa merayap ke arah sepasang payudaraku. Lalu meremas – remasnya seolah gemas. Bahkan terkadang Papa menarik – narik rambutku sambil mengayun penisnya di liang memekku.
Lalu Papa menawarkanku untuk bermain dalam posisi WOT. Aku setuju saja, karena posisi itu termasuk aman juga buat kehamilanku.
Papa mencabut penisnya, lalu menelentang. Kemudian aku berlutut sambil memegang penis Papa, yang moncongnya kuarahkan ke mulut vaginaku. Lalu kuturunkan bokongku, sehingga penis gede itu pun melesak masuk ke dalam liang memekku.
Kini giliranku untuk aktif menaik turunkan bokongku, dengan sendirinya kewanitaanku pun naik turun. Membuat penis Papa seolah maju mundur di dalam cengkraman liang kewanitaanku, padahal memekku yang bergerak turun naik.
Namun posisi ini membuatku cepoat mencapai puncak kenikmatanku. Karena rahimku turun, sehingga terus – terusan bersundulan dengan moncong penis Papa.
Akibatnya… aku ambruk diiringi rengekan manjaku, “Papaaaaaa…”
Ya… posisi WOT ini membuatku terlalu cepat mencapai orgasme. Lalu aku ambruk ke atas dada Papa Edgar.
Tapi sesaat kemudian, aku sudah celentang, sementara Papa sudah berluitut sambil mengarahkan moncong zakarnya ke mulut kemaluanku. Sementara kedua belah pahaku Papa dorong agar mengangkang selebar mungkin, bahkan lalu menumpang di atas kedua paha Papa.
Sambil berlutut Papa membenamkan kembali penisnya ke dalam liang memekku yang sudah basah ini (akibat orgasmeku tadi).
Lalu mulailah Papa mengayun kembali penis panjang gedenya.
Tampaknya tubuh Papa sudah kemerahan dan berkeringat. Bahkan keringatnya mulai berjatuhan di atas perutku. Bahkan ada juga yang jatuh di leher dan wajahku. Tapi aku malah bernafsu kembali untuk meladeni kejantanan ayah tiriku itu. Malah ketika keringatnya berjatuhan di bibirku, sengaja kujulurkan lidahku untuk menjilatinya, lalu menelannya.
Di bawah kekuasaan nafsu, aku tidak lagi merasa jijik pada keringat Papa. Bahkan pada suatu saat aku berkata, “Pap… sini… Papa telungkupi aja badanku. Papa kan bisa gunakan sikut Papa untuk menahan, agar perut Papa tidak menggencet perutku.”
“Iya, iyaaaa…” sahut Papa sambil bergerak menelungkupiku, sementara kedua sikutnya menekan kasur, untuk menahan agar perutnya tidak menggencet perutku.
“Nah… kalau begini, Papa kan bisa mengentotku sambil mencium bibirku, menjilati leherku, mengemut pentil toketku dan sebagainya…” ucapku sambil mengusap – usap pipi Papa yang kemerahan dan basah oleh keringat.
Dengan menahan badannya dengan kedua sikutnya, perut Papa hanya bertempelan dengan perutku, tapi tidak terasa menggencet perutku.
Dalam keadaan seperti ini, Papa malah bisa menciumi bibirku bertubi – tubi. Biosa menjilati leherku dan mengemut pentil toket kiriku sambil meremas – remas toket kananku.
Ini semua terasa indah sekali. Sehingga aku pun merintih dan merengek lagi di dalam arus nikmatku. “Papa… oooooohhhh… penis Papa luar biasa enaknya Paaaaap… ooooohhhhh… terasa sekali menggwesek – gesek liang memekku Paaap… ooooohhhhh… entot terus Paaap… entooot teruuuusssss… entoootttt …
“Aku juga makin sayang sama kamu Lus,” sahut Papa tanpa menyetop entotannya.
Makin lama entotan Papa semakin gencar rasanya. Sementara aku merintih, mengerang, merengek sambil menggeliat – geliat. Dalam arus nikmat yang luar biasa rasanya.
Tubuh Papa pun semakin basah oleh keringatnya, yang bercampur aduk dengan keringatku.
Pada suatu saat Papa berbisik terngah, “Putry Sayang… ini lepasin di mana? Di dalam apa di luar?”
Aku ingin memberikan kesan yang takkan terlupakan oleh Papa Edgar. Karena itu aku menjawab, “Di dalam mulutku aja Pap. Aku akan menelan sperma Papa sampai habis. Sebagai tanda sayangku pada Papa.”
