Cerita Sex Ustadzah Kesepian – “Pemuas Para Ustadzah Kesepian” adalah sebuah novel yang menggali lebih dalam kehidupan Rio, seorang pemuda yang sejak kecil dibesarkan oleh kakek dan neneknya dalam lingkungan yang sarat dengan keanehan dan rahasia. Sebagai cucu tunggal yang mendapat perhatian penuh, Rio tumbuh dengan pandangan yang tidak biasa tentang kehidupan. Neneknya yang seorang bidan paruh waktu, serta kehidupan desa yang penuh dengan tradisi, membentuk cara pandangnya sejak dini.
Di antara kerumitan keluarganya, muncul Laras, sepupu Rio yang beranjak dewasa dan memegang peran penting sebagai Ustadzah muda di sekolah mereka. Laras bukan hanya sepupu, tetapi juga seseorang yang mengisi hari-hari Rio dengan kebingungan emosional. Ketegangan semakin memuncak dengan kehadiran Ustadzah Fatimah, sosok dewasa yang menyimpan hasrat tersembunyi dan menambah lapisan kompleksitas dalam kehidupan Rio.
Hubungan antara Rio, Laras, dan Ustadzah Fatimah menggambarkan perjalanan emosional yang penuh gejolak, dimana batas antara benar dan salah semakin kabur. Rio dihadapkan pada konflik batin yang menuntutnya untuk memilih antara mengikuti hasrat terlarang atau menemukan jalan menuju pembebasan moral. Apakah Rio akan terjebak dalam pusaran hubungan yang memabukkan ini, atau mampukah dia mengatasi godaan yang mengancam menghancurkan kehidupannya?
Cerita ini hanya fiktif belaka murni hasil dari pengembangan fantasy semata tanpa ada keinginan untuk melecehkan dan atau merendahakan suku, ras, dan agama, diharapkan kebijakan dan kedewasaan pembaca, segala sesuatu yang terjadi kemudian diluar tanggung jawab penulis.
Tersange Namaku Rio, aku dibesarkan oleh kakek dan nenek sejak kecil, mungkin itulah sebabnya aku manja. Aku adalah satu-satunya cucu yang mereka asuh, meskipun mereka memiliki banyak cucu lainnya.
Sejak kecil, sekitar usia lima atau enam tahun, aku sudah terbiasa dengan vagina wanita (karena nenekku adalah bidan paruh waktu) dan terkadang aku membantu nenekku saat bidan yang sebenarnya belum datang.
Bahkan, aku bisa memotong pusar bayi hanya dengan menggunakan pisau bambu dan aku cukup ahli untuk melakukan sunat pada gadis-gadis (tapi tidak pada laki-laki). Aku tumbuh besar dalam keluarga kakekku yang terdiri dari empat orang, termasuk sepupuku Laras yang masih perawan. Jangan salah paham, aku tidak akan menceritakannya tentang Laras (dia baik-baik saja dan bahagia dengan keluarganya).
Ketika Laras dan sepupu lainnya mandi (biasanya di telaga), aku bertugas sebagai pengawal mereka. Seringkali aku melihat tubuh mereka saat handuk mereka basah, dan terkadang saat mereka berganti pakaian, mereka telanjang bulat (mereka menganggapku masih kecil) dan menunjukkan kulit putih mereka, kecuali vagina mereka yang berbulu.
Laras saat itu masih sangat muda, sekitar lima belas atau enam belas tahun. Bulu vaginanya masih tipis, tetapi bibir vaginanya sangat tebal. Sedangkan sepupuku yang lain agak sederhana, meskipun tubuhnya mirip dengan Julia Robert.
Suatu hari, seperti biasa, aku menemani Laras dan adik-adiknya mandi. Mereka sudah beranjak besar, terutama Laras yang kini hampir berusia 11 tahun. Namun, hari itu Laras terburu-buru pulang karena nenekku marah tentang sesuatu, aku lupa apa masalahnya. Sebelum pergi, dia meminta Laras untuk memandikanku karena dia tidak punya waktu.
Kami berdua sendiri di dekat sumur, aku telanjang seperti biasa saat mandi, dan Laras menggunakan ember untuk menuangkan air ke tubuhku. Dia menggosok tubuhku dengan sabun, tapi kali ini ada perasaan yang berbeda.
Mungkin karena aku semakin dewasa dan mulai menyadari tubuh Laras yang juga tumbuh menjadi gadis. Saat dia menyabuni bagian bawah tubuhku, penisku tidak sengaja tersentuh dan langsung ereksi. Aku merasa malu, mencoba menyembunyikan ereksiku dengan tangan.
Laras: “Rio, kenapa sih?”
