Cerita Sex Perawan Tua – Namaku Bagus Hermanto. Kini aku berumur 25 thn. Aku mengenal seks sejak umur 18 thn. Diajari oleh Mbak Rena Saputri, mahasiswi S2 yang kos di rumahku, di Yogya. Tentu saja secara bertahap, dari pegang-pegang sampai…, tahu sendirilah. Pokoknya butuh tempo sampai 2 bulan baru bisa merasakan hubungan seks yang sebenarnya, bersetubuh dengan Mbak rena.
Setelah itu aku mencoba segala macam wanita, dari pelacur sampai wanita baik-baik. Rasanya sih, aku sudah mempunyai banyak pengalaman. Sudah mengerti semua. Cuma aku tidak pernah merasa kenyang, itu saja problemku.
Semua keyakinan diri itu akhirnya berubah ketika aku memperoleh kenikmatan hubungan badan dengan Mbak Indriani, seorang akuntan yang masih lajang dari suatu kota di Jateng yang pernah menjadi atasanku di tempat kerjaku di Jakarta.
Cerita Seks Mbak In, memang tidak tergolong cantik seperti layaknya bintang sinetron. Umurnya 42 tahun. Kulitnya hitam manis, tingginya sekitar 160 cm, mempunyai bentuk badan yang langsing dan mempunyai payudara yang kecil namun indah menantang.
Dulu rekan-rekan di kantorku, termasuk para wanitanya, secara sembunyi-sembunyi menyebut dia sebagai “si kulkas”. Soalnya dingin, pasif dan tidak hot. Pokoknya dia tidak masuk dalam daftar seleraku.
Tapi suatu hari di akhir tahun 1999, aku berjumpa lagi dengannya. Gara-garanya VW kodokku mogok di dekat rumahnya, sebuah paviliun di Kebayoran Baru itu. Saat itu hujan deras lama sekali. Aku menelepon taxi Blue Bird tapi tidak datang.
“Ya udah tunggu dulu aja, sambil ngobrol soalnya udah lama kita nggak ketemu”, katanya.
Mulanya kita ngobrol biasa. Taxi yang saya pesan belum juga datang. Padahal sudah jam 9 malam. Mbak In menawariku tidur di rumahnya saja, di sofa ruang tamu. Akupun setuju atas tawarannya, daripada repot, pikirku.
Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Setelah makan malam, kami masih bercerita tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku lancang nanya, “Kok Mbak tetep melajang sih?”.
Diapun cerita bahwa dirinya memang malas untuk menikah karena masih suka sendiri dan bebas. Buktinya dia bisa hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakannya sendiri. Kecuali pakaian tertentu yang dilaundry.
“Wah serba swalayan ya”, kataku.
“Termasuk soal tertentu yang khusus juga”, katanya sambil ketawa.
Aku kaget juga. Yang dia maksudkan pasti seks. Soalnya setahuku dia tidak pernah berbicara tentang seks, makanya dia dijuluki si kulkas.
Jam 11 malam aku mulai mengantuk. Mbak In meminjamiku celana dalam dan kaos oblong (keduanya masih baru, berukuran XL, karena itu sebetulnya oleh-oleh dari Bali untuk temannya), dan memberikan sikat gigi baru serta handuk, lalu dia masuk ke kamarnya sendiri.
“Selamat beristirahat. Kalau butuh pengantar tidur nyalakan terus saja TV-nya, tapi jangan keras-keras. Kalo kamu mau baca-baca ya silakan aja, Gus”, katanya.
“Makasih Mbak, good night”, kataku.
Setelah mandi, aku sendirian di ruang tamu itu. Sudah menjadi kebiasaanku kalau mau tidur harus diiringi oleh musik kaset/CD, atau radio, kadang juga TV. Lalu me-ngeset timer-nya sekitar satu jam sampai akhirnya aku tertidur. Tapi malam itu aku susah sekali untuk tidur. Mau membaca tapi mataku lelah sekali. Akhirnya akupun menyalakan TV, tapi acaranya jelek-jelek.
Akhirnya iseng-iseng aku dekati rak audio-video. Aku periksa ternyata CD playernya berisi tiga keping. Karena remang-remang aku tidak tahu itu CD audio atau VCD. Aku kembali ke sofa. Remote control compo dan TV aku bawa. Setelah aku klik remote-nya barulah ketahuan kalau isinya VCD. Lantas aku putar, lalu muncul opening scene.
