Cerita Sex Pak Indra Menderita Impotensi Ringan – Selama perjalanan menjalani kehidupan sebagai seorang Call Girl, banyak kualami bermacam perilaku sexual, banyak kupelajari kehidupan yang sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya, mungkin sebagian besar masyarakat menyebut kelainan sexual, sebagian lagi menyebut gaya hidup bahkan sebagian lainnya menyebut petualangan, terserah dari sudut mana mereka memandang, tapi bagiku semua itu adalah expresi naluri liar yang ada dalam diri manusia.
Sore itu seperti biasa aku sudah meluncur dari satu hotel ke hotel lainnya, dari satu ranjang ke ranjang lainnya, dari pelukan satu laki laki ke laki laki lainnya. Sebenarnya tamuku kali ini bukanlah seperti umumnya, dia mengaku bersama istrinya ingin main bertiga, katanya, ini adalah kali kedua aku melayani suami-istri (baca: “Ada Apa Dengan Cinta?”).
Meskipun aku sudah ‘kebal’ dengan perilaku aneh, tapi aku masih belum bisa mengerti mengapa seorang istri membiarkan suaminya bercinta dengan wanita lain, di hadapannya pula, bahkan ikutan terlibat, tapi apa peduliku sejauh mereka membayar sesuai kesepakatan bagiku tidak ada salahnya.
Ketika sampai di kamar yang kutuju, istrinya, seorang wanita berkulit putih yang tidak terlalu cantik menyambutku di pintu kamar hotel di jalan Basuki Rahmat, usianya kutaksir awal 40-an tapi bodynya masih bagus seperti layaknya gadis 20-an, suaminya kelihatan acuh menyambut kedatanganku, mungkin berusia 50 tahunan, cukup jauh perbedaan mereka.
“Mas, ini Lily sudah datang nih”, kata si istri pada suaminya yang hanya melirikku sambil nonton TV.
“Hmm.., langsung aja suruh dia mandi”, perintahnya dengan angkuh tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi.
“Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy”, tanyaku melihat keangkuhan suaminya.
“Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama aku”, jawabnya meyakinkan.
Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi.
“Husss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku puas”
“Maass, mau ikutan mandi bareng nggak”, teriak istrinya dari kamar mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga tidak terdengar jawaban.
“Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang”, komentarnya saat melihatku mandi.
Selesai mandi aku tak jadi mengenakan piyama, aku dan si istri hanya berbalut handuk di dada, kami keluar bersamaan. Ternyata si suami sudah berbaring di atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam, si istri memandangku penuh arti lalu menganggukkan kepala, aku segera mengerti. Tanpa rasa segan pada istrinya, aku menyusul suaminya ke ranjang, tapi sebelum sampai ke ranjang, si istri menarik lepas handukku hingga aku telanjang di depan suaminya.
Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat irama permainan, tidak segera menyentuh kejantanannya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya, lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras.
Mereka berciuman ketika kulepas celana dalamnya, langsung keluarlah penisnya, tidak terlalu istimewa, biasa saja. Langsung kugenggam dan kuremas remas, kukocok kocok, mereka masih berciuman bibir sambil tangan si suami meremas remas buah dada istrinya.
“Kulum dan lumat dia”, perintah istrinya saat melihatku sudah mulai menciumi kejantanan suaminya.
Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat ke arahku.
“Uff.., ya terus sayang”, komentarnya, entah ditujukan padaku atau pada istrinya.
Kami segera kembali saling melumat bibir, kusapukan lidahku ke seluruh kepala dan batang penisnya, bahkan hingga kantong bola, desahannya tertahan di mulut istrinya. Mereka menghentikan ciumannya ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, keduanya melihat bagaimana penis itu menerobos masuk di sela sela bibir manisku lalu meluncur keluar masuk dengan cepat, tangan si suami memegang kepalaku dan mendorongnya lebih dalam.
“Ssshhh.., kamu pintar manis.., terusss.., yaaa” desahnya kembali.
Si istri memutar tubuhnya, dia mengatur posisi di atas suaminya, perlahan tubuhnya turun diiringi desahan nikmat, aku yang masih berada di selangkangan dengan jelas melihat bagaimana penis itu pelan pelan menguak liang kenikmatannya sambil kuelus elus kantong bolanya. Tubuh si istri langsung turun naik ketika berhasil melesakkan semua penis si suami, seperti naik kuda dia menghentakkan tubuhnya dengan kuat diiringi desahan desahan erotis.
