Cerita Sex Gairah Ibu Hamil – Kisah ini adalah true story, yang sudah mendapat ijin untuk diungkapkan sedetail mungkin. Tapi nama pelaku dan nama tempat sudah disamarkan, demi menjaga nama baik semua pihak. Semoga berkenan dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Namaku Putry (nama samaran). Pada awal kisah ini terjadi, usiaku 25 tahun dan sudah menikah dengan seorang duda yang usianya hampir dua kali lipat umurku. Ya ketika Mas Trisno menikahiku, usianya sudah 45 tahun. Ia ditinggal mati oleh istrinya yang menderita penyakit gagal ginjal.
Dari mendiang istri pertamanya, Mas Tris mempunyai dua orang anak laki-laki, yang pada waktu aku baru menikah usia anak tiriku itu baru 18 tahun dan 19 tahun. Yang sulung bernama Yanu. Adiknya bernama Kendo. Tapi mereka tidak tinggal bersamaku, karena yang sulung kuliah di Jakarta, sementara Kendo tinggal bersama tantenya (adik ibunya almarhumah).
Tersange Perkawinanku dengan Mas Trisno berjalan mulus dan berselimutkan kebahagiaan. Kehidupan kami lumayan berkecukupan, karena Mas Tris seorang manager marketing di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Dengan sendirinya gaji dan penghasilan tambahan Mas Tris cukup besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan banyak lebihnya.
Yang membuatku bahagia adalah perilaku Mas Tris kepadaku. Katakanlah ia sangat memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu saja dikabulkannya. Namun tentu saja permintaan-permintaanku selalu yang masuk di akal.
Tadinya Mas Tris dan aku dijodohkan oleh tanteku (adik Papa). Aku pun manut saja kepada Tante Eka, demikian nama adik Papa itu. Karena usiaku sudah 24 tahun, dalam keadaan menganggur pula. Kerja gak, kuliah pun gak.
Katakanlah perkawinanku dengan Mas Tris bukan berdasarkan cinta. Tapi lama kelamaan perasaan sayangku padanya mulai tumbuh. Terutama karena aku sudah merasakan betapa baiknya suamiku itu.
Cinta kami pun berbunga dan berbuah. Aku mulai telat menstruasi. Dan setelah memeriksakan diri ke dokter, aku dinyatakan positif hamil.
Mas Tris tampak senang sekali mendengar berita kehamilanku. Ia menciumi pipiku sambil membelai rambutku dengan lembut.
Sejak hari itu Mas Tris semakin memanjakanku. Setiap pulang dari kantor, selalu ada saja makanan kegemaranku yang dibelinya, lalu diberikannya padaku.
Tapi tahukah suamiku bahwa dalam masa ngidam ini aku terus-terusan digoda oleh mimpi aneh ini? Apakah hal ini pernah terjadi juga pada wanita lain di masa ngidamnya? Lalu… apakah aku harus berterus terang kepada suamiku tentang mimpi-mimpi gila yang lalu menjadi obsesiku ini?
Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku ingin menceritakan hal itu kepada suamiku, tapi aku takut… takut suamiku marah dan lalu membuatnya tidak menyayangiku lagi. Tapi kenapa aku terus-terusan digoda oleh bayangan tentang adegan di dalam mimpi itu?
Sampai pada suatu sore, suamiku pulang dari kantor sambil membawa makanan kegemaranku. Namun sejak aku digoda oleh khayalan aneh itu, makanan apa pun tiada yang menerbitkan seleraku.
“Dalam beberapa hari ini makanan kegemaran Adek gak pernah disentuh. Kenapa sayang?” tanya suamiku sambil mengusap-usap rambutku (dia biasa memanggil “Adek” padaku).
Aku tak menjawabnya. Cuma tersenyum lirih.
“Biasanya kalau hamil muda kan suka ngidam. Apakah Adek ada yang diinginkan?” tanyanya lagi.
“Ada,” aku mengangguk sambil tersenyum manja, “tapi bukan makanan.”
“Ohya?! Pengen apa? Ngomong aja terus terang.”
“Gak ah. Takut Mas marah.”
“Kenapa harus marah?”
“Soalnya keinginanku ini gak wajar Mas.”
“Iya gakpapa. Istri yang lagi ngidam memang suka ada yang aneh-aneh keinginannya. Ada yang minta makan bubuk genteng, ada yang pengen disuapin seperti bayi, ada yang pengen mainin cacing dan banyak lagi. Lantas Adek pengen apa?”
“Aaah… takut Mas marah.”
“Gak… aku janji takkan marah.”
“Beneran Mas takkan marah?”
“Iya.”
“Janji dulu Mas takkan marah.”
“Barusan aku kan udah janji takkan marah. Katakan aja apa yang Adek idamkan?”
“Malu nyebutinnya Mas,” sahutku sambil menyandarkan kepalaku di bahu suamiku.