Aduh!, Ternyata isinya BF, Judulnya aku lupa, tapi isinya berupa kumpulan adegan klimaks, jadi bukan cerita utuh. Asyik juga…, isinya cuplikan dari banyak film. Pembukaan pertama oral seks sampai air maninya keluar. Aku belum tegang, masih tetap tenang.
Adegan berikutnya mirip, begitu seterusnya, hingga adegan penis dimasukkan sampai dicabut waktu air maninya mau kaluar. Aku juga belum ereksi, hal ini di sebabkan karena aku sudah lelah dan mengantuk. Lagipula menonton VCD porno sudah sering kulakukan. Jadinya agak kebal juga.
Nah, potongan terakhir VCD itu dahsyat juga, sehingga membuat penisku menggeliat. Adegan 69. Yang banyak disorot bukan felatio (cewek mengisap cowok), tetapi cunnilingus (cowok mengisap vagina cewek). Aku sampai ereksi menyaksikan adegan tersebut, sehingga adegan itu ada yang aku ulangi sampai beberapa kali.
Aku ingin menikmati sampai puas sebelum si cowok di layar TV itu orgasme, sementara aku sendiri berharap bisa orgasme bersamaan dengan gambar di layar tersebut, karena aku mengelus-elus penisku sendiri. Aku perhatikan cara si cowok melayani si cewek. Hebat juga sampai ceweknya mennjerit-jerit.
Ketika adegan berganti, si cewek mengocok penis cowoknya sembari mengisap, mendadak ada tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah karena Mbak In sudah berada di belakangku. Yang bisa kulakukan saat itu cuma mematikan TV-nya, bukan VCD playernya. Lalu aku diam dan menunduk. Tapi Mbak In memegang pundakku dan berkata, “Kamu suka juga ya rupanya. Nggak apa-apa sih kan udah dewasa”.
Aku senyum, dan tidak berani melihat mukanya.
“Gus”, katanya, “Kamu udah sering gitu juga kan? Aku tahu kalo beberapa cewek di kantor kita dulu ada yang pernah kamu kencani…”.
Aku menatapnya. Mbak In ternyata cuma memakai lingerie satin putih tipis, berupa rok dalam pendek tanpa lengan dan celana dari bahan dan warna serupa.
“Kenapa tuh kolormu, kok ada yang berdiri?”.
Ah…, aku makin salah tingkah. Aku tersipu, karena penisku masih tegak.
“mm…, aku…, aku…, aku…, Mbak”, cuma itu yang bisa kuucapkan, sembari aku bangkit dari posisiku yang tadi tiduran di atas sofa.
Kemudian Mbak In duduk di sebelahku. “Aku tadi sempet tertidur sebentar. Tapi gara-gara petir aku terbangun, dan nggak bisa tidur lagi”, katanya.
“Lantas aku dengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Aku buka pintu pelan. Kamu nggak tahu ya?”.
“Ya Mbak”, kataku.
Kali ini aku sudah mulai tenang. Pantas saja aku tidak tahu kalau dia keluar dari kamar, pikirku. Soalnya kamarnya gelap, jadi waktu pintu dibuka tidak ada cahaya yang menerobos keluar.
“Aku liat diam-diam, ternyata kamu lagi asyik ngeliat itu ya. Aku liat tadi di adegan berikutnya kamu mengulang-ulang adegan, dan tanganmu meraba-raba celanamu…”.
“Ya Mbak”, cuma itu yang aku ucapkan.
“Yuk, putar lagi”, ajaknya.
“Nggak ah, malu”, balasku.
“Nggak apa-apa, Gus” katanya, lalu mengambil remote dari tanganku. TV menyala lagi. Lantas dia mengambil remote compo, dan memutar CD kedua.
“Tuh liat”, katanya.
Judulnya “Modern Kamasutra”. Isinya tidak ganas. Serba lembut…, tidak ada close up penis masuk vagina, tidak ada close up ejakulasi mengenai payudara.
Selama 15 menit kami menikmati CD itu dengan diam, sampai kemudian Mbak In berbisik, “Ajarin aku dong Gus. Aku kan nggak pernah”, katanya sambil memelukku.
Aku cuma bergumam, “mm…”.
“Keluarin semua ilmumu dan pengalamanmu…, Gus…”.
“Kok gitu sih Mbak?”.
