Aku tidak tahu apakah Mas Tris itu seorang lelaki cuckold atau bagaimana. Yang jelas peristiwaku dengan Dimas itu membuat birahi Mas Tris bergolak terus. Dalam semalam dia bisa menghabiskan 2 atau 3 “porsi” yang biasanya “disantap” seminggu sekali.
Sebelum terbang ke Depasar, Mas Tris bahkan berkata padaku, bahwa aku boleh ditemani oleh Dimas tiap malam sekali pun selama Mas Tris masih berada di Denpasar.
Dan aku laksana seorang pencuri yang diijinkan mencuri oleh polisi. Tentu saja dengan tenang dan nyaman aku jadi bisa menguras kejantanan Dimas selama Mas Tris berada di Denpasar.
Setiap pulang kerja, Dimas tidak pulang ke rumah kontrakannya, tapi langsung menuju rumahku. Aku pun menyambutnya dengan masakan yang kubuat sendiri, untuk makan bersama Dimas.
Setelah beristirahat barang sejam, Dimas kembali menyetubuhiku sepuasnya. Aku pun habis – habisan menguras kejantanan Dimas dengan perasaan tenang dan nyaman. Karena aku sudah mendapatkan ijin khusus dari suamiku.
Setiap malam aku dan Dimas laksana sepasang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madu.
Namun setelah Mas Tris pulang dari Denpasar, terpaksa kebiasaan yang sangat menyenangkan hatiku itu dihentikan dahulu. Dengan janji bahwa kalau Mas Tris ke luar kota atau keluar provinsi lagi, aku akan mengadakan rendezvous lagi bersma Dimas tersayang.
Tapi ada sesuatu yang mengejutkanku setelah Mas Tris berada di rumah kembali. Ternyata Mas Tris memasang kamera cctv di dalam kamarku. Maka setelah diputar kembali di monitor yang terletak di ruang kerjanya, aku jadi malu sendiri. Karena semua adeganku bersama Dimas selama ini tertayang di monitor itu…
Aku malu sekali. Karena kelihatan sekali betapa binalnya diriku waktu berhubungan sex dengan Dimas yang demikian seringnya itu.
Malu aku sama Mas Tris. Malu sekali.
Tetapi tayangan di monitor cctv itu justru dijadikan semacam perangsang bagi Mas Tris. Bahkan setiap kali mau menyetubuhiku, Mas Tris selalu memutar kembali adegan binalku waktu disetubuhi oleh Dimas itu. Lalu Mas Tris jadi sangat bergairah untuk menyetubuhiku…!
Mas Tris pun berterus terang pada suatu hari, tentang masa lalunya yang penuh hura – hura. Antara lain dalam soal sex.
Saat itu Mas Tris dan teman – temannya sering minum minuman keras. Setelah mulai mabok, mereka selalu saja berhasil mendapatkan cewek untuk menjadi pelampiasan nafsu mereka. Lalu mereka meng-gangbang cewek itu. Dan Mas Tris selalu minta jatah paling akhir saja. Karena dia sangat syur melihat teman – temannya menyetubuhi cewek itu secara bergiliran.
Maka ketika tiba giliran Mas Tris untuk menyetubuhi cewek amatir itu, nafsunya sudah full. Sehingga Mas Tris selalu puas melakukannya.
Maka ketika aku mengatakan fantasi liarku yang sedang ngidam ini, Mas Tris seolah punya jalan untuk melakukan kebiasaan di masa mudanya itu. Ingin melihatku disetubuhi oleh orang lain, yang lalu mengobarkan nafsu birahi Mas Tris lebih dari biasanya.
Aku tak mau melontarkan kritik sepatah kata pun. Karena kebiasaan masa lalu Mas Tris yang kini terulang lagi itu, justru membuatku leluasa disetubuhi oleh Dimas. Dengan kata lain, kebiasaan Mas Tris itu justru membuatku enjoy… angat enjoy.
Tapi masalah yang tidak diduga – duga pun terjadi.
Dimas dimutasikan ke Medan, dengan kedudukan dan gaji yang naik drastis.
Sedih juga aku dibuatnya. Karena biar bagaimana pun juga Dimas sudah memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh Mas Tris. Tentu saja Dimas jauh lebih segar daripada Mas Tris, meski aku tak berani mengatakan hal itu kepada suamiku.
Mas Tris pun tampak merasa kehilangan setelah Dimas dipindahkan ke Medan itu.
Tapi Mas Tris berjanji akan mencari lagi lelaki yang kira – kira sama “nilainya” dengan Dimas. Aku tidak menolak, tapi mengiyakan pun tidak.
Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya. Sampai pada suatu hari…
Dengan seizin Mas Tris, sore itu aku berangkat ke rumah Mama, yang letaknya sekitar 30 kilometer dari rumahku. Sengaja aku tidak menelepon Mama dulu, karena ingin membuat surprise.
Setibanya di rumah Mama, malah Papa tiriku yang asli Jerman itu yang membuka pintu depan.
“Putry?!” tanya lelaki bule yang usianya hanya 5 tahun lebih tua dariku itu, “Sama siapa?”
“Sendirian aja Pap,” ucapku yang lalu cipika cipiki dengan ayah tiriku yang usianya 13 tahun lebih muda daripada Mama itu.
Memang nasib Mama terbalik kalau dibandingkan denganku. Mas Tris yang usianya 45 tahun menikah denganku yang baru 25 tahun. Sedangkan Mama yang usianya 43 tahun malah bersuamikan Papa Edgar yang usianya baru 30 tahun.
Pada waktu menikah dengan lelaki bule berbadan tinggi besar yang sudah WNI itu, usia Mama sudah 40 tahun. Sementara lelaki bernama Edgar itu baru berusia 27 tahun. Berarti pada saat aku sedang hamil muda ini, Papa Edgar baru 30 tahun, sementara Mama sudah 43 tahun. Dan Mas Tris dua tahun lebih tua daripada mertuanya (Mama).
“Lho… Mama mana Pap?” tanyaku setelah mencari Mama ke kamarnya tidak ada.
Papa yang sedang duduk di sofa ruang keluarga menyahut, “Baru aja mau ngasih tau, Mama lagi ke Semarang. Biasa… lagi ngurus bisnisnya. Kenapa tadi gak nelepon dulu sama Mama?”
“Tadinya aku mau ngasih surprise sama Mama. Makanya gak nelepon dulu,” sahutku sambil duduk dengan sikap manja di samping ayah tiriku yang penyabar itu. Aku bahkan merebahkan kepalaku di atas kedua paha lelaki bule itu.
Aku tahu seluk beluk bisnis Mama, yang terkadang harus berangkat ke luar provinsi untuk mengurusnya. Aku juga tahu bahwa bisnis Mama itu dimodali oleh Papa Edgar. Karena Papa Edgar menanam saham di sebuah perusahaan besar. Lalu hasilnya mengalir terus ke tangan Papa, tanpa harus ikut – ikutan sibuk di perusahaan itu.
“Besok malam juga Mama pulang. Tidur aja di sini daripada capek bolak – balik. Mau ngasih surprise apa sama Mama?” tanya Papa.
“Aku lagi hamil muda Pap.”
“Haaa?! Kamu belum kelihatan hamil. Udah berapa bulan hamilnya?”
“Baru mau tiga bulan. Memang belum kelihatan. Makanya aku belum pakai baju hamil.”
“Seneng denger kamu hamil,” ucap Papa sambil mengusap-usap rambutku, “Aku keduluan sama kamu. Mama belum hamil – hamil juga.”
“Di usia segitu masih bisa hamil Pap?”
“Masih bisa. Tapi pada waktu melahirkan, mungkin harus dicezar, supaya aman.”
“Oh iya… Tante Miriam juga tempo hari melahirkan lagi anak ketiganya. Umur Tante Miriam kan cuma setahun lebih muda dari Mama.”
“Temanku juga banyak yang melahirkan di usia lebih dari empatpuluh tahun.”
“Tapi Papa pasti ingin merasakan nikmatnya perempuan yang sedang hamil ya.”
“Itu juga salah satu keinginanku, di samping ingin punya keturunan juga.”
“Ohya… nanti kalau aku tidur di sini di kamar mana Pap?”
“Kamar kamu kan masih ada. Belum pernah dipakai sama orang lain.”
“Kalau Yudah pulang, di mana tidurnya?”
“Di kamar paling depan itu. Kan Yudah kamarnya di situ.”
Mendadak aku teringat pada adikku satu – satunya itu, yang kuliahnya di Surabaya. “Yudah kapan selesai kuliahnya Pap?”
”Skripsinya udah selesai. Tinggal nunggu sidang aja. Kalau lulus, tahun ini juga diwisuda,” sahut Papa sambil membelai rambutku dengan lembut.
“Syukurlah. Setelah diwisuda dia kan bisa langsung kerja, karena sudah ada perusahaan besar yang akan merekrut dia.”
Aku terdiam. Sambil menikmati lembutnya belaian Papa Edgar. Mungkin kelembutannya itu karena merasa aku ini seperti anak kandungnya, meski usianya cuma lebih tua 5 tahun dariku.
Tapi… lagi – lagi fantasi liarku menggoda lagi. Apakah ini karena aku ngidam, atau karena sudah terbiasa digauli oleh Dimas dengan seizin suamiku? Entahlah. Yang jelas aku mulai membayangkan seandainya Papa menyetubuhiku… ooooh… kenapa aku jadi membayangkan hal gila itu? Kenapa aku malah membayangkan penis bule yang belum pernah kurasakan?