Aku: “Eh, enggak apa-apa, mungkin sabunnya masuk ke mata.”
Laras: “Oh, iya, udah tutup mata aja.”
Aku hanya mengangguk, merasa malu karena penisku masih ereksi. Laras melanjutkan pekerjaannya, tapi kini aku lebih sadar akan kehadirannya. Saat dia selesai, dia melepas handuk yang melingkar di tubuhnya untuk berganti pakaian.
Sebelum itu, dia jongkok dan buang air kecil. Aku terkejut saat melihat vaginanya terbuka dan air seni mengalir deras. Penisku yang sudah mulai mengecil kini kembali ereksi.
Laras: “Rio, kenapa lagi sih? Kok sekarang malah ereksi?”
Aku merasa sangat malu, tidak tahu harus berkata apa.
Laras: “Jangan-jangan kamu lihat aku tadi pas buang air kecil ya?”
Aku hanya mengangguk, tidak berani menatap wajahnya.
Laras: “Hei, jangan malu. Aku juga pernah lihat kamu pipis kok.”
Aku: “Tapi ini beda, Ras. Penisku ereksi karena lihat vaginamu tadi.”
Laras: “Oh, gitu ya? Penasaran deh rasanya gimana.”
Aku semakin malu, merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
Laras: “Tenang aja, Rio. Aku enggak marah kok. Malah senang ada yang tertarik sama tubuh aku.”
Aku: “Beneran, Ras?”
Laras: “Iya, beneran. Cuma jangan bilang siapa-siapa ya.”
Aku: “Iya, aku janji.”
Laras menghampiriku dan memegang penisku yang masih ereksi.
Laras: “Wah, gede juga ya.”
Aku hanya diam, merasa sensasi aneh saat dia memegang penisku. Laras terus memainkan penisku, dan tiba-tiba ada cairan yang muncrat dari ujungnya, mengenai wajah Laras.
Laras: “Wah, kamu keluar ya? Tenang aja, ini wajar kok. Namanya juga masih muda.”
Aku merasa sangat malu, takut Laras marah atau jijik.
Laras: “Jangan khawatir, Rio. Aku enggak apa-apa. Malah senang bisa lihat kamu keluar gini.”
Aku: “Tapi aku malu, Ras.”
Laras: “Enggak usah malu. Justru aku senang kamu percaya sama aku.”
Aku: “Terus, sekarang gimana?”
Laras: “Mulai hari ini, kamu enggak boleh mandi bareng lagi. Penismu sudah bereaksi sama cewek, jadi kamu harus mandi sendiri.”
Aku merasa sedih, tapi aku tahu Laras benar.
Laras: “Tapi, kalau kamu pengen lihat aku mandi, boleh aja. Asal kamu biarin aku main sama penismu.”
Aku terkejut dengan tawaran Laras, tapi aku terlalu penasaran untuk menolak. Aku hanya mengangguk, dan Laras tersenyum.
Laras: “Jangan bilang siapa-siapa ya. Ini rahasia kita berdua.”
Aku: “Iya, rahasia kita berdua.”
Aku mengakhiri kisah pengantar ini di sini, karena cerita yang sebenarnya akan dimulai dari sini. Aku ingin kalian tahu bahwa meskipun masih muda, penisku sudah bereaksi terhadap wanita dan mampu mengeluarkan mani, meskipun masih encer.
Aku memasuki sekolah menengah dengan perasaan yang sama seperti siswa lainnya, yaitu untuk maju dalam pelajaran. Tetapi di sekolah, aku sering dibully karena mereka mengatakan wajahku mirip perempuan (aku mewarisi paras Laras yang cantik itu), jadi tidak heran jika mereka mengira aku adalah perempuan.
Mereka tidak tahu bahwa penisku di antara paha ini bisa membuka vagina perawan jika diberi kesempatan. Oh ya, aku lupa memberitahu bahwa Laras sebenarnya adalah Ustadzah di sekolah menengah itu, guru muda yang fasih berbahasa Inggris.
Aku juga baik dengan guru-guru di sekolah itu karena Laras, ditambah lagi dengan teman-teman guru wanita yang menyukaiku karena mereka menganggapku lucu. Mereka berkata bahwa seharusnya aku menjadi gadis, bukan laki-laki.
Di antara para guru wanita itu, ada seorang Ustadzah yang agak tua, sekitar awal tiga puluhan tahun. Namanya Ustadzah Fatimah (bukan nama sebenarnya), dan rumahnya bersebelahan dengan sekolah, jadi rumahnya sering menjadi tempat berkumpul para Ustadzah wanita, terutama yang belum menikah atau yang suami mereka sedang tidak ada.