“Iya dong…, Kamu ajarin aku dong…”.
“Emang Mbak nggak berpengalaman?”.
“Sttttt…, kamu kayak nggak tahu aja. Aku ini masih perawan, makanya sering disindir sebagai perawan tua. Aku juga tahu julukan si kulkas, Gus”, kali ini dia semakin merapat.
“Ajarin aku supaya nggak jadi perawan tua lagi. Ajarin aku biar aku jadi wanita yang lengkap, pernah merasakan nikmatnya pria tanpa harus bersuami dan tanpa harus punya anak, Gus…, Biar lajang tapi matang, gitu Gus”.
Aku terdiam tidak yahu harus berbuat apa, aku melihat ke layar TV. Ah…, adegannya indah sekaligus gila. Mulanya 69, dan pakai close up tapi gambarnya tetap soft, seperti memakai filter. Lantas si pria memasukkan penisnya dari belakang. Lalu 69 lagi.
Lalu si cewek berada di atas. Sebentar saja dia sudah meloncat, duduk di muka si cowok, minta dioral, lalu menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, entah berapa kali, sampai akhirnya orgasme. Ketika si cowok berdiri, si cewek mengisap dan mengocoknya. Aku tegang sekali, terangsang oleh adegan di layar.
“Ajarin aku sayang. Tunjukin kebisaanmu yang telah membuat cewek-cewek di kantor kita ketagihan…”. Tangannya memegang kedua pipiku, “Please…”.
Entah kenapa aku seperti terhipnotis. Aku peluk dia, kucium pipinya, lalu keningnya. “Ya Mbak. Tapi aku lagi capek, setelah main squash tadi, jadi mungkin nggak memuaskan Mbak”.
“Aku nggak minta macam-macam. Cuma diajari. Semacam apresiasi, gitulah…”.
“Ya Mbak. Tapi VCD dan TV-nya dimatiin ya”, pintaku.
Mbak In mencubit pipiku, lalu mencium kedua pipiku. “Boleh…”.
“Mbak In pingin yang gimana sih?”.
“Terserah. Pokoknya kamu harus membimbingku, ngajarin aku…, Aku sendiri nggak tahu apakah malam ini akan melepas keperawananku, tapi yang jelas aku pingin dapet sebuah pengalaman yang penting bagi seorang wanita dewasa, yang berumur 40 lebih…”.
Aku terharu, merasa kasihan. Wanita pendiam dan dingin bagai kulkas ini ternyata menginginkan pengalaman erotis. Wanita yang tidak pernah bicara jorok dan cerita humor porno ini (tidak seperti cewek lain di kantornya) ternyata menginginkan sesuatu.
“Ayo Gus. Ajarin aku, bimbing aku…, Kasih tau aku harus gimana saja. Kamu kan lelaki sejati. Kamu udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu…”.
“Ya, Mbak”, kataku seraya mencium keningnya. Mbak In memejamkan mata. Kurasakan hangat tubuhnya.
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pengalaman pertama yang indah, Gus. Lengkapi diriku sebagai seorang perempuan yang dewasa…”.
Aku mengangguk lalu memeluknya, dan mengelus rambutnya yang sekarang dipotong pendek itu. Aku merasa kelelakianku ditantang dengan halus. Inilah kelebihan wanita. Masih perawanpun tahu bagaimana caranya menggerakkan hasrat pria.
TV sudah mati. Aku berdiri, menghampiri rak audio. Di dekatnya kutemukan CD Romantic Night, musik instrumental lembut. Itu yang aku putar. Lalu aku kembali ke sofa menghampiri Mbak In.
“Mbak”, bisikku.
“mm…, beri aku pengalaman, Gus. Matangkan aku. Jangan mempermalukan aku. Aku telanjur ngomong ini. Aku belum pernah minta beginian pada laki-laki. Aku memilih kamu soalnya aku percaya sama kamu. Kamu dulu karyawan yang nggak reseh, bukan trouble maker, dan gentleman.
Aku tahu kamu telah meniduri beberapa cewek di kantor kita, tapi kamu nggak pernah mengumbar affairmu. Kenapa aku bisa tahu, yah tahu sendiri…, mayoritas kantor kita kan cewek, dalam 15 wanita cuma ada 1 pria”.
Aku merasa percaya diri. Aku peluk Mbak In erat.
