Sekalipun begitu aku juga merasa sedikit lega, karena walaupun cukup sering bergonta-ganti pacar, namun ternyata adikku tidak pernah terlampau jauh dalam hal berpacaran.
“Ya udah Teteh bolehin deh. Tapi inget! Amar cuma boleh pegang bagian luarnya aja yah…” akhirnya aku mengiyakan karena adikku sudah berjanji ‘hanya’ akan memegang vaginaku saja.
Deg-degan sekaligus penasaran juga rasanya. Tangan adikku lalu semakin mendekati kemaluanku yang halus tanpa bulu itu. Di saat bibir vaginaku sudah tersentuh oleh tangannya aku merasa geli sekali.
Aku melihat penisnya sudah keras sekali, kini warna kepala penisnya jauh lebih kehitaman dan lebih licin dibandingkan dengan sebelumnya. Hangatnya tangan adikku sudah terasa melingkupi vaginaku.
Geli sekali rasanya saat bibir vaginaku tersentuh telapak tangannya. Geli-geli nikmat pada syaraf vaginaku. Aku jadi semakin terangsang sehingga tanpa dapat ditahan, vaginaku mengeluarkan cairan.
“Teteh terangsang ya?” tanya adikku.
“Enak aja…!! Mana bisa Teteh terangsang sama kamu Mar…” jawabku sambil berusaha merapatkan vaginaku agar cairannya tidak semakin keluar.
“Ini memek Teteh kok sampe basah kayak gini?” selidiknya.
“Kamu jangan sok tau deh Mar! Itu kan sisa air pipis Teteh…” kataku berkilah.
“Teteh nggak usah bohongin Amar deh…” jawabnya.
“Iih… Siapa juga yang bohong? Emang beneran bukan kok…!” aku tetap tidak mau mengakui kalau sentuhan tangannya semakin membuat birahiku naik.
“Teh… Memek Teteh tuh rasanya anget, empuk dan basah yah…” Kata adikku sambil terus memegang vaginaku.
“Emang kayak gitu Mar! Udah belum megangnya? Teteh pengen cepet keluar dari kamar mandi nih…!” kataku seperti menginginkan situasi ini berhenti.
Padahal sebenarnya aku sangat ingin tangan adikku tetap berada di vaginaku. Bahkan aku berharap kalau tangannya juga mulai bergerak untuk menggesek-gesek bibir vaginaku.
“Teh, Amar boleh gesek-gesek memek Teteh nggak?” pinta adikku yang sepertinya bisa mengerti keinginanku.
“Tuh kan! Tadi katanya cuma mau pegang-pegang aja…” aku pura-pura tidak mau.
“Gesek dikit aja kok Teh…! Boleh yaaa..!??” rengek adikku seperti anak kecil minta dibelikan mainan.
“Terserah Amar aja deh! Tapi Amar janji yah nggak akan bilang siapa-siapa tentang kejadian ini…” aku pun akhirnya mengiyakan permintaan adikku dengan hati berdebar-debar.
Amar pun mengangguk cepat tanda menyanggupi permintaanku barusan. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi tangan adikku semakin masuk hingga aku merasa bibir vaginaku juga ikut terbawa ke dalam.
Hampir saja aku mendesah karena rasanya nikmat sekali. Otot di dalam vaginaku mulai terasa berdenyut-denyut. Lalu adikku menarik tangannya keluar lagi, bibir vaginaku pun jadi ikut tertarik.
“Aaaaaaahhh…” akhirnya keluar juga desahanku karena tidak sanggup lagi menahan rasa nikmat yang timbul pada vaginaku.
Saat ini badanku sungguh terasa lemas sekali hingga mulai mengarah jatuh ke depan. Karena merasa tidak kuat berdiri, maka tanganku bertumpu pada bahu adikku.
“Aaaahhh… Uuummhhh… Maaaaar…!!” tubuhku semakin panas dan tanpa sadar aku melebarkan kedua pahaku supaya tangan Amar dapat lebih leluasa.
“Enak ya Teh memeknya Amar giniin…?” tanya adikku sambil terus menggesek-gesekan tangannya.
“I-Iyaahh… Enaaak bangeeet Maaar!! Aaaahhh…” jawabku jujur sambil memejamkan mata karena saking nikmatnya.
Tangan adikku lalu mulai maju dan mundur, kadang klitorisku tersentuh oleh telapak tangannya. Tiap tersentuh rasanya nikmat luar biasa, badan ini akan tersentak ke depan. Jari-jari adikku juga sekarang sudah mulai masuk ke dalam vaginaku. Rasanya sungguh nikmat!
“Mar… Coba jari kamu masuk lebih dalem lagi ke vagina Teteh… Cari daging yang… Aaaaaaahh…!!” desahku kencang karena saat itu jari Amar tanpa sengaja menyentuh bagian klitorisku yang sangat sensitif.
“Aduh… Sakit ya Teh? Maaf ya… Amar nggak sengaja…” kata adikku dengan nada bersalah sambil menarik jarinya dari dalam vaginaku.
