Cerita Sex Adik Kandung – Perkenalkan nama lengkapku Tita Indah Sari, namun aku biasa dipanggil Tita oleh teman-temanku. Saat ini aku bekerja di sebuah Bank asing yang cukup ternama di daerah Sudirman.
Sejak lahir hingga sekarang aku sudah tinggal bersama keluargaku di daerah Cibubur. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Aku memiliki dua orang adik perempuan, Winnie dan Dewi, serta satu adik laki-laki yang bernama Amar.
Ayahku adalah orang Betawi asli, sedangkan Ibuku merupakan keturunan Sunda. Karena ini adalah kisahku dengan adikku yang laki-laki, tanpa melibatkan adik-adikku yang lain, maka aku hanya akan menceritakan tentang kami berdua saja.
Secara fisik aku memiliki tinggi badan 157 cm, kulit yang cukup putih, serta wajah yang menurut kebanyakan teman-temanku manis dan imut. Bahkan sampai sekarang aku masih sering dianggap lebih muda dari umurku saat ini. Sedangkan adikku Amar, berkulit sawo matang, kurus dan tingginya sekitar 175 cm.
Tersange Walaupun wajahnya terbilang biasa-biasa saja, di usianya yang berjarak 5 tahun denganku, dia sudah cukup sering berganti pacar. Mungkin karena Amar adalah anak laki-laki satu-satunya dia diperlakukan berbeda oleh kedua orang tua kami.
Namun karena sering dimanja seperti itulah, Amar menjadi anak yang suka melawan, sering bolos kuliah dan juga tidak mau mendengarkan nasehat dari orang lain termasuk keluarganya. Hingga pada suatu hari segalanya berubah. Yang pasti hari tersebut tidak akan pernah dapat terlupakan bagi aku dan dirinya.
Kisah ini berawal pada suatu sore saat kedua orang tua dan adik-adikku yang perempuan sedang berkunjung ke rumah nenekku, jadi di rumah hanya tinggal aku beserta adik laki-lakiku yang sedang tidak ada jadwal kuliah.
Pada hari itu aku memang tidak bekerja karena libur dan juga sedang tidak ada rencana pergi dengan pacarku. Karena sedang berada di rumah, aku hanya memakai kaos putih tanpa bra dan dipadukan dengan celana pendek di atas lutut warna biru muda yang memperlihatkan sebagian paha mulusku.
Saat itu aku sedang mengobrol dengan pacarku melalui HP. Kami berdua membicarakan berbagai hal, mulai dari masalah serius hingga yang ringan. Tanpa terasa sudah lebih dari 1 jam aku berbicara dengannya.
Sampai akhirnya aku tidak dapat tahan lagi untuk buang air kecil. Aku pun meminta ijin kepada pacarku untuk menyudahi pembicaraan kami terlebih dahulu dan berjanji akan menghubunginya kembali.
Setelah meletakkan HP, dengan terburu-buru aku berlari menuju ke kamar mandi yang jaraknya paling dekat, ketika kubuka gagang pintunya ternyata sedang dikunci dari dalam.
“Amar bukain pintunya dong…!! Teteh udah nggak tahan mau pipis nih…!!” aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu.
“Tunggu ya Teh! Amar sebentar lagi selesai kok…!” terdengar suara adikku dari dalam kamar mandi.
“Aduh Mar!! Teteh udah kebelet nih…!! Cepetan dong keluar…!!” kataku memaksa sambil terus menggedor-gedor pintu karena aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menahan air seniku.
‘Kreekk…’ terbuka sedikit pintu kamar mandi kemudian kepala Amar mengintip dari celahnya.
“Teteh nggak sabaran banget sih!?” kata Amar dengan nada kesal karena mandinya jadi terganggu.
Tanpa memperdulikan adikku yang sedang marah-marah, aku langsung memaksa masuk ke dalam kamar mandi karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil. Dengan cepat aku menurunkan celana pendek beserta celana dalamku kemudian jongkok di atas kloset.
“Aaaaahhh…” aku sungguh merasa lega karena akhirnya keluar juga air seni yang sudah kutahan-tahan dari tadi.
Sambil tetap meneruskan buang air kecil, aku sempat memperhatikan adikku yang masih berdiri dengan kondisi telanjang bulat. Wajahnya terlihat sangat kesal karena mandinya terganggu oleh aku yang sudah terlanjur masuk ke dalam kamar mandi.