“Apa yang harus aku lakukan, Gus? mm ya, mestinya apa yang harus kamu lakukan? mm, maksudku apa yang akan kamu lakukan…, mm kok pake nanya. Mestinya tinggal dijalanin ya…, mm…, mm Gus…”, kali ini dia seperti kebingungan mau berkata apa. Kukecup keningnya.
“Mbak pingin merasakan sesuatu yang indah? Mbak sendiri punya fantasi apa sih?”.
“Banyak. Tapi aku malu ngomonginnya. Terserah kamu dah”, katanya sedikit bermanja. Aneh juga, aku merasa senang dimanja oleh perempuan yang lebih tua. Yah inilah kelebihan wanita, yang bisa membuat lelaki merasa berharga dan dibutuhkan.
“Aku ini menarik nggak sih Gus?”.
Aku mengangguk. Lalu kubisiki, “Lebih menarik dan indah kalo sekarang Mbak pake lipstik dan parfum dikit…”.
Dia segera berdiri, mencubit pipiku, lalu ke kamar. Tidak lama kemudian dia memanggil, “Sini Gus…”.
Aku masuk ke kamar. Dia sedang duduk di meja rias. Aku memeluknya dari belakang. Bau wangi menyergap pelan ke hidungku. Bibirnya sudah terolesi lipstik. “Cakep Mbak”. kataku.
“Bener?”, jawabnya manja.
Mbak In berdiri. Aku kemudian duduk di belakangnya. Di muka cermin berlampu itu aku dapati Mbak In dengan pesona kewanitaan yang bertambah. Seorang wanita berumur 42 thn yang matang. Ajaib juga, aku bisa tertarik malam ini. Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang.
“Gini ini ya yang dilakukan para istri?”.
“Aku nggak tahu. Aku belum beristri, dan nggak pernah main dengan istri orang”.
Kemudian aku berdiri, tetap di belakangnya, dan tangan tetap memeluk pinggangnya. Aku cium lembut pipinya dari belakang. Lalu bibirnya, pelan dan lembut, dengan gesekan mengambang.
“Aku belum pernah dicium cowok Gus”, bisiknya.
“Ouhh…”, lenguhnya. Aku melihat ke cermin. Dia juga. Wajahnya tersipu.
“Merem saja Mbak”, kataku. Dia menurut. Tanganku tetap di pinggang. Kuamati dari cermin, matanya terpejam. Lalu kucium lembut lehernya.
“Ihh…”, cuma itu suaranya.
Lantas kucium telinganya. Ah ya…, inilah kelebihan wanita, meskipun dia masih perawan nalurinya tahu bagaimana memancing syahwat lawan jenis. Bagian belakang telinganya itu sudah wangi. Aku merasa nikmat. Lalu kucium lehernya, telinga lagi, leher lagi, pipi, bibir, telinga, leher, dan akhirnya tengkuk.
Tangan kiriku tetap memeluk pinggang dari belakang. Tangan kananku naik ke pusar. Dari cermin kulihat puting Mbak In mulai mengeras, menembus lingerie satin yang di kenakannya.
“Nah gitu dong ngajarinnya, Gus”, bisiknya.
Dari cermin berlampu itu kulihat pancaran kewanitannya terus bertambah. Aku tidak menyadari si kulkas ini ternyata memikat. Pagutan ke bibir, leher, telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Mbak In mulai bergetar. Dia tetap terpejam.
Dengan pelan seolah tak sengaja aku raba puting kirinya. “Uhh”, dengusnya. Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju atas lingerienya itu cuma bergantung pada tali. Dia menggeliat.
“Geli tapi nikmat. Kamu pinter Gus”, bisiknya, tetap terpejam.
Kini kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Kutatap sosok wanita ini dari cermin berlampu (hanya itu yang menyala di kamar, karena lampu lain mati). Kudapati sesuatu yang selama ini, selama mengenalnya, tidak pernah kuperhatikan. Aku kan sudah bilang, Mbak In bukan tipe yang masuk daftar seleraku.
Kini kudapati sesuatu. Mbak In ternyata menarik, punya pesona kewanitaan yang kuat. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Tubuhnya langsing, tapi tidak bisa disebut kerempeng. Lekuk tubuhnya masih terlihat dan terasa. Mukanya bersih, tanpa bekas jarawat. Garis matanya memanjang seperti wayang. Alisnya tebal merata. Bibirnya mungil. Bau nafasnya nikmat.