Sambil mendapat kuluman bibir dan remasan, tanganku tanpa sedar mulai mempermainkan klitorisku sendiri, kusodorkan putingku ke mulut si suami, disambutnya dengan kuluman kuluman liar pula, dan akupun ikut mendesah.
“Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah”, kudengar bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa saat.
Aku masih di belakang si istri sambil mengelus elus kantong bola suaminya, berharap dia segera turun. Setelah istrinya turun, si suami menarikku dalam pelukannya, kami kembali berciuman dan bergulingan, dia mencumbui sekujur tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah basah semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi rupanya dia masih ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin penis tegangnya hanya beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan sesekali kurasakan gesekan keras di bibir vaginaku, tapi belum juga terjadi penetrasi, aku makin tersiksa seperti cacing kepanasan, berulang kali permintaanku untuk segera melesakkan penisnya hanya ditanggapi dengan senyuman.
Istrinya yang dari tadi hanya melihat suaminya mencumbuiku, mulai ikutan, dia mengelus elus punggungnya, menciumi pantatnya lalu mengocok penisnya dengan tangannya, sesekali diusapkan ke vaginaku tanpa memasukkan. Kupeluk erat tubuh si suami di atasku, ingin rasanya segera mendapat kocokan di vagina, ciumannya turun hingga mencapai
selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah basah, aku semakin mendesah terbakar birahi.
Tiba tiba si istri telentang di sampingku, menarik tubuh suaminya dari selangkanganku dengan paksa, tentu saja aku kecewa tapi apa dayaku, aku tak berhak untuk menuntut apa lagi menuntut layanan atas suaminya. Dengan hati dongkol aku terpaksa tersenyum saat si suami mengecup bibirku dan berpindah dari tubuhku ke atas tubuh istrinya. Aku masih telentang terdiam dengan perasaan dongkol, napasku yang mulai menderu semakin kencang saat melihat pantat si suami
mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan nikmat mereka berdua.
Permainan mereka sungguh menggoda, aku jadi terbawa untuk ingin ikutan bermain bertiga, berulang kali kugoda mereka untuk mengalihkan perhatiannya padaku tapi sepertinya si istri selalu menghalangi ketika suaminya hendak beralih padaku, kecuali hanya sebatas cumbuan dan rabaan. Sambil mengocok istrinya, tangan si suami menggerayangi tubuhku, aku hanya mendesah sambil mempermainkan klitoris dengan jariku sendiri, tak kupedulikan lagi mereka, kini akupun ikutan mendesah dengan caraku sendiri, dibantu rabaan si suami.
Mereka bercinta dengan liar, berganti ganti posisi, aku selalu menempatkan diri supaya tubuhku terjangkau dari rabaan si suami, terkadang secara demonstratif kupermainkan klitorisku di depan si suami. Namun semua usahaku untuk merengkuh orgasma sia sia belaka, aku memang tak pernah melakukannya sendiri sampai orgasme dan memang tak inging karena selalu ada laki laki yang memenuhi hasrat ini, mana bisa dibandingkan kenikmatan kocokan penis dengan permainan jari di klitoris.
Ketika mereka berposisi doggie, aku berdiri di depan suaminya, kusodorkan vaginaku ke mukanya, dia menyambut dengan jilatan lidahnya di klitoris tanpa menghentikan kocokannya, kuremas remas rambutnya. Bahkan ketika aku ikutan nungging di atas tubuh istrinya, dia hanya menciumi vagina dan pantatku, aku hanya berharap dia memenuhi hasratku segera, paling tidak dengan kocokan jari jari tangannya sudah cukuplah saat itu, tapi tidak terjadi.
Entah sudah berapa kali kudengar teriakan orgasme dari si istri, tapi dia selalu menghalangi setiap kali suaminya berusaha menghentikan kocokannya dan beralih padaku. Akhirnya aku menyerah pasrah, mungkin nanti setelah babak ini tiba gilirannya. Kupeluk si suami dari belakang, yang mengocok istrinya, buah dadaku menempel rapat pada punggungnya yang berkeringat, terasa hangat, kugesek gesekkan sambil meraba raba dada dan perut yang agak buncit itu, sesekali kuciumi tengkuknya, dia menggeliat geli.