Memang gila. Tapi kemudian aku berkata, “Pap… pengen nyobain vagina wanita hamil nggak?”
“Haa?” Papa menatapku, “Mama kan belum bisa hamil juga.”
“Aku mau kok disetubuhi sama Papa, sebagai ganti Mama…”
Papa menatapku lagi. Seperti tak percaya pada pendengaranku sendiri.
“Mau nggak Pap? Kalau mau, aku mau nginap di sini sekarang. Tidurnya bersama Papa.”
“Mau Sayang. Tapi nanti jangan sampai Mama tau ya.”
“Ya iya lah. Aku juga takut kalau ketahuan Mama sih. Ini rahasia kita berdua aja Pap. Soalnya aku pengen juga ngerasain penis bule… hihihiii…” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Papa.
Papa mengangkat dan membopong tubuhku ke dalam kamarnya. Lalu diletakkannya tubuhku dengan hati – hati di atas bed yang biasa dipakai oleh Papa dan Mama.
Di situlah Papa menggumuliku disertai bisikan, “Sebenarnya sejak lama aku menunggu kesempatan baik ini. Tapi baru sekarang bisa terwujud… dalam keadaan sedang hamil muda pula.”
Aku cuma tersenyum. Padahal aku sejak Papa Edgar menikah dengan Mama, aku jadi sering membayangkan tentang sesuatu yang belum pernah kulihat di alam nyata… tentang bentuk batang kemaluan lelaki bule…!
Kini aku akan menyaksikannya seperti apa kontol bule itu. Dan akan menikmatinya, seperti apa rasanya digenjot oleh kontol bule itu.
Ternyata Papa Edgar tak cuma lembut membelai rambutku, tetapi juga terasa hangat waktu mencumbuku. Dan kalau kunilai secara kasat mata, Papa Edgar lebih “berbobot” daripada Dimas yang masih terlalu lugu itu.
Ketika aku sudah tinggal mengenakan beha yang bersatu dengan korset berwarna hitam, Papa Edgar tak sabaran lagi untuk menjilati memekku yang kebetulan habis dicukur gundul. Padahal dia masih mengenakan celana jeans dan baju kaus hitam.
Aku pun menggeliat – geliat dibuatnya. Karena Papa terlalu trampil dalam menjilati kemaluanku. Bahkan ketika ia menjilati kelentitku, dua jari tangannya pun diselundupkan ke dalam liang memekku.
Oooohhh… aku tergetar – getar dalam amukan nafsu birahiku yang mulai tak terkendalikan ini.
Pada waktu Papa Edgar melepaskan celana jeans dan celana dalamnya, aku pun langsung menangkap kontol bulenya yang panjang dan gede sekali, tapi belum benar – benar ngaceng.
Aku pun sering melihat dari bokep, bahwa orang bule selalu harus dimulai dengan permainan oral. Senang mengawali ML dalam posisi doggy pula.
Maka dengan tangan agak gemetaran kupegang penis Papa. Dan lalu kujilati leher serta moncongnya. Kemudian kumasukkan ke dalam mulutku.
Aku sudah cukup tram, pil dalam hal oral – oralan sih. Karena Mas Tris juga baru bisa ereksi setelah kuoral dulu abis – abisan.
Tapi penis yang sedang kuoral ini sungguh beda… baik warnanya mau pun ukurannya. Penis Papa Edgar ini… gede bingit…!
Tapi hal itu pula yang membuatku sangat bersemangat untuk mennyedot dan menggelutinya dengan lidah di dalam mulutku. Sambil mengalirkan air liur ke badan penis putihnya. Air liur ini sangat berguna, karena aku pun menggunakan jemariku untuk mengurut – urutnya.
Dalam tempo singkat saja penis putih panjang gede itu sudah benar – benar tegang. Maka aku pun melepaskan beha korset hitamku, lalu aku menungging di atas kasur.
Papa Edgar pun mengerti. Mungkin dia senang, karena orang bule sangat suka mengentot dalam posisi doggy atau sambil berdiri membelakanginya. Kesimpulannya, mereka sangat suka mengentot dari belakang.
Dalam keadaan hamil muda begini, memang posisi doggy ini termasuk aman bagiku. Karena perutku takkan tergencet oleh perut Papa Edgar.
Lalu kurasakan penis panjang gede itu menyelusup ke dalam liang kewanitaanku.
“Ooooohhhh… Papaaaaa… ini enak sekali Paaaap… “rintihku ketika penis Papa sudah mulai mengentot liang memekku…!
Bersambung…