Oh…, apakah yang berubah pada diriku? Kenapa tiba-tiba aku bisa menikmati dan menghargai pesona kewanitaan Mbak In? Karena terangsang, toh dari tadi aku ereksi? Bukan juga. Aku sudah sering bermain dengan wanita.
Semuanya kuawali dengan keterpesonaan, terlepas wanita itu cantik sekali atau sedang-sedang saja. Yang pasti sejak aku kenal Mbak Rena, yang merenggut keperjakaanku saat aku remaja, seleraku hanya seputar itu, wanita berkulit putih, dengan buah dada besar. Tapi Mbak In? Ah, aku tidak tahu. Aku seperti merasakan pengalaman baru.
Tangan Mbak In masih memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Aku kecup bibirnya, lembut lalu pipinya, telinganya, tengkuknya.
“Apa lagi sekarang, Gus?”, bisiknya.
Kulepaskan pegangan tangannya lalu kutuntun untuk melingkarkan tangan kanannya ke belakang, ke leherku, karena aku kan berdiri di belakangnya. Kucium lehernya…, Kurasakan debar jantungnya, dan bunyi nafasnya yang mengeras…, sepertinya dia bernafas dengan mulut. Lantas aku beralih ke bahunya yang terbuka. Kuangkat tangan kirinya untuk memegangi tengkuknya sendiri.
Saat kutatap cermin, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu ketiak Mbak In ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow!, seperti tak percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya. Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya.
Wow! Ajaib! Aku belum pernah melihat ketiak selebat itu. Lagi pula aku selama ini memang tidak tertarik dengan ketiak yang berbulu, terkesan jorok dan tidak feminin. Tapi kali ini? Wuahh…, kurasakan debar di dadaku, kurasakan aliran darahku meningkat. Berubahkah aku?
Ya! Ketiak lebat ternyata memikat. Suatu hal yang selama ini membuatku risih ternyata merangsang. Dengan pelan aku raba kedua ketiak itu.
“Nggak pernah dicukur ya Mbak?”, Mbak In menggeleng dengan tersenyum.
“Biarin. Entah kenapa aku nggak merasa terganggu. Kamu tahu, dulu di asrama, waktu masih kuliah, aku dijuluki Ratu Ketiak. Karena sejak tahun kedua kuliah aku nggak mencukurnya. Buatku ini bukti kebebasanku, bukti ketidakpedulianku pada apa yang menurut orang lain pantas..”.
Lalu kucium ketiak berbulu itu. Wow! Fantastik! Bau asli tubuh bersih menyergap hidungku, karena wanita yang mengerti tentang parfum memang tidak pernah memberi parfum di ketiaknya, kecuali deodorant. Bau ketiak wanita (asal tidak kelewat keras), itu yang aku sukai dari cewek-cewek yang kukencani selama ini. Kali ini bau alami itu bertambah dengan bulu lebat,sepanjang hampir 5-6 cm. Pantas dulu disebut Ratu Ketiak.
Dari ketiak kanan aku pindah ke ketiak kiri. Sama aroma dan sensasi bulunya dengan yang kanan. Aku terangsang sekali. Ukuran terangsang bukan cuma soal ereksi seberapa keras dan panjang, tapi juga gelora di dalam diri. Sejak tadi aku ereksi, tapi yang sekarang makin ditambah peningkatan nafsu. (Nah para cewek, pahamilah itu…)
Dengan hidung dan mulut di ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras sekali. Aku pegang lembut payudaranya yang kecil itu. Kenyal sekali. Ini sensasi baru buatku, karena aku tidak pernah tertarik dengan payudara kecil.
Aku tidak bisa ereksi oleh payudara mungil. Bila berkencan dengan perempuan aku selalu memilih yang mempunyai payudara besar, ukuran 34 keatas (beberapa kali aku dapat yang ukuran 38C). Payudara Mbak In sepertinya di bawah 34. Tapi kok merangsang ya? Nafsuku semakin berkobar. Ibarat bendera, mulai berkibar-kibar. Hanya gara-gara bulu ketiak dan payudara kecil (suatu hal yang belum pernah terjadi).
Akhirnya baju atas lingerie itu kulepas. Dan wow! Kudapati payudara kecil yang kencang, dengan puting mengeras. Puting itu berwarna gelap, tapi begitu merangsang bagiku. Aku selama ini mengencani wanita berkulit putih, termasuk bule, sehingga puting mereka berwarna terang, kalau bule malah kemerahan.