Ustadzah Fatimah adalah seorang wanita yang menarik, baik hati, dan pandai memasak. Dia bergaya, cantik, dan memiliki tubuh yang menggoda, terutama bokongnya yang bulat, meskipun dia jarang tersenyum.
Meskipun usianya sudah kepala tiga, dia masih terlihat cantik dan belum menikah. Laras pernah berkata bahwa dia sudah menikah, tapi aku tidak terlalu mengerti maksudnya.
Aku sering menghabiskan waktu di rumah Ustadzah Fatimah setelah sekolah karena aku sekolah siang dan kebanyakan Ustadzah mengajar di sesi pagi. Rumah Ustadzah Fatimah biasanya kosong karena dia mengajar di sekolah.
Suatu hari, Ustadzah Fatimah memanggilku ke ruang guru dan memintaku menunggunya setelah sekolah. Ketika dia melihatku menunggunya, dia memberikan sepiring kudapan yang sangat enak.
Ustadzah Fatimah: “Rio, ini kudapan untuk siswa yang sedang ujian. Tapi aku sisain beberapa buat kamu.”
Aku: “Terima kasih, Bu. Enak banget kudapannya.”
Ustadzah Fatimah: “Sama-sama, Rio. Oh ya, Rio, kamu ada rencana apa Sabtu dan Minggu minggu ini?”
Aku: “Enggak ada rencana apa-apa, Bu.”
Ustadzah Fatimah: “Boleh minta tolong kamu bantu-bantu aku cat dinding rumah enggak? Cat dan perlengkapan lainnya udah aku beli tadi pagi.”
Aku terkejut dengan permintaan Ustadzah Fatimah, tapi aku senang bisa membantu.
Aku: “Boleh, Bu. Tapi aku minta izin dulu sama Laras ya, Bu.”
Ustadzah Fatimah: “Iya, Rio. Kasih tahu aku kalau kamu udah dapat izin, ya.”
Aku: “Iya, Bu. Terima kasih, Bu.”
Aku meninggalkan ruangan guru, merasa senang bisa membantu Ustadzah Fatimah dan juga penasaran dengan pengalaman baru ini. Aku tidak sabar untuk menceritakannya kepada Laras dan mendengar apa yang akan dia katakan.
Akhirnya, hari Sabtu yang dinanti tiba dan aku, Rio, datang ke rumah Ustadzah Fatimah. Aku cukup gugup karena ini adalah pertama kalinya aku akan bertemu dengannya sendirian. Ketika aku tiba, aku menemukan Ustadzah Fatimah sendiri di rumah.
“Laras belum datang, Rio,” katanya sambil tersenyum lembut. “Dia akan datang setelah zuhur. Sementara itu, kita bisa mulai mengecat.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega bahwa Laras belum ada. Ustadzah Fatimah memberikan pakaian lama kepadaku dan menjelaskan bahwa aku harus memakai pakaian yang sudah tidak terpakai lagi saat mengecat. Aku menurutinya dan segera mengganti pakaianku.
Kami mulai mengecat dan waktu berlalu dengan cepat. Sebelum aku menyadarinya, sudah waktunya makan siang. Ustadzah Fatimah menyuruhku berhenti dan menyiapkan handuk untukku agar aku bisa mandi dan membersihkan cat yang menempel di tubuhku.
Aku masuk ke kamar mandi dan setelah beberapa saat, aku keluar untuk mengganti pakaian. Tiba-tiba, aku mendengar tawa Ustadzah Fatimah. Aku kaget dan bertanya ada apa.
“Maafkan aku, Rio,” katanya sambil tertawa lembut. “Kamu masih ada cat kapur di kepalamu.”
Wajahku memanas saat dia menarik tanganku dan membawaku kembali ke kamar mandi. Dia menyuruhku berdiri di hadapannya dan mulai membersihkan cat kapur yang masih menempel di kepalaku.
“Laras biasanya yang memandikanmu, ya?” tanyanya sambil membersihkan kepalaku dengan lembut.
Aku mengangguk, merasa sedikit malu. “Iya, Bu. Laras yang selalu mengurus semuanya untukku.”
Ustadzah Fatimah tersenyum dan melanjutkan membersihkan kepalaku. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh penisku, yang langsung bereaksi dan mulai ereksi. Aku merasa malu, tetapi Ustadzah Fatimah hanya tersenyum dan pura-pura tidak tahu.
Setelah selesai, aku mencoba keluar dari kamar mandi, tetapi penisku masih ereksi. Ustadzah Fatimah melihatnya dan bertanya, “Biasanya kalau begini, kamu melakukan apa, Rio?”
Bersambung…