“Lho… kok malu? Sebutin aja, sayang. Kan aku udah janji takkan marah, apa pun permintaan Adek akan kukabulkan.”
“Mas… aku… aku ingin…” ucapanku tersendat di tenggorokan, karena aku tahu bahwa apa yang kuinginkan ini bukan hal yang biasa.
“Lho… kok ngomongnya sepotong-sepotong?”
“Mmm… mulanya aku mimpi aneh Mas… mimpi… mimpiin megang titit Dimas.”
“Ohya?! Terus?”
“Gak tau kenapa aku harus mimpi seperti itu. Dan… sejak mimpi itu aku jadi… jadi ngebayangin terus… ngebayangin megang titit Dimas… tapi Mas jangan marah ya…”
Mas Tris tampak seperti heran. Tapi sesaat kemudian ia menepuk bahuku sambil berkata, “Gampang itu sih. Nanti Dimas kupanggil dan apa yang Adek idamkan pasti tercapai. Tenang aja.”
“Bener Mas? Jadi… jadi Mas gak marah?”
“Gak…” Mas Tris menggeleng, “Kan udah kubilang, perempuan yang sedang ngidam suka punya keinginan yang aneh-aneh.”
Aku tertunduk. Ada perasaan malu bercampur haru, karena sikap suamiku tampak biasa-biasa saja. Padahal keinginanku ini lain dari yang lain. Seharusnya suamiku geram, kesal, cemburu dan sebagainya.
Tapi dia tampak santai saja. Bahkan tanpa kuduga-duga ia mengeluarkan hapenya. Dan… alangkah mengejutkannya ketika kudengar suara suamiku di dekat hapenya: “Dimas!
Setelah suamiku meletakkan hapenya di atas meja riasku, aku memegang pergelangan tangannya. “Mas… secepat itu memanggil Dimas ke sini?”
“Keinginan istri ngidam harus segera dilaksanakan, supaya anaknya gak ngeces kelak,” sahutnya sambil mengecup dahiku.
“Terus… apa yang harus kulakukan nanti Mas?”
“Lho… kok nanya sama aku? Lakukan aja apa yang Adek mau.”
“Aku cuma pengen lihat dan megang penisnya.”
“Megang penisnya sampai ereksi kan?”
“Mmm… iya Mas,” sahutku jujur. Memang aku takkan suka kalau penis anak buah suamiku itu tidak ereksi. Apa enaknya megangin penis yang terkulai lemas?
“Kalau penisnya gak tegang, remas-remas aja seperti kalau Adek sedang merangsangku.”
Aku termangu. Ucapan-ucapan suamiku dilontarkan begitu santainya, seolah tiada sesuatu yang luar biasa baginya.
“Mas,” kataku sesaat kemudian, “aku mau mandi dulu, boleh gak?”
“Iya, mandilah sebersih mungkin. Adek harus kelihatan secantik dan semenarik mungkin. Kalau Adek kelihatan kusut, bisa lemes titit si Dimas nanti. Hahahaa…”
Aku tersipu. Lalu melangkah ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi aku tercenung di depan cermin besar yang menempel di dinding keramik. Lalu kutanggalkan segala yang melekat di tubuhku sampai telanjang. Kehamilanku baru enam minggu, jadi perutku biasa-biasa saja, belum buncit.
Kupandang bayangan sekujur tubuh telanjangku di depan cermin. Tubuh yang mulus, tanpa noda setitik pun, dengan kulit yang putih kekuning-kuningan. Sementara mataku juga agak sipit, sehingga pantaslah kalau orang-orang mengiraku amoy.
Ya, aku ingat benar, teman sekelasku dulu suka menjulukiku “amoy”, karena wajah dan kulitku mirip orang Tionghoa. Padahal aku asli Indonesia.
Tubuhku tinggi tegap, dengan sepasang payudara yang berukuran sedang-sedang saja, namun masih padat sekali. Dahulu aku pernah bercita-cita ingin menjadi seorang polwan. Tapi banyak temanku yang bilang, bahwa aku terlalu cantik untuk menjadi seorang polwan.
Lagian sikap dan perilakuku terlalu lemah gemulai, sehingga Santi (teman sekelasku) pernah berkata, “Kamu lebih cocok daftar jadi pramugari atau gadis model Lus.
Tapi seringnya terjadi kecelakaan pesawat terbang membuatku takut, tak berani mendaftarkan diri jadi pramugari. Jadi gadis model pun aku tak mau, karena sering tersiar berita negatif tentang para gadis model, yang ujung-ujungnya terjerumus ke jurang prostitusi terselubung.
Setelah mandi sebersih mungkin, tadinya aku mau berdandan seperti mau bepergian. Tapi setelah dipikir-pikir, aku tak mau terlalu kentara ingin menarik perhatian. Karena itu kukenakan kimono sutra putih polosku. Lalu bermake-up tipis, menyisir rambutku dan menyemprotkan parfum di beberapa bagian “penting”.