Aku remes pelan kedua payudaranya. Mbak In cuma ah-uh-ah-uh. Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan ketiaknya, sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
Lalu aku duduk di kursi dekat meja rias. Aku ciumi puting dan payudaranya, dan kemudian aku kecup puting itu sehingga makin mengeras. Kudengar pinggul Mbak In berkeletek, berbunyi tanda kontraksi otot saat wanita mulai disulut birahi.
“Mbak, aku terangsang. Aku suka ketek dan bulu Mbak, tetek dan puting Mbak..”.
Mbak In tersenyum. “Ajarin lagi aku sesuatu yang baru”, katanya.
Kupandangi tubuh kencang yang sekarang tinggal bercelana dalam satin tipis. Baru aku sadar, di bawah pusarnya tampak segitiga menggelap. Itu pasti bulu vagina. Aneh, aku jadi penasaran, ingin segera melihatnya. Padahal selama ini aku tidak suka melihat bulu vagina yang lebat.
Pernah waktu di panti pajit nafsuku jadi mengendor karena si cewek mempunyai bulu vagina yang lebat. Si cewek panti pijat sempat tersinggung, karena nafsuku jadi merosot gara-gara bulu vaginanya yang lebat.
Akhirnya aku cuma meminta si pemijat untuk mengocok penisku, sembari aku membayangkan salah satu cewekku yang bulu vaginanya super tipis, hingga aku ejakulasi di payudara pemijat itu.
Aku selama ini memang risih dengan bulu lebat. Dalam pandanganku jorok, tidak sehat, cuma menimbulkan bau dan penyakit. Tapi kali ini begitu bernafsu ingin tahu, Mbak In rupanya tahu.
“Kamu pingin liat lainnya yang lebat ya? Boleh..”.
Aku menggeleng. Dia mengerutkan kening. Aku tersenyum, “Entar Mbak..”.
Yang kulakukan sekarang adalah menciumi pusarnya lalu turun ke bawah, tanpa membuka celana lingerienya, sampai kurasakan bulu tebal tergesek satin dan hidungku.
Setelah itu kusisipkan jariku ke celananya. Kurasakan ketebalan bulu vaginanya yang lebat. Jariku seperti buta sejenak, tidak tahu kemana harus meraba clitoris dan labia majoranya.
Oh, jadi inilah pesona bulu vagina yang tebal, bisa menyembunyikan vulva. Cewek-cewek yang pernah kukencani berbulu vagina tipis, malah ada yang cuma beberapa lembar, sehingga begitu mengangkang sedikit saja, vulvanya langsung terlihat jelas. Dan itulah yang aku sukai. Itu yang membuatku ereksi. Bau khas vaginanya juga mulai menyergap hidungku. Aku kian terangsang.
Akhirnya jemariku mulai mengenal medan. Tahu mana yang clitoris, mana yang labia majora, mana yang labia minora. Lebih dari itu, jemariku basah sekali, seolah baru saja terendam di mangkok. Lingerie itupun basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu lebat itu makin kentara. Pinggul Mbak In terus berkeletekan, kontraksi karena terangsang.
“Kamu terlalu, Gus. Terlalu…, Ayo buka celanaku”, katanya.
Dipeganginya kepalaku, dijambaknya rambutku yang gondrong, lalu digesek-gesekkan ke lingerie yang basah kuyup dengan aroma yang kian kentara itu.
“Aku terangsang Gus..”.
Tiba-tiba dia mundur, menjauhkan kepalaku. Tak terasa aku sudah berlutut sejak tadi rupanya. Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya, dan mencampakkannya ke lantai berkarpet. Wow! Luar biasa, bulu lebat membentuk segitiga seperti celana dalam.
Lalu aku naikkan kaki kanannya ke kursi rias. Wah! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva. Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap, kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aneh! Aku kok bisa terangsang.
Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang berkulit hitam, meskipun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu menjijikkanku. Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu vaginanya yang sedikit basah. Begitu pula vulvanya. Vulva seorang perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya. Karena aku ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan. Dengan jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu.
“Auwwwwww…”, Mbak In bersuara.
Astaga! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya. Aku putar pakai jempol.
“Ihh…, gila kamu Gus!”.
