Cerita Sex Harga Diri Hilang Karena Hutang – “Pak Yahya, selama ini saya cukup bersabar terhadap Bapak. Tapi saya kira sudah cukup kesabaran saya. Anda harus membayar semua hutang anda beserta bunganya, totalnya 46 juta … hari ini!” kata Fandi di ruang tamu Yahya.
“Tapi maaf, Pak Fandi. Saya belum ada uang. Kalau bisa saya dikasih keringanan, Pak. Misalnya saya cicil lima ratus ribu sebulan dan ….”
“Gila kamu!” potong Mamad, lelaki berperawakan besar yang mendampingi Fandi. “Mau dicicil sampai kapan? Sampe kiamat? Mikir dong! Situ kan bisa ngitung! Lima ratus ribu sebulan itu buat bayar bunganya saja gak cukup!”
“Tapi, Pak … saya tidak ada uang.”
“Begini, Pak Yahya …, kan Pak Yahya sudah tanda tangan kontrak bermeterai kemarin,” kata Fandi sambil meletakkan dokumen kontrak di atas meja.
Tersange “Di situ disebutkan bahwa Pak Yahya akan membayar utang beserta bunganya dalam satu tahun. Nah, ini kan sudah tahun ketiga.
Mau tidak mau kami harus menjalankan prosedur penyelesaian,” ujar Fandi sambil membalik kontrak ke halaman terakhir dan menunjuk ke paragraf yang dia maksud. “Artinya, kami diizinkan untuk menyita aset-aset milik Pak Yahya sebagai jalan keluarnya.”
“Tapi, Pak … tidak ada aset saya yang nilainya sebesar 46 juta.”
“Ya … pilihannya tinggal dua, berarti, Pak. Pilihan pertama, kami sita rumah Pak Yahya,” kata Fandi sambil mengetuk-kontrak. “Pilihan kedua lebih tidak enak lagi, kita bawa kasus ini ke pengadilan!”
Yahya menundukkan kepala. Tidak terpikir di benaknya bagaimana jalan keluar untuk masalah ini. Pada saat berhutang, Yahya tidak memiliki bayangan akan seperti ini akhirnya.
Uang yang dia pinjam untuk menutup biaya pengobatan mendiang istrinya dulu awalnya hanya sepuluh juta dengan harapan istrinya bisa sembuh kemudian membuka usaha bersama-sama untuk membayar cicilan. Namun takdir berkata lain. Istrinya menghembuskan nafas terakhir sedangkan utangnya juga tak bisa dia lunasi.
Percakapan mereka terhenti saat Zahra, anak tiri Yahya, pulang dari kampus. Zahra adalah gadis cantik yang masih berada di semester kedua kuliahnya.
Di usianya yang menginjak 19 tahun, tubuhnya telah menyerupai wanita dewasa dengan pinggul dan payudara yang padat berisi. Kulitnya putih bersih menyerupai kulit almarhumah ibunya. Rambutnya yang hitam dan panjang dibiarkan tergerai di punggungnya.
Melihat kecantikan Zahra, timbul pikiran kotor di benak Fandi. “Ehm …,” katanya memecah keheningan. “Tolong duduk dulu, Mbak.”
“Tolong jangan bawa-bawa dia, Pak Fandi. Ini masalah pribadi saya, Pak.”
“Diam dulu, Pak!” sergah Mamad sambil memikul meja. “Ini masalah keluarga Bapak! Anak bapak harus paham juga bagaimana kelakuan orang tuanya! Pak Yahya ini sudah salah masih saja ribut terus!”
Yahya ingin membantah namun mengurungkan niatnya. Ia memberikan isyarat kepada Zahra untuk duduk di sebelahnya.
“Jadi begini, Mbak … siapa namanya?”
“Zahra,” sahut Zahra pelan.
“Begini, Mbak Zahra. Pak Yahya ini punya utang ke kami yang sudah menunggak tiga tahun. Per hari ini, kami harus selesaikan utang tersebut. Menurut Pak Yahya, beliau tidak punya uang untuk membayar dan tidak ada aset bergerak yang bisa kami pakai untuk melunasi utang.
Nah, sekarang pilihannya tinggal dua. Pilihan yang tidak enak, kami sita rumah Pak Yahya …,” dia sengaja memberi jeda supaya Zahra bisa mencerna perkataannya. “Pilihan yang lebih tidak enak lagi, kami akan bawa kasus ini ke pengadilan!”
Zahra memandang ayah tirinya, berusaha mencari konfirmasi dari perkataan lelaki di hadapannya. Namun Yahya tidak membalas tatapannya dan hanya menunduk lesu.
“Jadi bagaimana, Pak Yahya? Tolong kami dibantu disiapkan sertifikat rumah segera, Pak. Supaya masalah ini bisa cepat selesai.”
“Jangan, Pak! Kami mau tinggal di mana kalau rumah ini disita?”
“Kalau gitu kamu pilih jalur hukum?” teriak Mamad sambil menggebrak meja. “Biar mampus saja kamu di penjara sana! Biar anak kesayanganmu ini gak bisa makan! Biar dia jual diri buat kebutuhan hidupnya!”
Hati Zahra ciut mendengar teriakan Mamad. Tangannya bergetar. Matanya mulai memerah menahan air mata yang hampir tumpah karena ketakutan. Sementara itu Yahya hanya terdiam dan menunduk lesu.