Baru saja aku selesai merapikan rambutku, Mas Tris masuk lagi ke dalam kamar. Dan berkata, “Dimas udah di jalan menuju ke sini.”
Aku degdegan juga mendengar laporan suamiku itu. Lalu bertanya, “Nanti sebatas apa yang boleh kulakukan Mas?”
“Apa pun boleh Adek lakukan. Bahkan kalau perlu… mengoralnya juga boleh. Asal jangan penetrasi aja,” sahut suamiku sambil tersenyum.
“Haaa?! Mengoralnya juga boleh?” cetusku sambil memegang pergelangan tangan suamiku.
“Boleh,” sahut suamiku bernada lembut, “Kan di depan mataku, mungkin Dimas takut-takut, sehingga penisnya sulit dibangkitkan. Langkah terakhir yang boleh Adek lakukan ya mengoralnya…”
“Tapi… kalau dia jadi nafsu gimana Mas?”
“Oral aja terus sampai ngecrot. Hehehee… terus terang, acara sebentar lagi ini membuatku jadi terangsang, Dek. Orang lain kan ada yang sengaja sharing wife atau swinger… sedangkan aku belum pernah melakukannya.”
“Jadi…?”
“Jadi sebenarnya aku juga merasa bersemangat saat ini. Makanya jangan canggung-canggung nanti ya. Lakukan aja semua yang Adek mau, yang penting jangan sampai penetrasi. Kan Adek sudah berpengalaman membuatku puas pada saat Adek lagi haid.”
Aku cuma mengangguk – angguk dengan perasaan tak menentu. Memang aku sering mengoral suamiku sampai ejakulasi pada saat aku sedang menstruasi. Tapi mungkinkah aku tega melakukannya kepada anak muda yang ganteng bernama Dimas itu… di depan suamiku pula?
Ketika aku masih termangu memikirkan semuanya itu, tiba-tiba terdengar bunyi bel berdentang-denting.
“Nah itu Dimas datang,” suamiku bangkit dari sofa di kamarku, “Adek tunggu aja di sini ya. Nanti kalau sudah ada kesepakatan, Dimas akan kuajak masuk ke sini. Santai aja ya sayang. Keinginanmu pasti terwujud.”
Aku mengangguk perlahan, dengan jantung memukul lebih kencang daripada biasanya.
Lalu suamiku keluar dari kamar. Dan aku duduk di sofa yang agak jauh dari bed. Lalu menyalakan tiviku, meski ingatanku ke arah Dimas terus.
Masa ngidamku memang aneh. Wanita lain di masa ngidamnya menginginkan makanan ini – itu. Tapi aku malah… ah… aku malu mengatakannya berulang-ulang. Untungnya aku punya suami yang bisa mengikuti jalan pikiran istrinya yang sedang ngidam ini. Kalau tidak, pasti bertengkar jadinya.
Agak lama suamiku berbincang-bincang dengan Dimas di ruang tamu. Mungkin suamiku sedang mengatur apa yang harus Dimas lakukan di dalam kamar ini nanti.
Sedangkan aku benar-benar degdegan menunggu mereka. Tapi tetap dengan harapan ingin agar fantasi ngidamku terwujud.
Dan ketika pintu kamarku dibuka oleh suamiku, aku semakin degdegan. Terlebih setelah tampak Dimas yang tampan itu melangkah masuk di belakang suamiku. Ada perasaan malu juga ketika bertemu pandang dengan Dimas yang muda rupawan itu. Namun kulihat ia pun tersipu-sipu, seperti malu juga.
Dan suamiku berkata, “Nah… semuanya sudah clear ya Dim. Seperti yang sudah diceritakan tadi, istriku sedang ngidam. Dan ngidamnya itu pengen megang penismu dalam keadaan ereksi.”
Dimas mengangguk-angguk kecil, tapi tampak seperti belum berani melihat mukaku.
“Nah.” suamiku melanjutkan,” aku sendiri malah bersemangat untuk mengabulkan keinginan ngidamnya istriku. Jadi sekarang apa pun boleh dilakukan, asalkan jangan penetrasi saja.”
“Ma… maksudnya gimana Mas?” tanya Dimas tampak bingung.
“Setelah penismu dipegang oleh istriku, segala kemungkinan kan bisa terjadi. Nah… dalam suasana seperti itu, apa pun boleh kalian lakukan. Yang gak boleh cuma penetrasi saja. Faham kan?”
“I… iya Mas …” Dimas mengangguk dengan sikap yang masih tampak bingung.
Aku terduduk rikuh di sofa yang agak jauh dari bed. Sementara Dimas tampak sedang menurunkan ritsleting celana jeansnya. Dan aku mulai degdegan. Tapi rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, ingin secepatnya menyaksikan dan memegang penis anak muda 25 tahunan itu.
Aku tak tahu kenapa ngidamku seperti ini. Malu sendiri aku menceritakannya. Tapi seandainya Mas Tris tidak meluluskan keinginanku, aku pun takkan memaksanya.
Bersambung…