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
“Gila…, ghuillaa…, waohh”, desahnya.
Nafasku mulai memburu. Mbak In juga. Aku ambil break sejenak. Mundur, duduk, kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan. Saat dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, “Jangan dulu Mbak…”
Kuamati tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya. Tubuh Mbak In memang kencang. Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih perawan, belum pernah melahirkan. Lebih dari itu dia memang rajin senam dan fitness, begitupun renang. Sempat terbayang bagaimana ketiaknya terlihat kalau dia senam dan renang. Tubuh langsing padat, payudara kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
“Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..”, pintaku.
Dia mengangkat kedua lengannya. Bayangkan. Satu kaki di kursi, kedua lengan terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa. Oh wanita matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki. Oh wanita matang lajang kesepian yang hanya berfantasi setiap hari sambil mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
“Apa lagi sekarang Gus?”.
“Mbak aku mau liat vulva Mbak..”.
“Boleh. Nih liat..”.
Wow! Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora. Merah tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan berkilau. Lendir yang encer terlihat jelas.
Sesaat aku menikmati pemandangan yang belum pernah kualami itu. Tangan kanan menyibak vulva, lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
“Mbak jilat sendiri Mbak..”.
Ah, dia mau melakukannya. Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke vulva, jilat lagi, beberapa kali. Aku tidak tahan, lalu berdiri. Penisku kian mengeras, sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata. Ada setitik basahan di situ. Itu tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas. Lalu melepas kaos.
“Tunjukin dong penismu” kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
“Badanmu bagus, Gus. Atletis”.
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan celanaku. Tuinggg! Begitu celana dalamku merosot, maka batang penisku turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak. Dia memandangi penisku.
“Pegang Mbak”, kataku.
Mbak In nggak langsung menggenggam. Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang.
“Kayak pisang”, katanya.
Lantas jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik, kukunya panjang terawat. Sexy juga ternyata. Kemudian dia menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
“Hangat ya..”, bisiknya mesra.
Kami sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit. Baru sekarang terasa dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin mengulur tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
“Ke sofa lagi yuk Mbak”, ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami duduk berdua. Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya.
“Haus Mbak”, bisikku.
“Iya Gus…, tenggorokanku juga kering”.
Mbak In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol. Kami minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama diam. Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara pembukaan di cermin rias tadi. Nafasku kembali normal. Tapi penisku kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
“Kok jadi kecil lagi?”.
Aku tersenyum, “Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi klitnya pasti. Cairan vagina juga berhenti ngalir kan?”. Dia mencium pipiku.
“Sini Mbak”, kataku.
“Gimana lagi?”, dia keheranan.
Dia kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku. Tangan kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya. Seperti membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
“Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus?”. Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
“Geli, nikmat, ahh..”.
Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa. Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
“Ternyata Mbak In itu hangat ya?”.
“Bukan kulkas, gitu?”.
“Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan”.
“Bener?”.
“Mbak ternyata punya nafsu..”.
“Iya dong”, ia berbisik.
“Mbak suka masturbasi juga?”.
“Iya dong. Seminggu sekali, bisa dua kali, pernah tiga kali. Aku tahu masturbasi sejak umur 20, dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur 30 gairahku malah bertambah. Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu, udah kenal penis umur 20, sampai sekarang udah bersetubuh berapa kali coba? Sementara aku cuma bisa masturbasi”.
“Mbak mau dimasturbasi nggak?”. Dia mengangguk.
Lalu kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku ajak dia bekerja sama, jemari dan telapak tanganku untuk memainkan vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya. Luar biasa.
Aku jadi tahu bagaimana si Mbak memburu nikmat. Mulanya memainkan clit. Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan. Akhirnya kencang, maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
Lima belas menit berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya mengejang sejenak. Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut. Basah penuh aroma.
Mbak pingin apa sekarang?”.
“Ouhh…, pake nanya. Terserah..”.
Dia kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya, lalu kiri, lalu kanan, lalu pusarnya. Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi. Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya. Aku cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu. Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa, kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di lantai.
Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia majoranya. Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu. Aku bisa merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku, akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir cairan encer.
Begitu banyak cairan yang merembes, sehingga aku bisa menghirup sambil menyedotnya. Slurping, kata orang bule…, Segar juga. Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai gemeter, lalu dia duduk di sofa. Kepalaku menyeruak masuk. Kedua pahanya kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit. Kedua kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada pundakku.
Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di depannya, belum menempel. Masih jauh, malah. Kira-kira sejengkal dari sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas dibuatnya.
“Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..”.
Ya, tunggu apa lagi? Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua kecoklatan, mengkilat basah. Clit-nya mengeras, seperti biji kacang garing. Ah nggak, clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu. Cuma menempel, tidak kugesekkan, tidak kujilatin.
“Auhh…, geli…, nikmat…, terus dong”, katanya.
Sekarang lidahku mulai bermain. Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku terus menjelajah ke labia majora, ke seluruh vulva, sampai banjir permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina. Dia terengah-engah.
“Ouhh…”, Mbak In cuma bersuara begitu. Pertama-tama Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna. Lima menit kemudian penisku tegang kembali. Air maniku sudah mendidih rasanya. Aku rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
“Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani”.
Dia menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In telah telah basah. Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi. Yang penting kini vaginanya sudah basah. Kemudian aku biarkan sendiri nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang menuntun birahinya yang menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Mula-mula penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem melek. Cabut lagi, masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang vaginanya makin longgar. Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In merem melek. Kuulang-ulang terus, aku lupa berapa kali, sampai akhirnya “slepppppp…”, burungku menembus pelan vagina si perawan tua yang selalu membuatku onani setiap hari itu.
“Nggak sakit Mbak?”, tanyaku.
“Nggak”, bisiknya.
Iya dong, mainnya pelan, vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit. Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak keluar darah, tanpa rasa sakit, aku yakin inilah kali pertama vagina terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan vaginanya. Dia menggelinjang. Dua jempolku kembali menempel di kedua sisi bibir vaginanya, sehingga bisa merentang mulut vagina.
“Namanya apa sih Mbak?”, aku menggoda.
“Bego kalo kamu nggak tahu!”.
Aku terus menggoda, “Namanya apa sih? Sebutin dong, Mbak..”.
“Payah kamu! Udah sering ngerasain, sering nyoba,masih nggak tau juga”.
Aku diam saja, nggaktidak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
“Apa dong Mbak namanya?”.
“Tauk ah!”.
“Apa dong?”.
“Dikira-kira sendiri. tau?”.
“Apa dong?”.
“Ahh…, bawel amat sih!”.
“Apa dong…, lleelelelhett…, sebutin dong llelelelelhet”, aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
“Auhh…, gila. Nakal”.
“Apa dong, clat, clat, clatttt…”, lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
“Kamu sendiri nyebutnya apa Gus?”.
Aku jawab, “Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..”.
“Uh kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..”.
“Habis apa dong..”.
“Malu ah…, udah tahu kan? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..”.
“Kok ngebayangin?”.
“Iya, kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu, sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi…, Rasanya pingin ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya?”.
“Maksud Mbak?”, aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
“Iyah, aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang termasuk ucapan-ucapan terlarang. Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya nyebutin satu demi satu bagian terlarang…, Ahh kamu nakal, lidahmu pintar, udah sering yahh. Aduh…, geli!”.
“Hmm…, ayo dong Mbak..”.
“Iyahh sekalian basah, sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi aku sering nyebutin ini…, Aahh geli, nikmat terusin…, Aku sering nyebutin ini…, Ah kamu nakal!”.
Iya, gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya?
“Aku sering berbisik, kadang juga berteriak, sih…, Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus!”.
“Lagi Mbak..”, Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
“Memek, iyaa…, me..mheekkkk…, iiiittt..theeeiiill…, jemm bouttttt…, kuonnnnn…tuuoll…, Gila nikmat banget teknik oralmu!”.
“Ini Mbak burungku!” Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
“Woooouwwww…, tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih?”.
“Pegang Mbak..” Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan.
“Isep dong…”.
“Ah nggak. Entar ajah…, Aku masih takut…”.
Aku tidak mau main paksa. Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal pengalaman pertama. Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih nol. Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku, sementara aku rebahan di karpet, kepalaku diganjal bantal.
“Sekarang Mbak yang aktif ya…, anggap aja lagi onani..”.
Wow! Tanpa penjelasan lebih lanjut dia langsung memainkan kemaluannya di mukaku, terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri? Biar tidak pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang, juga dia sering nonton film porno, sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut.
Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang, sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku, tapi kadang juga menekan seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Bersambung…