“Siapa yang nyuruh keluarin jari kamu sih Mar!?” bentakku sambil memegangi lengan adikku.
“Loh kok!? Bukannya Teteh kesakitan tadi?” jawab adikku dengan wajah kebingungan.
“Itu tadi yang namanya klitoris, titik paling sensitif pada vagina cewek, coba kamu gosok pelan-pelan. Yaaahh… Aaaahhh… Kayaaaak gituu…” kataku sambil terus menikmati sentuhan jarinya.
“Jadi kalo Amar giniin rasanya enak ya Teh?” tanya adikku yang terus menggosokkan jarinya pada daging kecil itu.
“He-eh… E-eenaaaak ba-bangeeeet…” jawabku pelan.
Tangan adikku terus mengorek-ngorek vaginaku dengan diiringi nafasnya yang semakin memburu. Sekarang pasti jari-jari tangan Amar sudah terkena cairan dari kemaluanku.
“Maaar… Udah dulu pake jarinya yah… Teteeeh nggak tahan lagi… Geli bangeeet…” aku menarik tangan Amar.
Dengan tersenyum nakal adikku memperlihatkan jari tangannya yang basah “Tapi enak kan Teh?”
“I-iya enak kok…! Tapi sekarang Amar jilatin vagina Teteh dong…” pintaku tanpa malu-malu lagi.
Amar menurut saja apa yang disuruh olehku, ia menunduk hingga mulutnya sejajar dengan vaginaku. Aroma kewanitaanku pasti langsung tercium olehnya begitu aku lebih melebarkan lagi pahaku supaya Amar dapat leluasa menjilatinya.
Mata Amar melotot melihat pemandangan yang indah itu dari dekat. Bibir vaginaku masih tertutup benar-benar rapat. Tak usah dikatakan, pasti semua lelaki langsung tahu kalau vaginaku belum pernah dijamah sama sekali bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Tanpa buang waktu lagi adikku menunduk dan menempatkan wajahnya di depan selangkanganku yang telah berlendir. Hembusan nafas adikku semakin terasa ketika wajahnya mulai mendekati vaginaku.
“Eeeeemmhhh…” desahku saat Amar mulai menciumi bagian kewanitaanku.
“Memek Teteh wangi banget…” puji Amar sambil menghirup aroma yang di timbulkan oleh vaginaku yang memang sering aku rawat.
“Ayo Mar jangan cuma diciumin aja!! Jilatin vagina Teteh sepuas Amar…” pintaku saat sudah semakin terangsang.
Adikku lalu mulai menjilati bibir vaginaku yang sudah basah karena terangsang berat. Mula-mula dia agak canggung melakukannya, namun lama-lama dia semakin terbiasa dan mulai menikmati tugasnya.
Aku merapatkan kedua kakiku ketika Amar mulai menjilati rongga dalam vaginaku. Sementara itu aku menggunakan tangan kiriku untuk meremas-remas kedua buah payudaraku secara bergantian, sedangkan kugunakan tangan kananku untuk mengarahkan kepala adikku agar menjilati daerah yang tepat.
“Iyah… Disitu Maaar… Mmmmhh… I-iyaaah disituuuu… Enaaak banget Maar!!” desahku kencang karena merasa begitu nikmat.
Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Amar pada vaginaku, lidahnya bergerak-gerak seperti ular di dalam vaginaku. Daging kecil sensitifku juga tidak luput dari sapuan lidahnya, kadang diselingi dengan hisapan pelan.
Hal ini membuat tubuhku menggeliat-geliat, mataku terpejam dan badanku terasa melayang-layang di langit menghayati permainan ini.
“Mmmmmhhh… Ammmaaaaarrr…” aku merasakan sensasi luar biasa yang bersumber dari vaginaku.
Tidak pernah terpikir olehku, rasa nikmat yang sangat hebat bisa ditimbulkan dari alat kelaminku yang sedang diciumi dan dijilati oleh adikku. Tubuhku mengejang setiap kali lidah Amar mengenai klitorisku.
Rasanya seperti ada yang mau meledak dari dalam tubuhku dan ingin keluar melalui alat kelaminku, tapi kali ini rasanya lebih mendesak dan dorongannya lebih kuat dari sebelumnya.
Sedikit demi sedikit lidah Amar mulai terlatih dalam melakukan oral seks. Lidah adikku menyapu bibir vagina dan menggelitik klitorisku sampai aku menggeliat-geliat dan mendesah nikmat.
“Te-teeruuuuuss… Maaaaar…! Se-sedikiiit lagiiii…!!” kataku terbata-bata karena sudah hampir mencapai orgasme.
Melihat ekspresi dan desahanku, Amar semakin bernafsu menjilati vaginaku.
“Eennnnghhh… Teteeh keluaaaarr!! Aaaaaahh…” aku melenguh nikmat saat aku benar-benar sudah mencapai orgasme.
Kakiku mengejang dan hampir saja terjatuh kalau tidak bertumpu pada bahu adikku. Meskipun masih terbuai di dalam kenikmatan, aku masih bisa berpikir untuk melihat ke arah adikku yang sedang menyeruput cairan dari alat kelaminku. Amar kelihatan sangat menikmati cairan yang terus mengalir dari vaginaku.