“Teteh ganggu orang lagi mandi aja nih…!!” teriak adikku sambil melotot.
“Maaf ya Mar, Teteh udah nggak kuat nahan pipis. Bentar lagi juga selesai kok…” kataku sambil meminta maaf.
Sebenarnya aku tidak mau memandang tubuh bagian bawah adikku. Tetapi karena ingin membandingkan penis Amar dengan milik pacarku, akhirnya aku menurunkan juga pandanganku.
“Hihihi… Masih kalah dengan penis pacarku…” aku tertawa dalam hati.
Karena takut tertangkap basah melihat penisnya, cepat-cepat kunaikkan lagi pandanganku ke arah wajahnya. Ternyata mata adikku sudah tidak melihat ke arah wajahku lagi, melainkan sedang memandangi vaginaku.
“Kurang ajar nih si Amar malah ngeliatin vaginaku!! Mana pipisku belum selesai lagi…” aku bersungut dalam hati.
Lalu aku menekan sekuat tenaga otot di vaginaku agar cepat selesai buang air kecilnya. Tanpa sengaja, terlihat lagi penis adikku yang tidak tertutup itu. Perlahan-lahan penisnya semakin naik sedikit demi sedikit, namun masih tetap kelihatan kecil.
“Ternyata memek Teteh bentuknya kayak gitu yah?” kata adikku tiba-tiba sambil melihat ke arah vaginaku.
“Amaaaar…!! Jangan kurang ajar kamu yah…!!” aku yang dalam keadaan marah langsung berdiri mengambil gayung kemudian kulemparkan ke arah adikku.
‘Duuuk…!!’ lemparanku memang mengenai tubuh adikku, tetapi hasilnya air seniku mengenai celana pendek serta celana dalamku.
“Aduuuh… Gara-gara Amar sih! Jadi basah deh celana Teteh…” aku marah-marah sambil melihat ke celana pendek dan celana dalamku.
“Syukurin! Makanya Teteh jangan maen masuk seenaknya aja…!” kata Amar sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.
“Amar mandi lagi aah…” lanjutnya sambil mengambil gayung yang tadi aku lempar ke arahnya, kemudian melanjutkan menyiram air ke badannya lalu mulai mengusap sabun ke seluruh tubuhnya.
“Huuuh!! Ini anak cuek banget sih…!!” kataku dalam hati.
Waktu itu aku bingung harus bagaimana. Ingin keluar dari kamar mandi, namun tentu saja aku tidak mau memakai celana pendek dan celana dalamku yang sudah basah terkena air seniku. Akhirnya terlintas di pikiranku untuk meminjam handuk milik adikku terlebih dahulu, nanti setelah mengganti pakaian baru aku kembalikan handuknya.
“Teteh pinjem handuk Amar aja dulu…” kata adikku seolah-olah dapat membaca isi pikiranku.
“Iya deh…” jawabku singkat.
Tanpa ragu lagi, aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku yang berwarna merah muda. Karena teringat setelah buang air kecil tadi aku belum sempat membersihkan vaginaku, maka aku mengambil gayung dari tangan adikku lalu membasuh vaginaku dengan air.
Karena tidak ingin kalau Amar melihatku lebih lama dalam keadaan seperti ini, maka aku membersihkan vaginaku tanpa menggunakan sabun.
Setelah merasa cukup bersih, aku pun berniat untuk meminjam handuk adikku seperti yang tadi dia janjikan. Dan tepat seperti yang aku duga, ternyata dia memang sedang memperhatikan tubuhku yang setengah telanjang.
“Teh… Memek Teteh kok nggak ada bulunya sih? Hehehe…” katanya sambil tertawa meledek vaginaku yang memang baru aku cukur.
“Biarin aja! Daripada kecil kayak punya kamu Mar!” kataku membela diri sambil berusaha menutupi vaginaku dengan tangan.
“Emang Teteh udah pernah liat yang lebih gede dari ini?” tanya Amar yang sengaja memancingku.
“Y-ya nggak pernah lah!” jawabku sedikit gugup sambil berusaha memukul bahu adikku.
Tiba-tiba dia menghindar dari pukulanku “Weiiitts…!” katanya.
Karena aku memukul dengan sekuat tenaga, tanpa sengaja aku terpeleset sehingga punggungku jatuh mengenai tubuhnya, sedangkan pantatku menyentuh penisnya.