Harapanku semakin terbang menjauh saat kudengar teriakan kenikmatan puncak mereka berdua secara bersamaan. Si suami segera menarik keluar kejantanannya, membalik tubuh istrinya lalu menjepitkan penis yang masih basah karena cairan kenikmatan itu di antara kedua buah dadanya. Kulihat berulang kali si istri menghindar dan menutup rapat bibirnya saat kepala penis mengenai mulutnya. Si suami melihat ke arahku, seperti baru sadar aku ada, ditariknya tubuhku lalu ditelentangkan di samping istrinya, dia beralih menaiku tubuhku dan menjepitkan penisnya ke buah dada sambil memainkan putingku hingga akhirnya melemas beberapa menit kemudian, diakhiri dengan kocokan di mulut.
Babak selanjutnya ternyata tak lebih baik, sepertinya mereka memang menyewaku hanya untuk menambah sensasi, perananku sebagai foreplay dan penutup tanpa aku bisa merasakan permainan yang sebenarnya, seperti layaknya figuran yang hanya numpang lewat penambah indahnya permainan.
Pukul 23:30, setelah membersihkan diri dan mandi, aku pamit pulang, sebenarnya mereka masih mengharapkanku untuk menginap, melanjutkan permainannya, namun meskipun statusku dibayar tapi kalau berperan seperti itu tentu merupakan siksaan yang berat. Dengan alasan aku sudah ada janjian dengan orang lain, maka mereka tidak bisa menahanku lebih lama lagi karena memang sebelumnya tidak ada permintaan untuk menginap.Akhirnya mereka melepaskan kepergianku, mungkin dengan kecewa. Hingga keluar kamar meninggalkan mereka berdua, aku tidak tahu nama suami istri tersebut, hal ini bukan pertama kali terjadi, bahkan terkadang meskipun kami tidur dan bercinta semalaman tak jarang aku tidak tahu nama orang yang telah meniduri dan menikmati tubuhku.
QUICKIE
Akupun langsung naik ke lantai 9, karena memang sudah janjian untuk menemani menginap dengan tamuku yang lain.
Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang tertahan sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta hingga pagi, nonstop.
Pak Beni, nama tamuku berikutnya, ternyata sudah menungguku, terlihat sinar kelelahan di matanya.
“Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur”, sambutnya ketika membukakan pintu kamar.
“Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung aku bisa ngabur nemuin Bapak”, jawabku berdalih.
Aku langsung mandi, dua kali dalam waktu tidak lebih 10 menit, di kamar yang berbeda dan dengan orang yang berbeda pula, sekedar meyakinkan bahwa tidak ada lagi sisa sisa dari tamuku sebelumnya. Selesai mandi kukenakan piyama yang ada di lemari dan kutemani Pak Beny yang sedang tiduran di ranjang menungguku.
“Bapak capek ya, sini aku pijitin”, aku menawarkan diri.
“Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember tadi, jalanan macet lagi”, jawabnya sambil langsung tengkurap.
“sungguh malam yang sial” pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2 laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih menggantung tinggi.
Keesokan paginya saat aku terbangun, kulihat Pak Beny sudah rapi bersiap untuk pergi.
“Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih”, sapaku lemah.
“Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku terasa capek banget”, jawabnya sopan.
Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja.
“Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya di receptionist dan ini uang kamu”, lanjutnya.
Pak Beny adalah pelanggan tetapku, setiap kali ke Surabaya dia selalu mem-booking-ku, biasanya kami bercinta hingga pagi, tapi kali ini lain. Mungkin karena sudah “akrab” dia tetap membayarku meskipun dia tidak menerima servis atau menikmati tubuhku, aku jadi nggak enak dibuatnya.
“Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang tidur di sini”, aku menolak pembayarannya.
“Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi sudah hak kamu untuk mendapatkannya”
“Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak”, aku masih bersikeras
“Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu”
Aku terdiam sesaat.
“Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi”, katanya sambil tertawa.
“Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit kan”, bujukku sambil mendekatinya.
Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas selangkangannya.
“Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa” tanyanya pura pura
“Paling 10 menit aja” jawabku meyakinkan sembari membuka resliting celananya, dia diam saja.
“Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit”
“Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang”, tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
Kuciumi lehernya, aroma parfumnya terasa lembut menyengat, kukeluarkan kejantanannya, dia mulai mendesis dan menjamah dadaku, tangannya diselipkan di balik piyama, meremas remas lembut bukit ranum di dadaku. Aku merosot turun dari pelukannya, berlutut di depannya, penisnya tepat di depanku, sedetik kemudian kulahap habis dan keluar masuk ke mulutku. Pak Beny mendesis, meremas remas rambutku dan mulai menggerakkan pinggulnya mengocok mulutku.