Melihat ayahnya yang sudah tak sanggup berbicara, Zahra menghirup nafas panjang berusaha mencari kekuatan sambil merangkai kata-kata. “Apa tidak bisa diberikan keringanan lagi, Pak?” ia mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Fandi tersenyum. Momen ini adalah momen yang sudah ia nantikan dari tadi.
“Sebetulnya kami masih bisa memberikan keringanan. Tapi berhubung Pak Yahya ini tidak mau kooperatif, jadi sekarang tergantung apakah Mbak Zahra mau bersikap kooperatif atau tidak kepada kami,” ujar Fandi sambil menampakkan senyum mesumnya.
“Maksudnya, Pak?” tanya Zahra bingung. Sebelum Fandi sempat menjawab, mendadak Mamad berdiri dan menggenggam lengan Zahra. “Ah! Lepasin!” spontan Zahra menjerit dan berusaha melepaskan cengkeraman Mamad. Yahya spontan juga ikut berdiri melihat perlakuan kasar kepada anak tirinya.
“Mau kooperatif, gak?” bentak Mamad kepada Zahra. Zahra yang ketakutan hanya diam. Mamad membanting Zahra untuk duduk di sebelah Fandi kemudian ikut duduk di sebelah Zahra, membuat Zahra berada dalam posisi terapit di antara Fandi dan Mamad. Dengan yakin Fandi merangkulkan tangannya melingkari bahu Zahra.
“Sebenarnya kami ini tidak suka kekerasan. Kami ini selalu mencari win-win solution, solusi yang menyenangkan semuanya,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Jadi, bagaimana, Mbak Zahra? Mau kooperatif dan saling berbagi …,” Fandi sengaja memberi jeda, “kesenangan?” ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke pipi Zahra.
Samar-samar, Zahra bisa mencium aroma alkohol bercampur nikotin dari nafas Fandi, membuat pikirannya semakin berkecamuk. Di satu sisi, dia tidak ingin menyerahkan tubuhnya kepada dua lelaki bajingan di sebelahnya.
Di sisi lain, ada ketakutan dan rasa iba kepada Ayahnya yang membuat dia ingin mengiyakan permintaan Fandi. Setelah diam cukup lama, akhirnya Zahra mengangguk kecil.
“Nah, begitu, dong! Kalau gini kan sama-sama enak.” Fandi mengecupkan ciuman kecil di pipi Zahra. Tangan kanannya mulai meraih payudara Zahra sambil meremasnya pelan. Secara refleks Zahra berusaha menghentikan kelakuan Fandi, namun lengan kecilnya tak mampu menghalau tangan Fandi yang lebih besar.
Yahya membuang muka. Ia tak sampai hati melihat kelakuan Fandi kepada anak tirinya. Meskipun Zahra adalah anak dari perkawinan almarhumah istrinya yang sebelumnya, selama ini Yahya sudah menganggap Zahra sebagai anak kandungnya sendiri.
Fandi tidak berhenti namun melanjutkan aksinya meremas-remas payudara Zahra. Mamad yang dari tadi hanya menonton, kini tak mau ketinggalan. Dia mulai mengelus lutut Zahra yang terbalut celana jins putih ketat.
Perlahan-lahan tangannya naik ke paha hingga sampai ke arah selangkangan Zahra. Aksi tersebut disambung oleh Fandi. Ia menggerayangi payudara Zahra dari dalam kaosnya sementara Mamad mulai melepas resleting Zahra dan mengobel memek Zahra dari luar celana dalamnya.
Zahra hanya bisa menggigit bibir karena serangan kedua lelaki itu. Rasa malu, marah, takut, dan nikmat bercampur aduk menjadi satu.
Tubuhnya mulai mengkhianati dirinya. Tak peduli seberapa kuat dia menahan, beberapa kali desahan terlepas juga dari mulutnya. Tanpa ia sadari jemari Zahra bergerak sendiri meremas-remas kemaluan Fandi.
Fandi menyambut baik gerakan Zahra. Ia membuka resletingnya dan mengeluarkan penisnya yang sudah tegak berdiri. Mamad pun melakukan hal serupa, membuat kedua tangan Zahra sibuk mengusap penis milik kedua lelaki di sisinya.
Sambil penisnya dipijat Zahra, mulut Fandi menyasar bibir mungil gadis itu dan melumatnya dengan lahap. Sedangkan dari sisi lainnya, Mamad mulai mengecupi dan menjilati leher jenjang Zahra.
Yahya mulai memandang aktivitas ketiga orang itu. Jakunnya turun naik melihat anak tirinya yang sedang digerayangi tubuhnya oleh Fandi dan Mamad. Perlahan-lahan, penis Yahya mulai menegang melihat adegan mesum di depannya.
“Hisap kontolku!” perintah Fandi.
Zahra yang sudah mulai dikuasai nafsu berlutut di depan Fandi dan mulai menjilati ujung penis Fandi sambil tetap memainkan kemaluan Mamad.
Setelah puas menjilati ujung penis Fandi, Zahra membuka mulut dan mulai mengulum penis Fandi. Perlahan-lahan ia berusaha memasukkan batang kemaluan Fandi itu dari ujung hingga ke pangkal.
“Aaaah!” desah Fandi ketika seluruh penisnya sudah masuk di dalam mulut Zahra.
Bagai sesorang pekerja seks profesional, Zahra mulai menggerakkan kepalanya maju dan mundur. Sambil melakukan hal tersebut sesekali ia menghisap batang penis Fandi dan memainkan lidahnya menelusuru korpus spongiosum—urat besar di penis—milik Fandi. Sementara itu, tangan kanannya mulai membelai dan meremas lembut buah zakar Fandi.
Bersambung…