“Cairan memeknya Teteh enak banget deh…!!” kata adikku saat berhenti menyeruput dan meringankan beban birahiku untuk sementara waktu.
Amar kemudian melanjutkan menyeruput cairan vaginaku yang masih terus mengalir keluar. Sensasi bahwa yang sedang mengeluarkan cairan vaginaku adalah adik kandungku sendiri membuat vaginaku keluar dalam jumlah banyak seperti bendungan yang sedang bocor.
Setelah yakin, tidak ada lagi cairan vaginaku yang tersisa untuk dihisapnya, Amar bangkit lalu mulai membuka kaos yang menempel di tubuhku. Adikku mengangkat kaosku dengan terburu-buru, mungkin dia sudah tidak sabar untuk melihat tubuh kakaknya dalam keadaan bugil. Aku sendiri mengangkat tanganku membiarkan kaos itu lolos dari tubuhku.
‘Gleeeeekk’ aku dapat mendengar suara adikku menelan ludah dan matanya terlihat seperti mau keluar memandang tubuhku yang sekarang sudah tidak tertutup apa-apa lagi.
Tubuhku begitu mulus dengan payudara berukuran kecil, namun kencang. Ketika adikku sedang terbengong tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, aku meraih tangannya dan meletakkannya pada payudaraku.
Kemudian aku bimbing tangan adikku, yang masih terasa lengket oleh cairan vaginaku, untuk mulai membelai dan meremas payudaraku.
“Mmmmhhhh… Iya gitu Mar! Remasss pelan-pelaaan payudara Teteh, rasain putingnya mengeraaaas…” kataku sambil mengarahkan tangannya yang lain ke bagian punggungku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan kedua tanganku, jadi aku menggunakan kedua tanganku untuk mengelus-elus kepala adikku yang sedang menjelajahi setiap bagian dari kedua buah payudaraku. Aku memejamkan mata menikmati belaian tangan adikku, belaian itu kadang terkesan ragu-ragu tapi semakin membuat birahiku naik.
“Aaaaaaaahh… Aaaaaahh… Aaaaaaaaahh…” aku terus mendesah.
Tanpa harus dibimbing lagi, sambil sedikit menunduk adikku mengenyoti payudaraku sampai pipinya yang tirus terlihat semakin kempot. Lidahnya juga menyapu-nyapu putingnya menyebabkan aku semakin terangsang. Aku memegangi kepala adikku dan menekan-nekan wajahnya ke payudaraku seolah memintanya terus melakukannya.
“Mmmmmmmhhh… Maaaar… Isepiiiin yang satu lagiiii… Aaaaaaaaah…” erangku keenakan.
Adikku kini menghisap payudara kananku sedangkan tangannya meremasi payudara yang lain. Disedotnya putingku dengan buas menyebabkan benda itu semakin membengkak.
Lidahnya terasa menari-nari dengan liar, membuatku semakin tidak bisa mengontrol diri. Tubuhku serasa lemas tak berdaya, pasrah membiarkan adikku menjilati payudaraku.
“Ooooohhh… Mar!! Jangan keras-keraaas!!” aku meringis dan menjenggut rambut adikku ketika putingku mulai digigit olehnya.
Kenikmatan yang semakin melambungkannya membuat adikku lupa diri hingga tidak terasa putingku yang sedang dihisapnya tergigit pelan.
“Maaf Teh, Amar nggak sengaja… Abis rasanya enak banget sih…” tidak dapat disangkal rasa nyeri itu turut bercampur menjadi bagian dari kenikmatan antara aku dan adikku.
“Rasa toketnya Teteh enak!! Amar suka banget ngisepnya Teh…!” kata adikku lalu kembali mengulum putingku yang semakin mencuat keluar.
“Iyaaahhh Mar…! Teteh juga suka diisep Amaar… Teruuuuus… Kayak gitu enaaaaak… Aaaahhh… Aaaaahhh!!” desahku.
Setelah kedua payudaraku sudah terbaluri air liur adikku, tangannya mulai aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, jari-jarinya sudah mulai memasuki vaginaku lagi dan menggelitik bagian dalamnya.
Aku menutup mataku dan mulai mendesah saat jarinya yang sekarang sudah cukup terlatih, menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada daging kecil itu. Aku merasakan sensasi geli yang luar biasa sehingga tubuhku mengejang dan pahaku merapat mengapit tangannya.
“Aaaaaaaaaaaahh…” desahku saat jari tengah Amar bergerak naik-turun di belahan bibir vagina sambil mengelus-elus pangkal pahaku yang sudah mulai terasa panas lagi.
Sedang enak-enaknya menikmati rangsangan yang diberikan pada payudara dan vaginaku, tiba-tiba adikku berkata “Teh, gantian dong bikin Amar enak…”
“Emangnya Amar mau Teteh apain?” jawabku sambil membuka mata.
“Kocokin kontol Amar dong Teh…” katanya sambil tangannya menuntun tanganku ke arah penisnya.
Bersambung…