Dia meremas remas kedua buah dadaku dengan keras, tiba tiba secara kasar dicabutnya penis itu, tubuhku dibalik, aku menungging di depannya, tanganku bersandar pada meja, detik berikutnya dia mulai memompaku dari belakang, tepat menghadap cermin di atas meja. Aku terdongak merasakan sodokan demi sodokan, ditariknya rambutku ke belakang, lalu pegangannya beralih ke buah dadaku dan meremasnya kuat. Aku menjerit antara sakit dan nikmat, Pak Beny tak mempedulikan jeritanku, semakin kuat dia membenamkan ke vaginaku, sesekali diiringi tamparan ringan pada pantatku, terasa agak panas, semakin aku mendesah semakin kuat tamparannya, kutoleh wajahnya menyeringai menikmati permainan ini, pantatku sudah agak memerah.
Permainan kasarnya membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan, aku mengimbangi dengan goyangan pantat, meremas remas kejantanannya yang berada di vaginaku, akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman di buah dadaku makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah celah kenikmatanku, terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat menghantam dinding-dinding kewanitaanku. Pak Beny menjerit keras dalam kenikmatan bercinta saat kuremas remas dengan otot otot vaginaku.
Meskipun aku belum orgasme tapi aku sudah puas melihat tamuku mendapat kenikmatannya. Segera kucabut penisnya, kuraih dan kugenggam, ternyata masih cukup keras. Aku mengambil piyama yang tergeletak di lantai untuk membersihkan penis itu, tapi Pak Beny mendorong tubuhku turun, mengerti maksudnya, maka kukulum kembali penisnya sambil
kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya tamuku tadi malam.
“8 menit, ternyata kamu memenuhi janjimu, tak lebih dari 10 menit”, katanya saat aku “mencuci” penisnya dengan mulutku.
Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke ‘sarang’nya setelah dirasa cukup bersih.
“Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti”, katanya sambil menutup resluiting celananya.
“Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya”, kataku sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti itu dan aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap seperti biasanya, meskipun aku belum membuka amplop itu.
“Tergantung nanti”, jawabnya seraya menutup pintu kamar.
VAGINA MONOLOG
Sepeninggal Pak Beny, aku kembali rebahan di ranjang, ingin melanjutkan tidurku yang tidak terlalu nyenyak, kunyalakan HP dan membaca SMS yang masuk, tidak ada booking-an yang masuk, semua SMS hanyalah ajakan hura hura nanti malam.
Aku kembali terlelap dalam pelukan ranjang hangat nan empuk, tiba tiba HP-ku berbunyi, agak malas juga menerimanya, ternyata Pak Indra, salah satu tamu langgananku yang unik.
“Haloooo, pagi Bapak”, suaraku agak parau.
“Pagi Non, baru bangun rupanya ya”, suara dari seberang sana.
“Ih Bapak sok tahu deh”, jawabku manja
“Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau”
“Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih”, aku memberi alasan karena diluar memang mendung.
“Kapan dan dimana?”, aku mulai antusias mendengarnya.
“Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xxxx, giliranku nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo sesudahnya nggak bisa, gimana?”
“Halooo, gimana Ly, bisa nggak?”
“Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?”
Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai, sengaja aku minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada di hotel yang sama.
Kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan mandi dan berendam di bathtub, air hangat serasa melemaskan otot ototku dan meredakan ketegangan yang ada dalam diriku, begitu relax dan santai. Lebih 30 menit kuhabiskan dalam nikmatnya pelukan air panas di pagi hari, segera aku berpakaian, pakaian yang semalam terpaksa kukenakan kembali untuk menemui tamuku ketiga dengan pakaian yang sama, make up tipis kusapukan ke wajahku dan tak lupa Issey Miyake menambah semarak aroma tubuhku. Setelah mengemasi barangku dan memastikan tak ada yang tertinggal, kupanggil Room Boy untuk menitipkan kunci ke receptionist dengan diselipi selembar 20 ribuan, kulihat dia begitu gembira menerima rejeki di pagi hari. Kususuri koridor menuju Lift, beruntunglah sepanjang jalan menuju kamar Pak Indra tak kujumpai orang yang kukenal (hal ini sering terjadi, terutama di hotel ini yang merupakan favorit tamuku setelah Shangri La).
Pak Indra menyambutku dengan ciuman di pipi, penampilannya masih seperti biasanya, tenang, lembut, ganteng dan elegant di usianya yang sudah pertangahan 40 tahun. Dia seorang dokter, katanya sih spesialis tapi aku tak tahu spesialis di bidang apa. Kumis dicukur rapi dengan dasi pink menghiasi stelan kemeja yang berwarna sama.