“Iiih… Rasanya geli banget…” kataku dalam hati.
Dengan segera aku menarik tubuhku sambil berkata “Uuuh… Gara-gara Amar sih…!!”
“Kata Teteh barusan kontol Amar kecil kan? Kalau kayak gini gimana?” katanya mengacuhkan omonganku sambil menunjuk ke arah penisnya.
Kulihat penisnya mulai membesar seperti tadi, pelan-pelan semakin gemuk dan semakin tegak ke arah depan.
“Yeee…! Kalo gitu doang sih masih kayak anak kecil…!!” kataku berbalik mengejek dia.
Padahal jujur saja aku sempat terkejut juga melihat ukuran penis Amar yang sudah cukup jauh dibandingkan awalnya. Di dalam hati aku ingin mengetahui sampai seberapa panjang penisnya dapat bertambah.
“Tapi ini masih bisa digedein lagi Teh…” kata Amar seperti dapat mengetahui rasa penasaranku.
“Hah? Beneran Mar?” tanyaku sambil menatapnya.
“Iya Teh… Tapi untuk itu Amar butuh bantuan Teteh…” sahut adikku dengan wajah mesum.
“Bantuan apaan sih?” tanyaku yang sebenarnya sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh adikku.
Tiba-tiba saja Amar menarik lenganku ke arah penis miliknya “Tangan Teteh taro aja di kontol Amar…”
“Teteh nggak mau ah Mar…!” dengan cepat aku menarik tanganku yang sempat menyentuh penisnya.
“Kenapa sih Teh? Emangnya Teteh nggak penasaran bisa sampe segede apa kontol Amar?” tanya adikku.
Sebenarnya aku sudah mau marah kepada adikku karena dari tadi dia selalu memakai kata ‘memek’ dan ‘kontol’ yang terdengar sangat kasar di telingaku, ditambah lagi sekarang dia menyuruhku untuk memegang penisnya.
Namun karena penasaran ingin melihat ukuran maksimal penis milik adikku, maka aku memilih untuk menahan marah dan mengikuti perkataannya tadi.
“Ya udah deh Teteh mau…” kataku setuju.
“Asyiiiiik!!” adikku berteriak kegirangan.
Aku memang merasa seperti dipermainkan oleh adikku. Tapi karena sudah terlanjur menyanggupi permintaannya, maka aku mulai mendekatkan tanganku ke arah penisnya.
Namun belum sempat aku menaruh tanganku pada penis Amar, benda tersebut sudah mulai bergerak dan semakin naik sedikit demi sedikit. Diameter penisnya semakin membesar, begitu juga dengan panjangnya yang ikut bertambah.
Aku benar-benar merasa terkejut sekaligus terangsang melihat itu semua. Tidak lama kemudian kepala penisnya mulai berwarna merah.
“Gimana Teh? Kontol Amar udah lebih besar dari yang tadi kan?” tanya adikku sambil melihat ke arah wajahku yang sedang takjub dengan ukuran penisnya.
Ditanya seperti itu aku hanya dapat terdiam sambil terus melihat penis adikku yang sekarang panjangnya kurang lebih mencapai 15 cm! Kini penis adikku terlihat tegang sekali dan ukurannya sudah menyamai milik pacarku.
Aku jadi semakin terangsang melihatnya. Tentu saja aku yang tidak ingin Amar sadar kalau aku tergoda melihat penisnya dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah wajahnya.
“Sekarang udah nggak kayak kontol anak kecil lagi kan Teh? Hehehe…” kata adikku sambil tertawa.
Belum sempat aku berkata apa-apa, tangan adikku tiba-tiba turun menyentuh bagian selangkanganku. Walaupun aku merasa terangsang diperlakukan seperti itu, tentu saja aku menepis tangannya.
“Amar apa-apaan sih!!” kataku sambil memasang wajah marah.
“Amar cuma mau pegang-pegang aja kok Teh. Janji deh nggak Amar apa-apain. Amar cuma pengen tahu aja rasanya megang memek…” kata adikku dengan memasang wajah memelas.
Kembali tangan adikku mendekati selangkanganku, tapi dia belum berani memegang vaginaku lagi karena belum mendapat ijin dariku.
Tadinya aku berpikir untuk menolak permintaan adikku, walaupun pacarku yang sekarang sudah pernah menyentuh vaginaku, namun tetap saja kali ini yang mau memegangnya adalah adik kandungku sendiri.
Bersambung…