Papa Edgar menggencarkan entotannya. Lalu mencabut kontol panjang gedenya dari dalam memekku. Kemudian ia bergerak cepat, berlutut dengan sepasang lutut di kanan kiri leherku. Sementara penisnya dikocok – kocok, dengan moncong yang sudah berhadapan dengan mulutku.
Sebenarnya detik – detik ini adalah detik – detik orgasmeku yang kedua. Maka ketika aku menarik penis Papa ke dalam mulutku, lalu menyedot – nyedotnya sekuatku… liang memekku terasa berkedut – kedut reflex.
Pada saat yang sama moncong penis Papa memuntahkan lendir pejuhnya di dalam mulutku.
Croootttt… croooootttt… crottttt… crooooottttttt… crootttt… croooottt…!
Begitu banyak sperma yang termuntahkan dari moncong penis Papa.
Jujur, aku poernah menelan air mani Mas Tris dan air mani Dimas. Tapi sperma mereka tidak sebanyhak sperma Papa ini.
Walaup pun begitu, dalam keadaan sedang menikmati orgasmeku sendiri, kutelan habis sperma Papa yang menggenang di dalam mulutku, tak kusisakan setetes pun…!
“Aduuuuh… sungguh ini pengalaman yang terindah di dalam hidupku,” ucap Papa sambil merebahkan diri di sampingku, lalu membelai rambutku yang basah oleh keringat ini.
Aku pun duduk sambil memegang penis Papa yang sudah lemas. “Buatku juga, ini pengalaman yang terindah Pap,” ucapku sambil menciumi penis Papa.
Papa menyahut, “Mungkin seharusnya kamu jadi istriku, Mama harusnya berpasangan dengan suamimu. Karena umurku cuma lima tahun lebih tua darimu, sementara usia Trisno kan lebih tua dari Mama. Hahahaaaa…”
“Biar aja Papa tetap dengan Mama, aku tetap bersama Mas Tris. Yang penting kita kan bisa melakukannya di belakang mereka.”
“Iya. Sampai kamu hamil di atas tujuh bulan juga, aku tetap ingin merasakan your pussy. Malah semakin perutmu buncit, buatku bakal semakin seksi.”
Kemudian kami mandi bareng di bawah semprotan air hangat shower.
Pada saat itulah Papa menuturkan alasan kenapa menikahi Mama. Pertama, Papa ingin bisa lebih cepat jadi WNI. Terbukti setelah menikah dengan Mama, beberapa bulan kemudian surat kewarganegaraan Papa pun terbit.
“Selain daripada itu, Mama giat berbisnis kecil – kecilan. Sedangkan aku banyak uang yang harus diputar, jangan hanya didiamkan di bank belaka. Mungkin Mama pernah cerita padamu, bahwa aku ini pemegang saham nomor dua terbesar pada sebuah perusahaan asing di Jakarta.”
“Iya, aku pernah dengar hal itu dari Mama. Lalu Papa memberikan modal yang cukup banyak kepada Mama. Sehingga bisnis Mama pun semakin melebar ke beberapa provinsi.”
“Iya… begitulah.”
Malam itu Papa menyetubuhiku sekali lagi. Kemudian kami tertidur dengan nyenyaknya.
Esoknya, pagi -pagi sekali aku sudah mandi dan keramas. Lalu pamitan kepada Papa untuk pulang.
“Lho kenapa pagi – pagi benar sudah mau pulang?” Tanya Papa seperti berat melepaskan kepergianku.
“Takut Mama keburu pulang. Takut banyak pertanyaan. Nanti gak usah dilaporkan kalau aku ke sini ya Pap.”
“Iya, iya… tunggu dulu sebentar, “Ppa bergegas masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian papa memberikan sesuatu padaku. Sehelai cek yang nominalnya membuatku terlongong.
“Untuk apa ini Pap?” tanyaku heran.
“Buat beli mobil, supaya jangan pakai taksi lagi kalau ke sini.”
Tentu saja aku terkejut waktu melihat nominal yang tertera di cek itu. “Tapi… yang lagi hamil muda kan gak boleh nyetir Pap,” ucapku.
“Cairkan saja ceknya, lalu masukkan ke rekening tabunganmu. Beli mobilnya setelah melahirkan juga gak apa – apa.”
“Papa… kok Papa baik banget sih?” ucapku sambil menyandarkan pipiku ke dadanya.
“Itu sekadar tanda sayangku padamu, Lus. Tapi jangan ngomong apa – apa sama Mama.”
“Iya Pap. Terima kasih… beribu – ribu terimakasih Pap. Aku akan simpan uangnya di rekening tabunganku. Biar jangan bikin heboh nanti, baik dari pihak Mama mau pun dari pihak Mas Tris.”
Lalu aku meninggalkan rumah Papa Mama dengan perasaan senang bercampur haru.
Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya.
Sampai pada suatu hari…
Pada hari itu Mas Tris berkata padaku, bahwa besok ada tugas mendadak dari kantornya. Dia harus terbang ke Kalimantan. Dan kemungkinan bisa sebulan dia akan berada di Kalimantan.
“Berarti selama sebulan aku harus sendirian di rumah Mas?” cetusku bernada protes.
“Kalau mau tinggal di rumah mamamu sampai aku pulang, gak apa – apa,” ucap suamiku.
“Nggak mau ah. Udah punya rumah sendiri masa harus numpang di rumah Mama.”
“Dari pagi sampai sore kan ada pembantu. Bagaimana kalau dia disuruh tidur aja di sini selama sebulan?”
“Takkan maui Mas. Si Tinem kan punya suami. Kalau janda sih bisa aja kusuruh nginep di sini sampai Mas pulang dari Kalimantan nanti.”
“Apa gak bisa ngajak mama adek tidur di sini selama aku berada di Kalimantan?”
“Aku kan pernah bilang sama Mas… Mama itu punya bisnis yang gak bisa ditinggalkan begitu aja. Susah ngajak Mama sih.”
Mas Tris seperti berpikir beberapa saat. Sampai kemudian dia mengeluarkan handphonenya. Lalu memijit nomor yang telah disaving di ponselnya.
Lalu Mas Tris memijat icon speaker, untuk mengeluarkan suara orang yang sedang diteleponnya.
“Hallo Yan… kamu sehat?”
“Sehat. Papa dan Mama juga sehat kan?”
“Sehat. Kamu bakal punya adek lagi nanti Yan. Mama sedang hamil muda. Baru tiga bulanan sih hamilnya. Sekitar enam bulan lagi baru melahirkan.”
“Hehehee… seneng dengernya. Aku bakal punya adek bayi nanti.”
“Ohya… kamu kapan bakal liburan panjang?”
“Tanggal satu Pa.”
“Tanggal satu besok?”
“Iya Pa. Liburannya cukup lama. Sebulan penuh.”
“Kebetulan! Kamu jangan maen ke mana – mana. Pulang ke rumah papa aja ya. Soalnya papa besok mau terbang ke Kalimantan. Selama sebulan papa di sana. Kasian Mama tuh, lagi hamil malah ditinggal sendirian.”
“Iya Pa. Aku juga sedang siap – siap mau pulang ke rumah Papa. Malah tiket kereta apinya sudah beli nih. Kebagian yang siang berangkatnya dari Gambir. Sekitar jam empat sore besok tiba di rumah Papa.”
“Syukurlah kalau begitu. Besok pagi papa sudah terbang ke Kalimantan. Berarti Mama cuma sendirian dari pagi sampai sore aja.”
Setelah menutup hubungan seluler dengan anak sulungnya, Mas Tris berkata padaku, “Jadi besok malam sudah ada teman tuh.”
“Yang Mas telepon barusan Yanu kan?”
“Iya. Yang manggil papa sama aku kan cuma Yanu dan Kendo,” ucap Mas Tris yang disusul dengan kecupan di pipiku.
Besok paginya Mas Tris berangkat ke bandara, diantarkan oleh mobil perusahaan.
Tinem datang sejam kemudian. “Selamat pagi Bu. Bapak sudah berangkat?” tanyanya.
“Udah, sejam yang lalu,” sahutku, “Ohya Nem… suamimu pencemburu nggak?”
“Sangat pencemburu Bu. Saya bekerja di sini aja tiap sebentar ngirim sms. Nanya lagi di mana dan sebagainya. Terkadang suka video call, supaya yakin bahwa saya sedang berada di rumah Ibu.”
“Ogitu ya. Suamimu bekerja di mana?” “Cuma buruh pabrik Bu. Gajinya juga gak lebih besar dari gaji saya di sini. Hehehe…”
Aku cuma tersenyum menanggapinya. Memang aku selalu bersikap sebaik mungkin kepada pembantuku itu. Biar dia kerasan bekerja di rumahku. Mencari pembantu yang tekun bekerja di satu rumah sangat sulit di zaman sekarang ini.
Tadinya di rumahku tidak ada pembantu. Semua urusan rumah kukerjakan sendiri. Tapi sejak sebulan yang lalu Mas Tris mendatangkan pembantu untuk bekerja di rumahku. Untuk mempersiapkan kalau aku sudah melahirkan nanti. Karena kalau aku sudah melahirkan, pasti banyak pakaian anak yang harus dicuci tiap hari, katanya.
Yang menarik dari pembicaraanku dengan Tinem barusan adalah, suaminya pencemburu. Sedangkan Mas Tris sebaliknya.