“Udah lama nunggu Dok?”, sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya.
“Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga duduk kamu udah nongol”
Seperti kebiasaannya, kami duduk berseberangan di sofa, seperti orang yang lagi bicara bisnis, tak ada pembicaraan yang menjurus ke sex ataupun porno, semua hanyalah masalah ringan tentang politik, film, TV, musik dan untunglah aku yang sering nonton TV maupun baca majalah bisa meladeni pembicaraannya, jadi nggak timpang. Cangkir Chinese Tea dan snack yang ada di meja di depan kami sudah habis, mungkin sudah lebih setengah jam kami ngobrol tapi tak ada tanda tanda untuk mulai permainan panas, aku sudah mahfum akan kebiasaannya, jadi tak perlu buru buru.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:47 ketika dia menggandengku ke ranjang, kami saling melepas pakaian, menyisakan celana dalam dan bra hitam berenda putih, kontras dengan kulitku yang putih mulus, dia memandangiku sejenak.
“Kamu makin cantik dan sexy”, komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari ‘sarang’nya.
Aku menjerit tertahan saat lidahnya mulai menyentuh klitorisku, ada kekhawatiran kalau dia, seorang dokter, masih bisa mendeteksi sisa sisa sperma yang ada di rongga kewanitaanku, meskipun aku sudah berusaha untuk membersihkannya sejauh mungkin. Kecemasanku perlahan hilang saat bibirnya mulai mempermainkan bibir vaginaku, dengan gerakan yang kurasa indah disusurinya celah celah kewanitaan di selangkanganku, sungguh terasa kenikmatan yang berbeda dari jilatan lainnya, aku semakin mendesah nikmat sambil meremas remas kedua buah dadaku, sesekali kujepit kepalanya dengan pahaku dan meremas remas rambutnya.
Pak Indra hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi dia terus melanjutkan permainan lidah dan mulutnya. Puas bermain di selangkangan, ciumannya kembali naik ke perut, dada dan untuk kesekian kalinya kami saling melumat dan bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku, dijilatinya telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat, aku menggelinjang geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina dan klitoris.
Kugenggam penisnya yang lemas, ingin ketawa rasanya melihat penis yang begitu tidak berdaya, padahal masih relative muda, tapi tentu saja kusimpan rasa itu beralih ke rasa kasihan. Kuciumi dengan penuh kasih sayang pada penis yang tidak pernah memberiku kepuasan itu, seperti menciumi mainan anak anak, tak ada sama sekali kesan kalau penis itu merupakan alat kejantanan dan kebanggaan laki laki.
Beberapa menit penis itu mulai sedikit menegang, tapi masih jauh dari memenuhi syarat untuk bisa penetrasi, kombinasi kuluman dan kocokan tangan disertai elusan lembut di kantong bola membuatnya mekin mendesah desah dalam irama kulumanku.
“Kita coba Ly”, katanya, seperti kebiasaannya.
Setelah beberapa kali usaha dengan bermacam cara akhirnya kami menyerah, terpancar sinar kekecewaan di wajahnya meskipun senyuman menghiasi wajahnya. Aku merasa gagal untuk memuaskannya, meskipun hal itu terjadi setiap kali kami bertemu, terkadang hanya sekali penetrasi tapi begitu ditarik tidak bisa masuk lagi, namun kali ini gagal total. Akhirnya kuputuskan memuaskannya dengan cara lain seperti yang biasa kulakukan pada Pak Indra.
Kami berubah posisi 69, dengan posisi ini kami bisa saling memberikan kenikmatan, harus kuakui kepiawaiannya bermain oral ikutan membawaku melayang, meskipun sangat jarang aku bisa orgasme hanya dengan oral, tapi saat ini kenikmatan seperti itu sudah cukup bagiku, dari pada tidak sama sekali. Tak lama kemudian kudengar teriakan keras disusul sedotan kuat pada vaginaku, sedetik kemudian kurasakan sperma meleleh pelan keluar dari kejantanannya, segera kumasukkan penisnya ke dalam mulutku dan kurasakan spermanya yang asin gurih membasahi lidahku, aromanya masih keras kurasa. Dan penis yang lemas itupun semakin melemas dalam mulutku.
Kusapukan penis lemas itu ke wajahku.
“Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok”, pujiku jujur.